tirto.id - Kebijakan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025 memunculkan banyak pertentangan di kalangan masyarakat. Bukan tanpa sebab, naiknya 1 persen tarif pajak itu ditakutkan bakal mengerek harga-harga kebutuhan harian mereka. Apalagi, saat ini kondisi ekonomi Indonesia sedang dalam perlambatan.
Terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2024 yang sebesar 4,95 persen, naik tipis dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 4,94 persen. Namun melambat dibanding kuartal II 2024 yang sebesar 5,05 persen.
“Jadi, ya hampir pasti diundur (kenaikan PPN 12 persen),” kata Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, saat ditemui awak media, usai menyumbangkan hak pilihnya di TPS 04, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024).
Alih-alih menaikkan tarif PPN sesuai dengan amanat Pasal 7 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah akan terlebih dulu mengucurkan subsidi, salah satunya subsidi listrik. Dengan demikian, konsumsi masyarakat bisa dikerek terlebih dulu.
“Biar dulu jalan tadi yang ini (subsidi listrik),” imbuh dia.
Pada saat yang sama, Prabowo akan terlebih dulu merapatkan bersama para menteri Kabinet Merah Putih terkait stimulus apa yang dapat diberikan pemerintah kepada orang-orang yang mungkin bakal terdampak kenaikan PPN 12 persen. Namun yang pasti, bantuan akan disalurkan dalam bentuk subsidi listrik, bukan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
“Orang kan belum tahu kalau ada struktur (subsidi) ini. Nanti biar dirapatkan dulu, (kemudian) Presiden memutuskan. Kira-kira berkembang di situ,” ujar Luhut.
Sementara itu, subsidi listrik menjadi pilihan karena data dari para penerima manfaat sudah tersedia. Tidak hanya itu, sasaran dari subsidi listrik juga merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang dalam hal ini penerima subsidi adalah mereka yang menggunakan daya listrik di bawah 1.300 watt atau yang sudah menunggak membayar listrik selama 2-3 bulan.
“Intinya itu Presiden tidak mau beban rakyat itu ditambah. Jadi bagaimana mengurangi. Dan juga itu dana kan perlu untuk tadi pergerakan ekonomi di bawah,” tukas Luhut.
Meski begitu, rencana penundaan PPN 12 persen yang disampaikan mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi itu tak diamini oleh Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Sebab, rapat terbatas (ratas) yang diadakan siang tadi di Istana Negara sama sekali tak membahas soal rencana penundaan PPN 12 persen.
Pun, pemerintah tak membahas juga soal wacana kenaikan PPN hanya untuk barang-barang mewah saja. Kendati, dia memastikan tarif PPN akan tetap dikecualikan untuk bahan pokok dan bahan penting, seperti sembako hingga pendidikan.
“Nggak, kan ada beberapa... PPN kan ada yang dikecualikan ya, utamanya untuk bahan pokok bahan penting dan termasuk pendidikan. Untuk yang lain tentu dilihat di UU (HPP) saja. Belum. Belum, belum dibahas (penundaan penyesuaian tarif PPN),” ujar Airlangga, di Istana Negara, Kamis (28/11/2024).
Rencana pemerintah untuk memberikan subsidi listrik sebagai stimulus bagi kelas menengah ke bawah, atau subsidi khusus yang sedang digodok khusus untuk kelas menengah memang patut diacungi jempol. Pemberian stimulus ini pun dapat menunjukkan perhatian pemerintah terhadap kondisi masyarakat rentan.
Namun, apalah artinya kalau stimulus itu dipersiapkan pemerintah agar masyarakat dapat menghadapi kenaikan PPN menjadi 12 persen.
“Pendekatan tersebut sangatlah keliru dan tidak bijak, terutama karena stimulus tersebut bersifat sementara. Sementara kenaikan PPN bersifat permanen,” kata Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, kepada Tirto, Kamis (28/11/2024).
Kebijakan semacam ini bahkan berpotensi hanya menjadi solusi jangka pendek tanpa mengatasi akar persoalan. Dalam skenario optimis, stimulus yang rencananya bakal diberikan dalam jangka waktu tiga bulan memang dapat mendorong daya beli dan perekonomian nasional.
Tapi setelahnya justru akan menimbulkan beban finansial bagi penerima bantuan saat stimulus dicabut dan tarif PPN baru mulai diterapkan. Pada akhirnya, kenaikan tarif pajak tetap akan menggerus daya beli masyarakat.
“Kami meyakini bahwa tanpa perbaikan struktural pada ekonomi masyarakat, kondisi ekonomi kelompok menengah bawah akan kembali terpuruk setelah periode stimulus berakhir,” imbuh Anwar.
Dalam konteks penundaan kenaikan tarif PPN, stimulus yang diberikan selama tiga bulan saja tak cukup mampu mengatasi kejatuhan ekonomi yang dialami masyarakat kelas menengah ke bawah. Jangan lagi sampai pemerintah berharap dapat menaikkan lagi taraf hidup mereka di posisi sebelum terpuruk.
Alih-alih hanya memberikan bansos yang bersifat sementara, akan lebih baik bagi pemerintah untuk memastikan bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah dapat merasakan pengurangan beban kebutuhan pokok. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan akses barang dan jasa yang masuk dalam kebutuhan pokok tetap terjangkau, utamanya bagi kelas menengah ke bawah.
“Langkah ini dapat dilakukan dengan memperluas daftar barang dan jasa yang bebas PPN atau dikenakan tarif PPN yang lebih rendah. Dengan begitu, barang seperti bahan makanan, layanan kesehatan, pendidikan, serta transportasi publik tidak terdampak langsung oleh kenaikan tarif PPN,” jelas Anwar.
Selanjutnya, subsidi langsung berbasis konsumsi utama seperti untuk listrik, bahan bakar minyak (BBM), atau transportasi publik, harus diberikan kepada rumah tangga kelas menengah dan bawah. Menurut Anwar, pendekatan ini akan lebih efisien dibanding bansos kelas menengah karena langsung menyasar pengeluaran terbesar mereka.
Ketiga, dukungan pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan usaha kecil juga patut diberikan, lantaran banyak kelas menengah yang bergantung pada sektor usaha akar rumput sebagai sumber penghasilan. Kepada para pelaku UMKM, pemerintah dapat memberi stimulus dalam bentuk akses kredit murah dengan bunga rendah. Selain juga akses pelatihan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing UMKM dan usaha kecil, serta pembukaan pasar melalui program kemitraan dan promosi produk lokal.
“Dukungan ini tidak hanya membantu kelas menengah tetap bertahan tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan,” tambah dia.
Sementara itu, dibandingkan menaikkan tarif PPN, akan lebih baik bagi pemerintah untuk mencari alternatif pendapatan lain demi mengerek penerimaan negara. Peningkatan kontribusi pajak dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan sektor-sektor usaha besar yang selama ini belum optimal dalam memberikan sumbangsih pada penerimaan pajak.
“Kebijakan ini tidak hanya berlandaskan pada prinsip keadilan sosial, tetapi juga dapat menciptakan penerimaan negara yang lebih stabil tanpa menambah beban masyarakat kelas menengah dan bawah yang sudah rentan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menerapkan pajak kekayaan atau wealth tax, yang ditujukan kepada individu atau entitas dengan aset dalam jumlah besar," tegas Anwar.
Katanya, skema ini telah berhasil diterapkan di sejumlah negara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi sekaligus meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, pajak ini juga menjadi bentuk redistribusi kekayaan untuk memastikan mereka yang memiliki kapasitas finansial lebih besar turut berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan nasional.
Menurut Kertas Kebijakan/Policy Brief yang dirilis The Prakarsa 2022 lalu, ada 4 skenario utama yang dapat diadopsi pemerintah untuk menerapkan pajak kekayaan, sehingga efektif untuk mengatasi ketimpangan dan tak lagi menggerus daya beli masyarakat. Pertama, yakni pajak flat dengan tarif 1 persen. Kepada 100 orang terkaya di Indonesia, negara setidaknya dapat mengantongi penerimaan sekitar Rp27,9 triliun.
Model kedua dengan tarif tetap 2 persen, penerimaan negara yang dapat dikumpulkan negara dari 100 orang terkaya di Indonesia dapat mencapai Rp55,7 triliun. Sedangkan dari model ketiga dengan progresif 1-2 persen, penerimaan negara yang dikumpulkan dari 100 orang terkaya bisa mencapai Rp60,2 triliun. Adapun untuk skema keempat dengan tarif progresif 1,5-4 persen, potensi penerimaan negara yang bisa dikantongi Indonesia dari memajaki 100 orang terkaya mencapai Rp123,4 triliun.
“Salah satu tujuan utama diterapkan pajak oleh negara adalah untuk keadilan. Hal tersebut selain harus tercermin dalam alokasi penggunaanya juga pemungutnya. Pemungutan pajak yang adil harus tercermin dari subjek dan sumber objek pajak yang tepat. Salah satunya adalah dilihat dari kemampuan bayar (ability to pay) dari subjek pajak,” tegas Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, dalam keterangannya kepada Tirto, Kamis (28/11/2024).
Dari seluruh jenis pajak, PPN memang sumber penerimaan negara yang paling mudah dipungut pemerintah dari seluruh golongan masyarakat. Padahal, secara agregat dampaknya justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan daya beli atau konsumsi masyarakat. Apalagi, kalau PPN semata-mata digunakan untuk menutup defisit neraca pembayaran Indonesia, yang posisi angsuran utang dan bunga jatuh temponya menekan fiskal negara.
“Dalam posisi gali lubang buat jurang. Jika ingin mendapatkan sungguh sungguh bulu domba dan bukan menguliti kulit dan daging dombanya, serta menjadikan instrumen pajak sebagai pedang keadilan, maka solusi yang tepat diterapkan oleh pemerintah itu seharusnya justru pajak harta,” imbuh Suroto.
Soal ini, pemerintah pun tak bisa serta-merta memajaki kekayaan yang didapatkan para konglomerat. Pemerintah hanya boleh menarik pajak dari kekayaan orang-orang tersebut yang berbentuk uang tunai, deposito bank, real estat, aset dalam program asuransi dan pensiun, kepemilikan bisnis yang tidak berbadan hukum, sekuritas dan lainnya.
“Pajak kekayaan ini merupakan pajak atas komponen harta pribadi dikurangi dengan utang. Jadi pajak kekayaan bisa juga disebut sebagai pajak harta atau kekayaan bersih,” ujar dia.
Jika pemerintah benar-benar bermaksud menarik pajak kekayaan dari orang-orang terkaya, caranya sangat mudah karena basis data dari sumber pajak sudah ada di dalam genggaman. Apalagi, orang-orang kaya yang layak dipajaki hanya berjumlah tak lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk.
“Mereka adalah yang menurut standar internasional (Suisse Credit Institute, 2021) memiliki kekayaan bersih di atas 100.000 dolar AS- 1 juta dolar AS atau 1,4 miliar ke atas. Atau kalau akan disasarkan kepada kelompok super kaya-nya atau mereka yang memiliki kekayaan di atas 10 juta dolar AS atau 14,3 miliar, maka jumlahnya hanya 0,1 persen dari orang dewasa atau sekitar 20.000 an orang dewasa,” jelas Suroto.
Namun, yang menjadi masalah adalah adakah keberanian pemerintah dalam memajaki orang-orang terkaya di tanah air tersebut? Sebab, selain berfungsi sebagai sumber pendapatan baru, juga penting untuk mencegah kemampuan monopoli dari orang orang kaya dalam urusan bisnis, yang tentu juga penting bagi urusan politik.
“Sebab dari rahim mereka inilah sistem oligarki yang merusak demokrasi kita itu sesungguhnya lahir. Bagaimana Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani)? Berani nggak?” tantang Suroto.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky