Menuju konten utama

Kebijakan Pajak Pembelian Mobil 0% untuk Siapa?

Kemenperin usul pajak mobil baru dibuat nol persen. Pengamat menyebut ini hanya menguntungkan sebagian kalangan. Bahkan negara potensial merugi.

Kebijakan Pajak Pembelian Mobil 0% untuk Siapa?
pengunjung melihat sejumlah mobil yang dipajang pada pameran otomotif di semarang, jateng, rabu (25/5). gabungan industri kendaraan bermotor indonesia (gaikindo) memprediksi penjualan mobil domestik tahun ini sekitar 1,1 juta unit, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang mencapai 1.013.305 unit. antara foto/r. rekotomo/ama/16.

tirto.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan relaksasi pajak pembelian mobil baru menjadi 0 persen sampai Desember 2020. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan mereka telah mengusulkan itu kepada Menteri Keuangan pada Senin (14/9/2020) lalu. Sampai pekan berikutnya, hari ini (21/9/2020), belum jelas apakah usul ini diterima atau tidak.

Beberapa pajak yang selama ini ditanggung pembeli mobil baru adalah pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan pajak pertambahan nilai (PPN)--yang merupakan kewenangan pemerintah pusat; serta pajak kendaraan bermotor (PKB) bea dan balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang merupakan hak pemerintah daerah.

Agus Gumiwang berharap dengan cara ini daya beli masyarakat terhadap mobil meningkat. “Kemudian pada gilirannya bisa membantu pertumbuhan industri manufaktur di bidang otomotif tersebut,” kata dia.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. Sugiarto mengatakan merekalah yang mengusulkan kebijakan ini. “Kami usulkan melalui Kemenperin,” katanya Kepada reporter Tirto, Rabu (16/9/2020).

Menurutnya, berdasarkan data leasing, pada masa pandemi masyarakat lebih memilih mobil bekas seharga “Rp120-Rp130 juta.” Pun jika ada yang berani beli mobil baru, jarang ada yang memilih harga di atas Rp250 juta. Masalahnya, “mobil bekas itu bukan mobil yang diproduksi pabrik. Sementara kami butuh pabrik supaya bisa jalan lagi produksinya. Pabrik mobil maupun yang lebih penting lagi pabrik komponen.”

“Pabrik ban kaca knalpot, itu yang kami pentingkan,” tambahnya.

Dengan pajak diturunkan, Jongkie berharap masyarakat beralih ke mobil baru karena harganya pun bisa turun mendekati harga mobil bekas. “Menurunkan tarif mungkin yang tadinya Rp200 juta bisa jadi Rp150-Rp160 juta.”

Faktanya penjualan mobil baru memang anjlok. Selasa 15 September lalu Gaikindo menyebut penjualan mobil pada April sebanyak 7.869 unit. Angkanya semakin turun sebulan kemudian, hanya 3.551 unit. Pada Juni, ketika wacana the new normal dikampanyekan dan kebijakan pelonggaran diterapkan, penjualan mobil sebenarnya mulai naik lagi menjadi 12.623 unit, lalu sebulan kemudian bahkan mencapai 25.283 unit.

Pada Agustus, jumlahnya naik lagi mencapai 37.277 unit. Masalahnya, dibanding penjualan bulan yang sama di tahun sebelumnya, penjualan Agustus jauh tertinggal. Penjualan mobil Agustus 2019 mencapai 90.568 unit.

Total, penjualan mobil selama delapan bulan pertama 2020 baru mencapai 323.492 unit, atau baru 31 persen dari pencapaian tahun lalu sebanyak satu juta.

Untuk Siapa?

Ekonom dari Center of Reform on Economic (Core) Mohammad Faisal mengatakan kebijakan ini tidak menguntungkan semua pihak, padahal semestinya segala stimulus di era pandemi dirasakan setiap orang. “Pemangkasan pajak ini... lebih menguntungkan kalangan atas,” kata dia kepada wartawan Tirto, Rabu (16/9/2020).

Alasannya sederhana: tetap saja tidak semua orang mau apalagi mampu untuk membeli mobil meski pajaknya dipangkas. “Bahkan kalau harganya diturunkan, ini menjadi kesempatan untuk mereka (kalangan menengah-atas) beli. Apalagi sebagian kalangan menengah ke atas sudah sejak lama menahan-nahan belanja,” katanya.

Selain itu, ia juga mengatakan kebijakan ini rawan dari sisi pemerintah karena “justru akan mengurangi pemasukan.”

Kekhawatiran serupa disampaikan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra El Talattof. “Ada potensi penerimaan negara juga harus dipangkas. Ketika proyeksi penerimaan pajak dipangkas, otomatis ada potensi pelebaran defisit,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu.

Oleh karena itu menurutnya rencana ini perlu dikaji benar dampaknya dari sisi fiskal. “Penerimaan pajak itu [pembelian mobil] berapa besar. PPnBM ini berapa sih nilainya? Apakah cukup signifikan?”

Pendapat berbeda disampaikan oleh ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal. Menurutnya kebijakan ini justru punya daya ungkit yang besar. “Sektor transportasi mobil ini sebenarnya memiliki dampak ganda baik hulu-hilir. Yang jelas ini akan sangat baik untuk perkembangan intersektoral,” katanya.

Di satu sisi ia bisa membangkitkan pabrik-pabrik utama sampai ke produsen suku cadang. Ini mengurangi risiko PHK massal. Di sisi lain kebijakan ini juga bisa memicu kinerja industri pembiayaan kembali bergairah.

Belum lagi bila melihat sumbangan industri ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Industri otomotif memiliki kontribusi cukup signifikan terhadap PDB, khususnya terhadap PDB nonmigas, yaitu 3,98 persen pada 2019.

Baca juga artikel terkait PAJAK MOBIL atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino