tirto.id - Nyaris dua dekade silam, seorang laki-laki paruh baya dirawat secara intensif di salah satu rumah sakit di Hong Kong. Ia hanya satu dari banyak pasien lain yang ditempatkan di ruangan besar rumah sakit tersebut. Alex Lam, mantan pasien penderita sindrom saluran pernapasan akut atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), masih dihantui oleh pengalaman pahit tersebut.
Lam dirawat di ruang isolasi selama tiga minggu. Selanjutnya, ia dianggap salah satu pasien yang beruntung karena dipulangkan dari rumah sakit tanpa komplikasi lebih lanjut. “Saya mendengar batuk di malam hari, menangis, dan itu sangat menyedihkan. (Sangat) Menyakitkan mendengar berita itu lagi. Virus mematikan seperti SARS akan kembali,” cerita Alex Lam saat diwawancarai oleh CNN International.
Saat ini, virus mematikan yang sama bernama virus corona menyapu Cina dan membuka luka lama sebagian orang. Virus ini telah membunuh 910 orang dan menginfeksi 40.000 lainnya, menurut data Johns Hopkins CSSE. Angka itu jauh melebihi angka kematian akibat virus SARS yang menewaskan 774 orang dan menginfeksi lebih dari delapan ribu orang.
Ekonomi dan Bisnis Global Turut Terjangkit
Cina telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bisnis global bahkan sejak wabah SARS melanda pada 2003 silam. Kerugian ekonomi global akibat virus SARS diperkirakan mencapai $40 miliar menurut perhitungan Lee Jong-Wha dan Warwick Mckibbin profesor ekonomi di Australian National University seperti tertulis dalam studi berjudul "Globalization and Disease: The Case of SARS" (PDF).
Kerugian ekonomi Cina dan juga global di tengah merebaknya virus corona diperkirakan melebihi kerugian akibat SARS. Kota Wuhan, tempat virus corona pertama kali muncul, merupakan salah satu pusat industri terbesar di Cina. Berbagai perusahaan besar dalam negeri maupun asing, beroperasi di kota yang dihuni 11 juta jiwa penduduk itu.
Hubei, provinsi yang menaungi Wuhan, merupakan salah satu provinsi yang menghasilkan dua pertiga dari output ekonomi Cina selain Shanghai dan menjadi pusat manufaktur utama Cina bagian timur. Berbagai perusahaan besar dunia memiliki pabrik di Wuhan. Sebut saja produsen mobil asal negeri sakura, Jepang, Honda.
Perusahaan yang didirikan oleh Soichiro Honda ini mengumumkan penundaan operasional pabrik di Wuhan dan Hubei sampai dengan 17 Februari mendatang. Honda merupakan produsen mobil Jepang pertama di Cina yang memperpanjang penangguhan operasional. Pabrik Honda di provinsi Guangzhou rencananya kembali aktif beroperasi lebih cepat.
Meski demikian, Wakil Presiden Eksekutif Honda Seiji Kuraishi mengaku tidak ada dampak yang signifikan atas produksi kendaraan yang sesuai dengan jadwal ini. “Tidak akan memiliki banyak dampak,” ucap Kuraishi sebagaimana dilansir Asia Nikkei.
Pabrik Honda di Wuhan menghasilkan hingga 600 ribu kendaraan per tahun setara setengah dari kapasitas pabrik Honda di Cina secara keseluruhan. Pabrik ini mampu menyerap 12.700 karyawan. Sepanjang 2019 lalu, Honda mencetak rekor dengan menjual 1,55 juta kendaraan di Cina. Wabah virus corona merusak industri kendaraan bermotor dan menggarisbawahi ketergantungan para produsen otomotif tersebut terhadap Cina dalam hal produksi dan penjualan.
Pabrikan kendaraan bermotor asal Jepang lainnya yaitu Toyota yang memiliki 12 pabrik di Cina, turut memperpanjang penutupan pabrik sampai 17 Februari mendatang. Penangguhan produksi mobil dan komponen Toyota di Cina ini dikarenakan masalah terganggunya rantai pasok akibat penyebaran virus corona. Keputusan Toyota tersebut diambil pasca pihaknya memperkirakan penurunan penjualan mobil yang disebabkan penyebaran epidemi virus corona yang turut menekan pengeluaran konsumen.
Masayoshi Shirayanagi, pejabat operasional Toyota menyebut saat ini tidak ada mood bagi konsumen untuk membeli mobil. Sehingga akan berdampak pada penjualan. “Langkah ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk pedoman dari pemerintah daerah, pasokan suku cadang dan logistik. Kami saat ini meneliti setiap komponen, inventaris dan kebutuhan untuk rencana alternatif untuk produksi,” ungkap Shirayanagi dalam konferensi pers di Tokyo beberapa waktu lalu.
Tak hanya pabrikan asal Jepang, produsen kendaraan bermotor asal Perancis, Renault, Peugeot dan Citroen juga menutup operasional pabrik di kota Wuhan. Pabrik Renault di Wuhan yang mempekerjakan sekira dua ribu karyawan memperpanjang penutupan operasional sementara, sesuai pedoman Pemerintah Cina. Peugeot dan Citroen dalam sebuah pernyataan resmi menyatakan memulangkan staf ekspatriat dan keluarga mereka dari wilayan Wuhan.
Produsen mobil terbesar kelima di dunia berdasarkan penjualan, Hyundai, bahkan harus menutup seluruh pabrik mobilnya di Korea Selatan untuk sementara. Langkah ini dilakukan menyusul kosongnya pasokan komponen kendaraan dari Cina. Pertama kalinya sejak krisis keuangan yang melanda Asia pada akhir 1990-an Hyundai menghentikan produksi sementara akibat kekurangan onderdil mobil.
KBS World Radio melaporkan bahwa adik perusahaan Hyundai yaitu KIA Motors menangguhkan produksi untuk sementara. Sedangkan perusahaan mobil domestik Korea Selatan lainnya seperti SsangYong Motor, GM Korea serta Renault Samsung, telah menghentikan sementara pabrik mereka dan tengah mempertimbangkan untuk mengurangi produksi.
Menteri Keuangan Korea Selatan Hong Nam-ki berjanji untuk menyederhanakan bea cukai setelah operasional pabrik dilanjutkan dan memastikan pengiriman barang tanpa penundaan. Pemerintah Seoul juga berupaya menyederhanakan izin untuk suku cadang dari Vietnam, Kamboja dan Filipina serta memberikan subsidi keuangan kepada produsen suku cadang mobil lokal untuk memperluas lini produksi.
Nasib penghentian produksi sementara juga dialami oleh Fiat Chrysler, produsen mobil asal Italia. Perseroan memperingatkan bahwa salah satu pabriknya di Eropa akan dipaksa untuk menghentikan produksi selama beberapa minggu, sebab perusahaan kesulitan mendapatkan onderdil penting dari pemasok Cina. Kepala Eksekutif Mike Manley mengatakan, empat pemasok di Cina telah terkena dampak wabah virus corona. Salah satunya adalah pembuat suku cadang yang mengancam produksi Eropa.
“Kami mendapat satu pemasok berisiko tinggi pada saat kami telah mengidentifikasi,” ungkap Manley melansir Financial Times.
Dalam dua hingga empat minggu, perusahaan akan mengetahui apakah pasokan onderdil akan dihentikan untuk seluruhnya. Manley menambahkan, tiga perusahaan pembuat komponen kendaraan juga akan mengalami krisis jika penutupan operasional pabrik di Cina tetap berlangsung sepanjang Februari. Sebab, Cina merupakan salah satu negara pemegang peranan penting dalam rantai pasokan global.
Selain itu, negeri tirai bambu ini merupakan pasar terbesar mobil dunia, penyumbang besar bisnis pariwisata internasional, pengekspor pakaian dan tekstil global, serta rumah bagi industri manufaktur terbesar dunia. Tak ayal, pukulan terhadap ekonomi akibat virus corona diperkirakan tiga hingga empat kali lebih besar ketimbang kerugian global sebesar $40 miliar akibat SARS.
Konsekuensi Wabah Kesehatan terhadap Ekonomi
Studi IMF yang ditulis oleh David Bloom, Daniel Cadarette, dan JP Sevilla (PDF) mengungkapkan risiko ekonomi dari epidemik tidak sepele. Biaya tahunan pandemik influenza diperkirakan sekitar $500 miliar setara 0,6 persen dari pendapatan global menurut hitungan Victoria Fan, Dean Jamison, dan Lawrence Summers masih melansir makalah yang sama.
Wabah ebola yang baru-baru ini terjadi di Liberia, Afrika Barat, mengakibatkan penurunan pertumbuhan PDB 8 persentase poin dari 2013 sampai 2014. Penelitian lain yang dilakukan oleh Komisi Kerangka Risiko Kesehatan Global untuk Masa Depan berjudul "The International Health Regulations: The Governing Framework for Global Health Security" memperkirakan peristiwa penyakit pandemi akan menelan biaya ekonomi global lebih dari $6 triliun pada abad ke 21 dan lebih dari $60 miliar per tahun.
Sebab, “Orang tidak menggunakan transportasi umum, menjauh dari pekerjaan, menjauh dari toko, restoran, bioskop, konferensi, dan lainnya. Dampak dari penyakit ini sangat besar pada perekonomian, tetapi hampir semuanya tidak langsung, karena perilaku pencegahan dari populasi,” tulis Lars Jonung dan Werner Roeger dalam "Economic Papers, The Macroeconomic Effect of Pandemic in Europe – A model-based assessment" (PDF).
Editor: Windu Jusuf