tirto.id - Kasus pembunuhan empat anggota Front Pembela Islam (FPI) memasuki babak baru dengan ditetapkannya tiga polisi sebagai tersangka pada Selasa (6/4/2021) lalu. Pengadilan untuk mereka didesak terbuka agar dapat diawasi publilk.
"Jangan hanya di pengadilan kepolisian saja, tetapi hingga pengadilan pidana seperti masyarakat biasa, karena ini kasus pembunuhan yang melanggar hukum," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kepada reporter Tirto, Kamis (8/4/2021). Hal itu sama dengan rekomendasi Komnas HAM untuk Polri.
Tujuan dari pengadilan secara terbuka itu juga agar publik mendapatkan mengetahui kebenaran dari peristiwa dan menegakkan keadilan.
Peristiwa ini berawal ketika sekelompok anggota FPI mengawal pimpinan besar mereka, Rizieq Shihab, ke tempat pengajian keluarga. Terjadilah baku tembak pada 7 Desember 2020 di Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang menewaskan dua laskar. Empat yang lain masih hidup tapi didor polisi di dalam mobil.
Setelah didesak banyak pihak, Bareskrim Polri menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya terlapor kasus pembunuhan di luar hukum--pembunuhan di dalam mobil--sebagai tersangka. Status tersangka ditetapkan setelah penyidik melaksanakan gelar perkara pada Kamis (1/4/2021) lalu.
Meski begitu hanya dua orang yang kasusnya bakal berlanjut. Saat ini mereka tidak ditahan meski terancam penjara 15 tahun. Seorang lagi, Elwira Pryadi Zendrato, tidak dilanjut karena meninggal dalam kecelakaan pada 3 Januari 2021.
"Berdasarkan Pasal 109 KUHAP, karena yang bersangkutan meninggal dunia, maka penyidikannya langsung dihentikan," ucap Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono di Mabes Polri, Selasa (6/4/2021).
Ketiga tersangka terindikasi melakukan pembunuhan dan penganiayaan. Penyidik memakai Pasal 338 KUHP juncto Pasal 351 KUHP. Penyidikan ini dijalankan oleh Bareskrim Polri dengan mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanpa nama tersangka kepada Kejaksaan Agung.
Selain harus diadili dalam pengadilan terbuka, Komnas HAM juga mendesak Polri melaksanakan rekomendasi lain, yaitu mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B1759 PWQ dan Avanza silver B2178 KJE. Kemudian mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh laskar FPI.
"Komnas berharap berjalan secara cepat, penyidik bisa bekerja secara cepat, dan apa pun bisa dikomunikasikan ke publik supaya spekulasi tidak bertambah," katanya.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mendesak hal serupa, bahwa persidangan dua polisi dapat diakses masyarakat umum. Lebih dalam dari itu, persidangan juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai rekomendasi Komnas HAM guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, Kontras juga mendesak agar Polri mengusut rantai komando dalam peristiwa itu. Jangan sampai kasus berhenti pada pelaku lapangan saja.
"Sidang harus dibuka karena prosesnya dari awal melibatkan Komnas HAM. Dari situ, bisa membuka jalur untuk pengusutan rantai komando juga," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Kamis.
Kuasa hukum FPI Aziz Yanuar mengatakan sejauh ini mereka belum mengetahui siapa nama dua tersangka. Juga belum diketahui polisi tersangka yang tewas berasal dari unit mana. "Kami masyarakat dan keluarga korban masih menunggu siapa komandan dari para pelaku," kata Aziz kepada reporter Tirto, Kamis.
Sama seperti Komnas HAM dan Kontras, ia juga meminta persidangan pembunuhan empat anggota FPI digelar secara terbuka. Tujuannya, agar mengetahui siapa saja pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Lalu, yang juga penting, apa motif mereka melakukan pembunuhan.
Reporter Tirto telah menghubungi Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dan Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono untuk meminta tanggapan perihal desakan agar pengadilan digelar transparan dan akuntabel. Namun hingga naskah ini ditayangkan, mereka belum juga merespons.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino