Menuju konten utama

Bagaimana Negara Lain Menyikapi Prostitusi?

Selama ada pasarnya, prostitusi sulit dihilangkan.

Bagaimana Negara Lain Menyikapi Prostitusi?
Prostitusi di club eksklusif di Berlin, Jerman. Andreas Rentz/Getty Images.

tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi tidak memperpanjang izin Hotel dan Griya Pijat Alexis yang terletak di Jalan Martadinata, Pademangan, Jakarta Utara. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menjelaskan alasan Pemprov DKI menolak perpanjangan izin tempat itu salah satunya terdapat indikasi dan laporan warga terkait praktik prostitusi.

“[Izinnya] sudah habis. Suratnya sudah keluar hari Jumat kemarin,” kata Anies, di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2017). “Pemprov memiliki dasar dan ini menyangkut juga menjaga moral kita. Tapi dasar-dasar itu ada. Kita minta kepada semua pihak untuk menaati keputusan itu.”

Menurut Anies, tidak adanya perpanjangan izin bagi Alexis dengan otomatis membuat operasi usaha tersebut menjadi ilegal dan dapat ditindak secara hukum. “Nanti kami akan pantau karena mereka harus menaati keputusan. Mereka harus menati ketentuan dan kami memiliki aparat untuk menegakkan peraturan,” ungkapnya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini juga menyinggung kembali janji politiknya saat kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu, pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang diusung PKS dan Gerindra tersebut berjanji akan menutup Alexis yang dijadikan tempat prostitusi.

Baca juga:Kota-kota Besar dan Problema Klasik Prostitusi

Anies berpendapat perilaku asusila dan prostitusi di Alexis sudah menjadi rahasia umum dan patut untuk ditutup. Anies menegaskan, dalam kepemimpinannya di ibukota, ia tidak ingin melihat Jakarta menjadi kota yang membiarkan praktik-praktik prostitusi.

“Jangan coba-coba, kalau Anda coba-coba, maka kami akan tindak dengan tegas. Siapa pun, di mana pun, siapa pun pemiliknya, berapa lama pun usahanya, bila melakukan ini praktik-praktik amoral, apalagi menyangkut prostitusi, kami tidak akan biarkan,” tegas Anies.

Di lain sisi, Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Edy Junaedi membenarkan bahwa Pemprov DKI tidak lagi memperpanjang Surat Permohonan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) yang diajukan pengelola Alexis, PT Grand Ancol Hotel. Edi mengatakan, per tanggal 31 Agustus lalu, izin hotel berlantai 7 itu telah habis dan pengelola mengajukan permohonan perpanjangan izin usaha. Namun, pada 27 Oktober 2017, BPTSP memutuskan tidak memperpanjang izin usaha hiburan dan hotel tersebut.

Dalam suratnya, ada tiga pertimbangan penutupan Alexis oleh BPTSP. Pertama,berkembangnya informasi di media massa terkait kegiatan yang tidak diperkenankan dan dilarang di usaha hotel dan griya pijat di Alexis. Kedua, tidak adanya upaya pengelola untuk mencegah segala bentuk tindak pelanggaran kesusilaan dan hukum yang tersiar di berbagai media massa. Terakhir, pemerintah berkewajiban mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi dampak negatif bagi masyarakat luas.

“Mereka kirim surat, kami balas suratnya. Tidak bisa perpanjang. Poinnya seperti yang tercantum dalam surat itu,” kata Edy kepada Tirto melalui sambungan telepon, Senin (30/10/2017).

Masalah Prostitusi: dari Swedia sampai Selandia Baru

Pada dasarnya, setiap negara memiliki pendekatan berbeda mengenai permasalahan prostitusi. Di Swedia, misalnya, melalui Undang-Undang Prostitusi Swedia (Sex Purchase Act atau Sexköpslagen) yang diperkenalkan sejak 1999, pemerintah mengkriminalisasi prostitusi dengan menghukum pelanggan, bukan pekerja seks. Untuk pekerja seksnya sendiri, pemerintah memberi bantuan untuk berhenti dari pekerjaannya.

Berdasarkan laporan resmi pemerintah dalam Skarhed Report yang dirilis 2010 menyebutkan, undang-undang tersebut telah mengurangi aktifitas prostitusi serta menurunkan jumlah pelanggan pria sampai lebih dari 40 persen. Klaim keberhasilan pemerintah Swedia itu membuat Islandia dan Norwegia menirunya pada 2009. Parlemen Eropa juga memutuskan hal serupa dengan menghukum para pelanggan prostitusi.

Baca juga:Penutupan Lokalisasi: Selamat Datang Prostitusi Online

Namun, di balik catatan tersebut terdapat masalah yang tak kalah pelik. Hasil penelitian Asosiasi Pendidikan Seksual dari Universitas Malmo menjelaskan bahwa turunnya aktivitas prostitusi pada tahun 1990an tak bisa dilepaskan dari faktor minimnya penggunaan dan penguasaan teknologi semacam internet maupun seluler. Sekarang kondisinya berbeda. Akses internet serta seluler tak sulit didapatkan. Hasilnya, prostitusi berubah dalam bentuk baru; dari transaksi di jalanan berpindah ke gawai dengan bantuan internet.

Undang-undang itu juga memaksa perempuan terjebak dalam situasi berbahaya karena melakukan transaksi secara sembunyi-sembunyi. Belum lagi stigma masyarakat terhadap pekerja seks masih meluas dengan adanya undang-undang ini. Dampaknya, perempuan sulit memperoleh layanan sosial hingga ancaman kehilangan hak asuh anak.

Sedangkan penelitian May-Len Skilbrei dari Universitas Oslo dan Charlotte Holms dari Universitas Malmo menunjukkan bahwa undang-undang tersebut sebetulnya tidak menyampaikan pesan jelas mengenai apa dan siapa yang terkait dalam permasalahan prostitusi. Undang-Undang Prostitusi Swedia kerap dikatakan menjadi alat efektif untuk melawan perdagangan manusia.

Menurut May-Len dan Charlotte, klaim itu lemah sebab tak ada data resmi yang jelas. Tak sebatas Undang-Undang Prostitusi, di Swedia juga terdapat Aliens Act yang melarang perempuan asing melakukan praktek prostitusi. Dalam implementasinya, aturan ini sering digunakan sebagai dalih untuk mendeportasi para imigran dan orang-orang non-Swedia.

Norwegia tak beda dengan Swedia. Mengutip pendapat May-Len dan Charlotte, ada kesenjangan antara ideologi, kebijakan tertulis, serta praktik di lapangan mengenai penyelesaian masalah prostitusi. Para pekerja seks di Norwegia mendapatkan tekanan dari aparat sampai pandangan buruk dari masyarakat yang membuat mereka lebih rentan.

Situasi serupa dialami salah satu negara bagian Australia. Pada 1999, Perdana Menteri Queensland Peter Beattie mensahkan Undang-Undang Prostitusi yang mengizinkan beroperasinya rumah bordil. Dari undang-undang tersebut, dibentuk pula Otoritas Perizinan Prostitusi yang bertugas mengawasi kegiatan di dalamnya.

Akan tetapi, berdasarkan studi Universitas Queensland, sejak Undang-Undang Pelacuran disahkan, implementasinya dianggap gagal. Laporan Universitas Queensland menyebutkan hanya 10 persen aktivitas industri prostitusi di Queensland yang diatur keberadaannya.

Profesor Andreas Schloenhardt, salah satu peneliti mengatakan 90 persen prostitusi di Queensland justru terjadi di luar rumah bordil yang sah secara hukum. Schlenhardt menambahkan, undang-undang tersebut hanya berlaku efektif untuk melindungi pekerja seks di rumah yang sudah memiliki lisensi.

Infografik negara dan prostitusi

Terpaksa Keadaan hingga Mengolahnya Menjadi Pemasukan

Di Kamboja, prostitusi tidak legal tapi keberadaannya ditolerir. Pasalnya, orang masuk ke dalam industri prostitusi karena terhimpit kondisi ekonomi. Untuk menjauhkan perempuan dari prostitusi, LSM dan kepolisian mengalihkan mereka ke industri garmen yang memproduksi pakaian murah bagi pasar Amerika. Namun, banyak pekerja perempuan itu kembali ke bisnis prostitusi akibat kondisi maupun gaji di pabrik garmen yang dirasa tidak memadai.

Baca juga:Mengapa Banyak Prostitusi di Dekat Rel Kereta Api?

Sementara di Republik Dominika, para perempuan banyak yang memilih pergi ke daerah wisata pantai di sebelah utara untuk terjun ke bisnis prostitusi. Alasannya, dengan menjadi pekerja seks mereka mampu membayar biaya sekolah dan membantu perekonomian keluarga.

Cerita di Jerman beda lagi. Pada 2001, Parlemen Jerman atau Bundestag yang dikuasai koalisi Partai Sosial Demokrat mengeluarkan undang-undang prostitusi yang bertujuan memperbaiki kondisi pekerja seks. Berdasarkan undang-undang itu, pekerja seks dapat menuntut kelayakan upah serta berkontribusi pada program asuransi kesehatan sampai dana pensiun. Singkatnya, Jerman ingin membuat pekerja prostitusi setara dengan profesi lainnya. Alih-alih dikucilkan, Jerman hendak mengajak masyarakat untuk menerima prostitusi.

Sebelum undang-undang itu berlaku, prostitusi di Jerman tidak melanggar hukum tapi dianggap tidak bermoral. Setelah undang-undang prostitusi Jerman berjalan lebih dari 11 tahun, terdapat sekitar 3.000 hingga 3.500 rumah bordil yang tersebar di seluruh negeri. Total pekerjanya sendiri mencapai 200 ribu yang 65 persennya merupakan perempuan dari luar Jerman (kebanyakan Rumania dan Bulgaria). Diprediksi, prostitusi Jerman menyumbang sekitar 14,5 miliar euro dalam setahun.

Baca juga artikel terkait PROSTITUSI atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf