Menuju konten utama

Bagaimana Aturan Pajak Kripto yang Berlaku 1 Mei 2022?

Transaksi kripto yang tidak mendapat izin Bappeti bisa dikenakan pajak PPN dan PPh sebanyak dua kali lipat.

Bagaimana Aturan Pajak Kripto yang Berlaku 1 Mei 2022?
Representasi dari Bitcoin dan mata uang kripto lainnya terlihat diantara bendera China pada gambar ilustrasi diambil Senin (27/9/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Florence Lo/Illustration/HP/djo

tirto.id - Pemerintah telah membuat regulasi soal transaksi perdagangan aset kripto. Dalam aturan terbaru, nantinya akan ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) dalam setiap transaksi perdagangan aset kripto. Kebijakan ini akan mulai berlaku 1 Mei 2022.

"Kenapa kripto ini dikenakan? Pertama tentunya adalah berdasarkan UU PPN atas seluruh penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak terutang PPN. Itu prinsipnya," kata Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP, Bonarsius Sipayung seperti dikutip Tirto, Rabu (6/4/2022).

Sebelum mengenakan pajak terhadap transaksi perdagangan aset kripto, Bonar mengatakan, pemerintah telah mendefiniskan lebih dulu aset kripto. Dan Bank Indonesia, kata dia, sudah menegaskan kalau kripto bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia.

"Kita lihat aturan dari otoritas yaitu BI menyatakan bahwa kripto itu bukan alat tukar. Karena bukan alat tukar, clear, dia adalah barang tertentu yang bisa digunakan sebagai alat tukar tapi bukan alat tukar resmi yang diakui otoritas," jelas dia.

Selain itu, kata dia, aset kripto juga tidak bisa digolongkan sebagai surat berharga. Dalam hal itu, pemerintah merujuk pada ketentuan di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang mengatur kripto sebagai komoditas.

"Kita lihat ini yang mengatur Bappebti. Bappebti mengatur bahwa kripto ini komoditas. Nah begitu (kripto) ini komoditas berarti kita kaitkan dengan UU PPN, di UU PPN disebutkan atas penyerahan barang kena pajak terutang PPN, ini dasarnya," ungkap dia.

Bagaimana dengan Aset Kripto yang tidak Terdaftar di Bappeti?

Seperti dilaporkan Antara News, Bonar mengatakan, transaksi perdagangan aset kripto yang tidak mendapat izin Bappeti juga bisa dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) sebanyak dua kali lipat.

Ia mengatakan, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) atau exchanger aset kripto yang tidak terdaftar di Bappebti harus melakukan pemungutan dan penyetoran PPN dan PPh dengan tarif 0,22 persen dan 0,1 persen.

“Karena kalau PPMSE yang merupakan PFAK (Pedagang Fisik Aset Kripto) terdaftar di Bappebti, tarif PPN yang dipungut dan disetor sebesar 1 persen dari tarif PPN atau 0,11 persen dikali dengan nilai aset kripto, dan tarif PPh 22 finalnya sebesar 0,1 persen," katanya.

Namun demikian, Bonar mengatakan, PPMSE yang merupakan PFAK terdaftar di Bappebti akan memungut tarif PPN dan PPh yang lebih rendah atas perdagangan aset kripto karena punya sistem administrasi yang lebih bagus sehingga bisa dipantau oleh pemerintah.

Menurut dia, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan transaksi aset kripto yang aman di Indonesia. "Kalau tidak mau diatur, kena tarif lebih tinggi. Kita harus selaras dengan Kemendag, yang ada di sistem kementerian itu kita dukung dengan tarif yang lebih rendah," jelasnya.

Pemerintah, kata dia, tidak melarang masyarakat melakukan transaksi yang berkaitan dengan aset kripto, tetapi harus memilih exchanger yang terdaftar di Bappebti.

Sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 68 Tahun 2022, pemerintah mengatur tiga bentuk penyerahan barang kena pajak (BKP) tak berwujud berupa aset kripto yang dikenakan PPN.

1. Pembelian aset kripto dengan mata uang Fiat;

2. Tukar menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya atau swap;

3. Tukar menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto atau jasa.

Baca juga artikel terkait PAJAK KRIPTO atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya