tirto.id - Industri hotel babak belur dihantam pandemi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saja, ada 50 an hotel dan restoran yang ditutup, menurut Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
“Itu baru anggota PHRI saja,” kata Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono kepada reporter Tirto, Selasa (2/2/2021).
Kemerosotan bisnis juga tercermin dari tingginya persentase kredit bermasalah di sektor ini. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) sektor akomodasi, yang di dalamnya termasuk perhotelan, mencapai 6,25 persen. Angka ini menempati posisi kedua tertinggi setelah sektor pertambangan sebesar 7,11 persen.
Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran mengatakan ada pemilik yang bahkan sudah tidak bisa lagi menutup biaya operasional sampai perawatan. “Mereka yang enggak kuat akan jual [aset],” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa. Kondisi ini menurutnya telah terjadi sejak awal tahun.
Di situs jual beli online beberapa hotel memang benar-benar dijual dengan harga beragam. Sebuah akun Selasa lalu baru saja menawarkan hotel seharga Rp60 miliar. Hotel bintang tiga ini berada di kawasan Taman Siswa, jantung DIY, luasnya 4.000 meter persegi dengan 45 kamar.
Ada pula guest house di dekat Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) yang dijual dengan harga Rp45 miliar. Guest house ini terdiri dari 24 kamar, dengan luas bangunan 2.525 meter persegi dan luas tanah 5.000 meter persegi.
Selain DIY, aset yang dijual juga terdapat di Bali, kawasan wisata di Jawa Barat seperti Bandung dan Puncak, lalu Malang, bahkan Jakarta. Le Meridien, hotel bintang lima berlantai 20, dengan total kamar lebih dari 300 belum termasuk 14 ruangan meeting dan beragam fasilitas lain seperti restoran, bar, dan kolam renang, ditawarkan dengan harga Rp2,7 triliun.
Maulana mengatakan para pemilik aset tak sekadar menjual, tapi melepasnya dengan harga miring. Tujuannya tidak lain agar cepat mendapatkan uang segar. “Menjual itu juga bukan hal mudah, karena untuk mendapatkan pembeli di kondisi sekarang ini susah,” katanya.
Fenomena ini bisa dipahami, katanya. Pengusaha hotel yang babak belur sejak awal masa pandemi sudah kehabisan modal untuk menutupi segala kebutuhan. Pendapatan selama ini tidak jelas, sementara biaya operasional dan beberapa pungutan seperti PBB dan pajak reklame masih wajib dibayar.
“Bebannya itu di pajak. Kalau Pemprov DKI memberikan diskon PBB 20 persen, daerah lain itu enggak ada potongan, enggak ada relaksasi meskipun kami hanya meminta penundaan pembayaran,” katanya.
Di Padang, PBB bukannya diturunkan malah “dinaikan 35 persen,” katanya. “Kan lucu, orang lagi susah, ini PBB naik. Kemudian beberapa daerah lain malah menaikkan pajak reklame. Ini bagaimana?” imbuh dia.
Pada masa krisis ini ia dan para pengusaha meminta pemerintah mengabulkan permintaan yang telah disampaikan sejak tahun lalu, yaitu memberikan subsidi okupansi untuk bisa membayar biaya pemeliharaan dan operasional setidaknya 20 persen. “Kalau didiamkan akan bikin gedung rusak. Nanti ketika recover kami harus operasi lagi, biayanya akan besar sekali. Uang dari mana?”
Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan dukungan likuiditas keuangan pemerintah memang sangat dibutuhkan para pengusaha mengingat aktivitas bisnis mereka bisa dikatakan lumpuh imbas kebijakan pembatasan sosial.
BPS mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia selama 2020 hanya mencapai 4,02 juta. Jumlah ini turun 75,03 persen dari periode 2019 yang mencapai 16,10 juta. Belum lagi wisatawan lokal.
“Bagaimana menumbuhkan pariwisata tanpa menaikkan angka COVID-19 ini memang sulit. Tapi pokoknya bantu dulu, yang penting tutup biaya operasional, itu paling minimal,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa.
Tanpa bantuan, dampaknya akan dirasakan banyak pihak mengingat industri hotel menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
Sebelum ini pun PHK telah terjadi. “Dari beberapa perhitungan itu ada sekitar 2,3 juta pekerja yang di-layoff di sektor perdagangan hotel dan pariwisata,” katanya.
Selain gelombang PHK, industri ini juga akan sulit kembali normal dan pada akhirnya memengaruhi ekonomi secara umum.
“Defisit APBN melebar bukan hanya karena ada stimulus yang besar besaran, tapi memang karena penerimaan anjlok. Sektor pariwisata adalah sektor yang sangat menghasilkan dari sisi revenue perpajakan. Kalau banyak hotel yang gulung tikar, sudah pasti ada potensi [pendapatan negara] hilang juga," tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino