Menuju konten utama

Azyumardi: 76 Tahun Merdeka, Pemberantasan Korupsi Indonesia Suram

Tidak ada kabar baik mengenai pemberantasan korupsi menjelang peringatan ulang tahun Indonesia pada 17 Agustus mendatang.

Azyumardi: 76 Tahun Merdeka, Pemberantasan Korupsi Indonesia Suram
Mahasiswa Palangkaraya yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Bersama KPK (Gebrak) berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Provinsi Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (2/7/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.

tirto.id - Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mengatakan kondisi pemberantasan korupsi Indonesia suram dan belum menemukan titik terangnya kembali menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-76 nanti.

Pangkal dari carut marut pemberantasan korupsi di Indonesia adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terjadi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Jadi itu kesimpulannya, saya tidak terlalu optimis, tidak terlalu cerah, tidak ada kabar baik dalam isu ini menjelang 17 Agustus ini, menjelang kita merayakan dengan penuh semangat," kata Azyumardi dalam acara diskusi yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Kamis (12/8/2021).

Azyumardi mengatakan, pelemahan KPK berawal dari Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Surpres itu pun ditindaklanjuti oleh DPR dan Kementerian Hukum dan HAM hingga menghasilkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU 30/2002 tentang KPK.

Azyumardi bersama sejumlah masyarakat sipil pernah menemui Jokowi di Istana dan memintanya untuk membatalkan undang-undang tersebut karena poin-poinnya yang melemahkan KPK.

Jokowi hanya mengatakan akan mempertimbangkan itu, tetapi belakangan tidak dilakukan. Menurut Azyumardi pertemuan dan ucapan itu hanya gimmick belaka.

"Dan gimmick-nya ditambah lagi dengan tidak mendatangani undang-undang yang sudah disahkan oleh DPR itu. Jadi undang-undang itu berlaku tanpa tanda tangan dari presiden," kata Azyumardi.

Sejak saat itu, kepercayaan terhadap KPK terus merosot, dan menurut Azyumardi puncaknya ketika Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sebagai catatan, alih status itu adalah amanat undang-undang baru KPK.

Akibat tes ini, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dinonaktifkan. Bahkan, mereka akan diberhentikan per 1 November nanti. Beberapa nama yang bisa terdepak adalah penyidik Novel Baswedan dan penyidik Andre Nainggolan.

Kendati telah ditemukan banyak kecacatan dalam prosesnya, Jokowi tak melakukan tindakan apa pun. Ia hanya mengeluarkan pernyataan agar hasil TWK tidak dijadikan alasan untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lolos. Pernyataan yang pada akhirnya tidak diindahkan oleh KPK, dan Jokowi tidak melakukan apa-apa soal itu.

"Pernyataan Presiden Jokowi itu seperti angin lalu saja ya masuk kuping kanan keluar kuping kiri tidak dipedulikan oleh KPK dan tetap saja kemudian KPK melantik pegawai-pegawai yang lain dan kemudian meninggalkan yang 75 itu," kata Azyumardi.

Ombudsman pun mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) atas pelaksanaan TWK dan menemukan sejumlah maladministrasi. Namun, lagi-lagi KPK menolak melaksanakan rekomendasi yang diberikan Ombudsman, dan Jokowi pun tetap bergeming.

"Banyak terjadi maladministrasi cacat dari segi prosedur dan macam-macam selain soal substansi tetapi presiden Jokowi melakukan apa-apa terdiam seribu bahasa," kata Azyumardi.

Nihilnya komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi akhirnya merembet ke lembaga penegak hukum lainnya.

Azyumardi mencontohkan Mahkamah Agung, terakhir Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari padahal ia dinyatakan bersalah atas tiga kejahatan yaitu menerima suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang.

Gejala itu pun muncul di tubuh Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi atas Undang-Undang 19/2019 dengan pertimbangan, yang menurut Azyumardi, tidak dapat diterima.

"Saya kira kalau Presiden Jokowi tidak mengambil langkah-langkah drastis, memperbaiki keadaan ini, khususnya dengan mengeluarkan Perppu membatalkan undang-undang nomor 19 2019 itu, maka menurut proyeksi saya soal kegaduhan KPK ini, KPK dengan berbagai kegaduhan yang ditimbulkannya itu akan menjadi negatif legacy, warisan yang negatif dari presiden Jokowi," tandas Azyumardi.

Baca juga artikel terkait PEMBERANTASAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - News
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali