Menuju konten utama

Aturan Belum Rampung, Pemerintah Tunda Pemberlakuan Pajak Karbon

Penundaan ini merupakan kali kedua setelah sebelumnya pemerintah merencanakan berlaku efektif pada awal April 2022 lalu.

Aturan Belum Rampung, Pemerintah Tunda Pemberlakuan Pajak Karbon
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Priok, Kamis (3/2/2022). . ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Pemerintah memutuskan, kembali menunda pemberlakuan pajak karbon yang awalnya direncanakan pada Juli 2022 mendatang. Sebelumnya, pemerintah juga menunda perberlakuan pajak karbon pada awal April 2022 lalu.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu beralasan, penundaan ini dilakukan karena pemerintah masih mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan Pajak Karbon. Hal ini dilakukan bersama dengan seluruh Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait termasuk Kemenkeu.

Proses penyempurnaan peraturan pendukung tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.

"Proses pematangan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya, yang sistemnya akan didukung oleh pajak karbon, masih membutuhkan waktu. Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan pajak karbon," kata Febrio dalam pernyataannya, Jumat (24/6/2022).

Febrio mengatakan, meski ditunda pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batubara. Pengenaan ini melalui mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada 2022 sesuai amanat UU HPP.

"Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon," jelasnya.

Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan pajak karbon pada 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Pemerintah juga mendorong aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lainnya.

Di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang di satu sisi memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT).

"Ini dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya,” tutup Febrio.

Sebelummya, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menyatakan, komitmen pemerintah dalam perubahan iklim memang tidak begitu terlihat. Apalagi penerapan pajak karbon terkesan terpaksa, setelah Presiden Joko Widodo terus mengemukakan tentang transmisi energi bersih terbarukan (EBT).

“Kemudian [Menteri Keuangan] Sri Mulyani menekan mempunyai carbon tax meskipun dia belum siap dan begitu belum bernafsu [untuk diimplementasikan]," katanya kepada reporter Tirto.

Fahmy mengatakan, yang dilakukan Kementerian Keuangan hanya fokus kepada pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen sudah berlaku 1 April 2022, ketimbang pajak karbon. Sebab, secara cash flow jumlah penerimaan yang masuk ke kas negara lebih besar.

“Karena nanti dia [PPN] akan kena pajak cukup tinggi. Tapi itu objek pajak karbon tidak cukup banyak dari PPN, maka Sri Mulyani sangat rasional lebih mendahulukan pajak PPN," kata dia.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait PAJAK KARBON atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang