tirto.id - Salah satu calon Komisioner Komnas Perempuan Arabiyani Abubakar memaparkan sejumlah masalah yang masih kerap dihadapi di Aceh dalam uji publik calon anggota Komnas Perempuan periode 2020-2024 di Jakarta, Senin (14/10/2019). Menurut Arabiyani, sejumlah permasalahan tersebut tak lepas dari tiga hukum yang masih menjadi sumber bagi aparat penegak hukum (APH) di Aceh.
Tiga hukum yang berlaku di masyarakat Aceh, kata Arabiyani, adalah hukum positif, hukum adat, dan hukum syariah. Seharusnya, ketiga sumber hukum tersebut bisa bergerak untuk saling mengisi satu sama lain.
“Tapi alih-alih menjadi alternatif, yang timbul adalah perbedaan persepsi di aparat penegak hukum, yang menggunakan sumber hukum seusai persepsi masing-masing,” ujar Arabiyani dalam Uji Publik Calon Anggota Komnas Perempuan, di Hotel Sari Pasific, Jakarta, pada Senin (14/10/2019).
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dari aktivis perempuan di Aceh ini adalah penerapan hukum kepada pelaku pemerkosaan di Aceh.
“Ada beberapa yang diselesaikan melalui musyawarah dengan hukum adat, jadi antara pelaku dan korban dinikahkan,” ungkap Arabiyani.
“Kemudian pada kasus serupa di tempat yang berbeda, hakim memutuskan menggunakan cambuk. Selesai cambuk, pelaku kembali bertemu dengan korban, lalu yang harus keluar dari lingkungannya adalah korban,” lanjutnya.
Belum lagi, ujar Arabiyani, stigma-stigma negatif justru lekat dengan para korban perkosaan, seperti dianggap perempuan penggoda.
“Jadi potensi pluralisme hukum ini masih menjadi tantangan bagi Komnas Perempuan ke depan, dan potensi melepas pelaku ini mudah sekali, ini sungguh menjauhkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” tegasnya.
Arabiyani juga menyoroti salah satu imbauan yang dikeluarkan oleh pejabat di Aceh. Imbauan tersebut meminta perempuan agar tak kelar malam. “Imbauan perempuan tak boleh keluar dan duduk di luar saat waktu malam, ini jelas merugikan perempuan dari segi ekonomi,” tegasnya.
Dalam uji publik ini, Arabiyani menyoroti ikhwal masalah hukuman cambuk. Baginya, hukuman cambuk memang rentan menjadi alat politik oleh para pejabat.
“Khusus untuk cambuk, saya pikir ini mudah sekali dipolitisasi,” ujar Arabiyani. “Cambuk di APBD, biayanya mahal sekali, jadi senang sekali melakukan cambuk, karena biayanya juga besar sekali,” lanjutnya.
Menanggapi segala masalah tersebut, Arabiyani menganggap, langkah yang seharusnya diambil bukanlah menghapus hukum syariah secara menyeluruh, melainkan menggunakan perspektif yang lebih humanis dalam penerapan hukum syariah.
“Bagaimana menghadiri syariat islam yang humanis, ke makhluk hidup, jadi tidak hanya manusia,” pungkasnya.
Arabiyani merupakan satu dari 50 calon Komisioner Komnas Perempuan yang sejauh ini lolos tahap penelusuran rekam jejak dan administrasi. Pada tanggal 14 dan 15 Oktober 2019, mereka menyelengarakan uji publik calon anggota periode 2020-2024. Uji publik itu diadakan di Hotel Sari Pacific, Jakarta, di Ruang Istana 1 dan Ruang Istana 2.
Masyarakat bisa menyaksikan uji publik tersebut melalui akun Youtube Komnas Perempuan untuk uji publik di Ruang Istana I dan di akun Facebook Komnas Perempuan untuk uji publik di Ruang Istana II. Selain itu, masyarakat juga bisa menyampaikan masukan atau pertanyaan untuk para calon anggota Komnas Perempuan melalui WhatsApp dan SMS di nomor 0811-8102-703.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika