tirto.id - Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, tutupnya sejumlah gerai ritel di Indonesia belakangan ini sebagai dampak dari kinerja industri yang stagnan.
Berdasarkan analisis Aprindo beberapa waktu lalu, lambatnya pertumbuhan industri ritel antara lain disebabkan: usia produktivitas masyarakat yang lebih cepat, berubahnya pola belanja ke online, adanya sikap menahan belanja karena situasi politik yang tidak kondusif, lebih gemar berplesiran, serta memiliki deposito berjangka (time deposit).
“Untuk itu retail sebenarnya perlu melakukan redefinisi pasar. Ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni memperbesar maupun mengganti format (dagang), serta pindah ke lokasi yang lebih prospektif,” kata Roy saat dihubungi Tirto via telepon pada Selasa (24/10/2017).
Dengan begitu, Roy beranggapan kalau toko ritel yang mulai menyediakan fasilitas belanja daring (online) biasanya akan bisa bertahan. Di samping, pengelola toko juga harus jeli dalam mengobservasi serta mengkaji ulang lokasi toko, sehingga bisa memperoleh dampak yang lebih signifikan.
Baca juga:
Lebih lanjut, Roy pun mengatakan, kalau pola yang ditemui pada toko-toko ritel yang akan tutup biasanya sama, yakni turunnya pendapatan yang tidak bisa digunakan untuk menutup biaya operasional.“Tapi bagaimanapun perubahan harus dilakukan, karena ritel harus tetap hadir memenuhi kebutuhan masyarakat,” ucap Roy.
Oleh karena itu, selain mengubah format dari konvensional ke daring sebagai salah satu solusinya, Roy mengimbau agar toko ritel lebih selektif dalam memilih barang-barang yang akan dijual. “Perlu adanya seleksi dan memilih mana yang dominan. Karena enggak semua produk bisa diterima masyarakat. Perlu adanya pemenuhan kebutuhan pada barang-barang yang menjadi pilihan masyarakat,” kata Roy.
Tak hanya itu, Roy turut berpesan kepada pemerintah agar mampu memberikan harmonisasi dan relaksasi dalam setiap regulasinya kepada para pelaku industri ritel modern. Lewat regulasi yang lebih fleksibel, industri ritel modern diprediksi mampu lebih berkembang dari sekarang ini.
“Selain itu, perlu adanya insentif. Karena selama ini ritel modern juga telah menjadi garda depan untuk menyosialisasikan harga sejumlah bahan pokok, seperti gula dan beras,” ungkap Roy.
Baca juga:
- Toko Ritel Berguguran, Pemasok Barang Cari Peluang Pasar Baru
- Penutupan Gerai Lotus: Karyawan Bakal Dikembalikan ke Vendor
“Di saat seperti ini, kami harap bisa diberi relaksasi untuk harga listrik. Dengan diberikannya keringanan, itu dapat menjadi kelegaan,” ucap Roy.
Pengaruh biaya listrik terhadap biaya operasional toko ritel dikatakan Roy cukup memberikan pengaruh yang signifikan. Untuk toko ritel yang berada di pusat perbelanjaan, Roy mengklaim beban listrik bisa mencapai 35-40 persen dari total biaya operasional. Sedangkan untuk toko yang berdiri sendiri, bebannya dikatakan berkisar 30-35 persen.
Saat disinggung mengenai rencana tutupnya toko ritel Lotus Department Store per 31 Oktober 2017 nanti, Roy mengaku belum memperoleh keterangan resminya dari PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) selaku pihak pengelola. Meski begitu, Roy mengindikasikan bahwa tutupnya Lotus bisa menjadi pelajaran pentingnya redefinisi bagi toko ritel modern saat ini.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz