tirto.id - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai target pemerintah menggenjot jumlah pabrik pengolahan (smelter) nikel sebanyak 37 unit pada 2021 sulit direalisasikan apabila pembatasan ekspor bijih nikel dilakukan.
"Kalau pembatasan ekspor dilakukan, paling smelter yang bertahan jumlahnya hanya akan ada 20," kata Sekjen APNI Meidy K Lengkey dalam diskusi Kontroversi Penghentian Ekspor Ore Nikel dan Pembangunan Smelter, di Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019).
Meidy menjelaskan pembangunan pabrik pemurnian nikel selama ini dibangun dengan mengandalkan ekspor bijih nikel ke Cina lantaran pengusaha kesulitan untuk mendapatkan suntikan modal dari bank lokal dalam membangun smelter.
Untuk itu, beberapa bulan terakhir ini--sebelum larangan ekspor bijih nikel mulai berlaku 1 Januari 2020--pengusaha jorjoran menjual ekspor bijih nikel agar modal untuk membangun smelter tersebut bisa terpenuhi.
Di lain pihak, Meidy berharap pemerintah bisa menepati janji untuk menyerap nikel mentah ke smelter-smelter lokal dengan harga yang sudah disepakati, yakni sesuai dengan Harga Patokan Mineral (HPM) sebesar 32 dolar AS per ton.
"Meski ada statement dari pemerintah bahwa bijih nikel akan dihargai hingga 46 dolar AS per ton, toh itu hanya statement saja. Kami berharap pemerintah tetap membuat aturan saja soal harga nikel kami dibiayai sesuai HPM," terang Meidy.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang