tirto.id - Poppers merupakan salah satu jenis obat yang dilarang di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak 2021. Lantas, apa itu obat poppers dan kenapa dilarang peredarannya oleh BPOM?
Obat poppers dilarang oleh BPOM karena terbukti berbahaya untuk kesehatan. Baru-baru ini, Direktorat Tindak Pidana (Dittipid) Narkoba Bareskrim Polri, berhasil mengamankan sejumlah tersangka terkait peredaran poppers.
Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa, sebanyak tiga tersangka telah ditangkap atas kasus obat-obatan terlarang ini. Ketiga tersangka ditangkap pada 13 Juli 2024, karena mengedarkan poppers untuk pesta seks sesama jenis.
Lebih lanjut, Mukti menjelaskan bahwa poppers yang diperoleh tersangka berasal dari China. Polisi berhasil mengetahui transaksi poppers setelah mendapat informasi soal rencana transaksi obat-obatan tersebut di kawasan Bekasi Utara, Jawa Barat.
Menurut Mukti, obat-obatan poppers itu dijual lewat media sosial dengan pengedar berlokasi di Banten. Sebelum diedarkan, obat-obatan tersebut disimpan di sebuah rumah yang digunakan sebagai gudang.
“Dan (obat) disimpan di sebuah rumah yang dijadikan sebagai gudang. Obat perangsang itu biasa digunakan oleh kelompok LGBTQ,” kata Mukti dalam rilis Humas Polri, Selasa (23/7/2024).
Lebih lanjut, Bareskrim Polri berhasil menyita sebanyak 1.669 botol atau kotak poppers. Jika diasumsikan satu botol digunakan oleh satu orang per hari, maka total jiwa yang terselamatkan ada sebanyak 786.669 jiwa.
Apa Itu Obat Poppers, Kandungan, dan Kegunaannya?
Obat poppers masih asing di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Apa itu obat poppers? Obat poppers adalah obat perangsang yang digunakan untuk meningkatkan kenikmatan hubungan seksual.
Nama lain obat poppers bermacam-macam, ada yang menyebutnya amil nitrit, isobutil nitrit, hingga alkil nitrit. Nama lain obat poppers itu berasal dari zat-zat yang terkandung di dalamnya.
Mengutip WebMD, kandungan obat poppers terdiri dari isobutil nitrit, alkil nitrit, amil nitrat, bulit nitrit, isopropil nitrit, dan sikloheksil nitrit. Zat-zat tersebut bergabung dan dapat menimbulkan reaksi euforia bagi para penggunanya.
Poppers digunakan dengan cara dihirup asapnya oleh pengguna. Seperti yang disampaikan oleh Mukti, obat ini biasa digunakan sebagai obat perangsang yang memberi kenikmatan seksual.
Poppers bekerja dengan membuat pembuluh darah penggunanya melebar. Pelebaran pembuluh darah ini menyebabkan jaringan otot polos seluruh tubuh menjadi rileks.
Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku seks anal karena memberikan efek relaksasi pada bagian dubur dan mengurangi rasa sakit.
Obat poppers biasa dijual dalam bentuk botol-botol kecil di toko online atau pasar gelap. Hal ini karena poppers sudah dilarang peredarannya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menurut Cleveland Clinic, di beberapa wilayah peredaran poppers disamarkan sebagai pembersih kulit, penghapus cat kuku, hingga penghilang bau ruangan.
Bahaya Obat Poppers
Obat poppers adalah obat yang berbahaya. Alasan ini juga yang menyebabkan BPOM melarang penggunaan poppers di Indonesia.
Larangan penggunaan poppers di Indonesia tercantum dalam Peraturan BPOM Nomor 17 Tahun 2022. Aturan tersebut menyebut bahwa isobutyl nitrite dilarang penggunaannya untuk kosmetik.
Bahaya poppers bisa memengaruhi fisik hingga psikis penggunanya. Masih menurut Cleveland Clinic, asap poppers yang dihirup pengguna bisa menyebabkan efek samping serius, bahkan berakibat fatal.
Pengguna poppers juga bisa merasakan efek psikologis usai penggunaan obat tersebut, seperti gelisah dan kecemasan. Berikut daftar bahaya obat poppers bagi pengguna:
- Sakit kepala atau pusing akibat pembuluh darah di otak melebar;
- Pengguna yang memiliki tekanan darah rendah berisiko pingsan setelah mengonsumsi poppers, karena obat ini memicu penurunan tekanan darah;
- Peningkatan aktivitas jantung yang memicu irama jantung tidak teratur;
- Gangguan penglihatan dan penurunan kemampuan visual;
- Gelisah dan kecemasan;
- Meningkatnya risiko sindrom kematian mendadak karena takikardia atau jantung berdetak lebih dari 100 kali per menit.
Editor: Dipna Videlia Putsanra