tirto.id - Ramai di media sosial warganet yang mengeluh tentang "oplosan" Pertalite RON 90 dan Pertamax RON 92, salah satu kasus yang sedang menjadi perhatian Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam hal ini, Kejagung mengatakan bahwa tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang "mengoplos" Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON 90 menjadi RON 92.
"BBM berjenis RON 90, tetapi dibayar seharga RON 92, kemudian dioplos, dicampur," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/1/2025).
Kejagung menyatakan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.
Penemuan kasus ini kemudian viral di media sosial karena masyarakat merasa dirugikan. Harga Pertalite di Indonesia adalah Rp10 ribu per liter dan Pertamax Rp12.900 per liter. Jika "dioplos" maka kualitasnya akan berbeda dengan Pertamax RON 92. Apa arti kata oplosan dalam kasus ini?
Arti Kata Oplosan dalam Kasus Pertamax dan Pertamina: RON 90 dan RON 92
Oplosan adalah campuran atau larutan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oplosan artinya "hasil mengoplos; campuran; larutan". Kata oplosan kerap digunakan dalam kasus minuman keras (miras) yang menimbulkan korban jiwa.
Minuman oplosan banyak beredar di masyarakat karena harganya yang relatif murah, yaitu antara Rp15 ribu-Rp20 ribu per bungkus plastik sehingga terjangkau oleh masyarakat. Oplosan dalam miras merupakan gabungan dari berbagai jenis minuman seperti arak, ciu, dan lain-lain.
Serupa dengan definisi tersebut, oplosan dalam kasus Pertamax ini berarti pelaku mencampurkan atau mengolah BBM Pertalite RON 90 menjadi Pertamax RON 92. Proses pencampuran ini merupakan tindakan curang dan merugikan banyak orang.
Pertamina membantah narasi oplosan yang beredar luas di masyarakat ini dan menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan Kejagung adalah soal pembeliannya.
“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan kejaksaan,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Fadjar, terdapat narasi yang keliru ketika memahami pemaparan oleh Kejaksaan Agung.
Fadjar menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh Kejaksaan Agung adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan terkait adanya oplosan Pertalite menjadi Pertamax.
RON 90 adalah jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki nilai oktan sebesar 90. Pada produk Pertamina, RON 90 adalah Pertalite, di sisi lain RON 92 adalah Pertamax.
Dalam kesempatan tersebut, Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan kejaksaan,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Fadjar, terdapat narasi yang keliru ketika memahami pemaparan oleh Kejaksaan Agung.
Fadjar menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh Kejaksaan Agung adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan terkait adanya oplosan Pertalite menjadi Pertamax.
RON 90 adalah jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki nilai oktan sebesar 90. Pada produk Pertamina, RON 90 adalah Pertalite, di sisi lain RON 92 adalah Pertamax.
Dalam kesempatan tersebut, Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
Kronologi Kasus "Oplosan" Pertamax dan Pertalite
Tindakan curang tersebut bermula pada periode 2018—2023 pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018. PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Akan tetapi, tersangka Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, dan tersangka Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, melakukan pengondisian yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.
Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.
Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis, bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.
Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya pengondisian pemenangan broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi persyaratan.
Disebutkan pula oleh Qohar bahwa tersangka Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta tersangka Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak melakukan komunikasi dengan tersangka Agus agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka Sani untuk impor minyak mentah serta dari tersangka Riva untuk impor produk kilang.
"Kerugian negara akibat impor minyak mentah melalui broker. Jadi, pada saat yang sama, bagian KKKS itu dijual ke luar negeri dengan alasan harganya tidak masuk HPS," ujarnya.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva melakukan pembelian BBM berjenis RON 92. Padahal, sebenarnya hanya membeli RON atau lebih rendah.
BBM tersebut kemudian dioplos di storage atau depo untuk dijadikan RON 92. Padahal, kata dia, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Adapun setelah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh pula fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Akibatnya, negara mengeluarkan fee sebesar 13—15 persen secara melawan hukum. Tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, lanjut dia, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih mahal.
"Ketika itu dijual kepada masyarakat. Maka, jelas masyarakat tidak mampu atau terlalu tinggi sehingga pemerintah turun tangan membeli dan memberikan subsidi dan kompensasi. Ini akibatnya uang APBN tergerus," ucapnya.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun.
Editor: Iswara N Raditya