tirto.id - Emelle Lewis merasa gemuk dan jelek saat duduk di bangku SMA. Ia ingin menurunkan berat badan agar bisa merasakan hal yang lebih dulu dialami kawan-kawannya: mudah berteman dan cepat punya pacar. Sejak itulah Lewis mulai sering berolahraga di gym. Perempuan asal kota Huddersfield, Inggris tersebut juga tak lagi menjadi penyantap segala makanan. Ia hanya mengonsumsi salad, kue beras, dan sereal gandum.
Seperti yang dilaporkan Unilad, Lewis sukses menurunkan berat badan. Namun, usaha kerasnya harus dibayar dengan jatuh sakit. Ia acap kali kedinginan hingga merasa ngilu. Baru diketahui kemudian Lewis telah menderita menderita anoreksia selama enam tahun. Perempuan berusia 23 tahun itu akhirnya bisa mengatasi penyakit gangguan makan tersebut setelah kambuh tujuh kali.
Berbeda dengan Lewis, Eric Ostendorf menderita anoreksia sejak usia 10 tahun. CNN mengatakan bahwa Ostendorf adalah pribadi yang sangat suka berkompetisi. Ia pernah diejek oleh teman-temannya karena bertubuh pendek lagi gempal. Sebelum menginjak usia 11 tahun, Ostendorf menemukan majalah kebugaran dan peralatan angkat berat milik sang ayah. Sejak itu ia keranjingan olahraga. Karena takut gemuk, ia pun juga menghindari makanan yang mengandung karbohidrat.
Setiap hari, Ostendorf bisa lari tujuh atau delapan mil, mengangkat alat berat selama satu jam, bermain sepakbola dua jam lamanya, dan membentuk otot perut. Berat badannya pun turun, tapi tak normal. Di usia 15, ia masuk rumah sakit karena denyut jantung lemah. Sejak saat itu, ia menyadari apa yang ia lakukan keliru dan memutuskan mengikuti program perawatan di sebuah klinik.
Kepada People, Dennis Quaid, pemeran Jack Hall dalam film The Day After Tomorrow, juga mengaku pernah berjuang melawan anoreksia. Penyakit gangguan makan ini mendera Quaid pada tahun 1990-an ketika ia menurunkan berat badan untuk peran Doc Holliday di Wyatt Earp. Ia mengaku sangat terobsesi dengan apa yang ia konsumsi, berapa banyak kalori yang ia serap, dan seberapa sering dirinya mesti berolahraga.
Penyebab Anoreksia
Anorexia Nervosa atau anoreksia, menurut Psychology Today, adalah penyakit gangguan makan yang ditandai keengganan seseorang untuk mengonsumsi makanan yang cukup atau menjaga berat badan minimal berdasarkan indeks massa tubuh. Soal citra tubuh, pengidap anoreksia sering memelihara bayangan negatif tentang diri mereka sendiri. Misalnya, mereka membayangkan bertubuh gemuk dan takut jika berat badan bertambah. Walhasil, mereka tak ragu membatasi asupan makanan, mengonsumsi obat pencahar, hingga olahraga berlebihan.
Anoreksia termasuk satu dari tiga jenis gangguan makan utama selain bulimia dan Binge Eating Disorder (BED). Menurut Mayo Clinic, anoreksia bisa diketahui lewat gejala fisik, emosi, dan perilaku. Gejala fisik penderita anoreksia antara lain berat badan yang turun drastis, insomnia, kelelahan, volume darah yang tak normal, pusing, hingga pingsan. Sementara itu, gejala emosi dan perilaku yang ditunjukkan adalah kerap tidak mau makan, menolak makan ketika merasa lapar, berbohong soal berapa banyak makanan yang disantap, gampang marah, dan berkali-kali mengecek berat badan.
Meski telah dikenali gejala-gejalanya, penyebab anoreksia belum diketahui secara pasti. Namun, menurut National Health Service, ada sejumlah indikator yang meliputi faktor psikologis, lingkungan, biologis, dan genetik yang dapat menjadi pemicunya. Faktor-faktor pendorong tersebut mencakup perubahan fungsi otak atau kadar hormon, stres, serta intimidasi di sekolah, pekerjaan atau hobi, dan pandangan tentang bentuk tubuh ideal. Dari sisi psikologis, kecenderungan orang mengalami depresi, cemas, dan sulit menangani stres juga bisa memunculkan anoreksia.
Berkaca pada indikator di atas, penyebab anoreksia tidak tunggal. Penelitian bertajuk "Perceptions of the causes of eating disorders: a comparison of individuals with and without eating disorders" (2015) yang dilakukan oleh Federica Tozzi, dkk, misalnya, menyebut dua faktor penyebab penyakit gangguan makan—termasuk anoreksia—yakni masalah psikologis dan emosional, serta persoalan sosial.
Problem psikologis dan emosional yang dimaksud meliputi stres, depresi, khawatir, kehendak untuk mengontrol, rendahnya kepercayaan diri, dan sifat perfeksionis. Persoalan sosial di sini merujuk pada isolasi sosial, pengalaman mendapat ejekan, tekanan kelompok, atau retaknya hubungan dengan pasangan. Hasil ini ditemukan setelah Federica Tozzi, dkk menganalisis data dari kuesioner yang diisi oleh 57 orang responden pengidap gangguan makan.
Terjadi pada Pria
Laman WebMD menyebutkan bahwa anoreksia lebih sering terjadi pada perempuan. Tak heran, literatur soal anoreksia lebih banyak membahas pengalaman perempuan daripada laki-laki. Padahal, perhatian pada problem pria penting dilakukan sebab laki-laki pun rentan mengidap penyakit gangguan makan tersebut. Eric Ostendorf dan Denis Quaid adalah dua dari sekian contoh.
Menurut Weltzin dalam studi Eric Strother, dkk yang berjudul “Eating Disorder in Men: Underdiagnosed, Undertreated, and Misunderstood (2012), sebanyak 10 persen pasien penyakit anoreksia dan bulimia adalah pria. Pada 2007, dilaporkan bahwa 25% penderita bulimia dan anoreksia adalah laki-laki.
Dari segi sejarah berat badan, Strother, dkk mengatakan sebelum menderita anoreksia, bulimia, atau BED, laki-laki cenderung mengalami obesitas ringan yang biasanya terjadi saat masa anak-anak. Sebaliknya, perempuan umumnya merasa gemuk di saat berat badan mereka normal, sebelum akhirnya mengidap penyakit gangguan makan.
Selain itu, Strother, dkk juga menjelaskan perilaku pemicu penyakit gangguan makan pada laki-laki adalah olahraga berlebihan. Olahraga berlebihan bisa memicu ketagihan dan beberapa laki-laki sengaja melakukannya untuk mengurangi kalori sementara. Mereka yang mengidap penyakit gangguan makan juga tak jarang berjuang dengan muscle dysmorphia atau obsesi pada bagian otot yang dianggap tak menarik.
Terlepas dari perbedaan di atas, anoreksia bisa memengaruhi fisik baik perempuan maupun laki-laki jika dibiarkan terus-menerus. Salah satu risikonya adalah osteoporosis, yang muncul karena tulang tidak mendapatkan kalsium sehingga keropos.
Baik laki-laki maupun perempuan yang paling kekurangan gizi berpotensi mengalami pengeroposan tulang, menurut penelitian Jason Nagata dan tim dari University of California. Dalam riset yang lain, Nagata, dkk lebih lanjut menggambarkan betapa pengeroposan pada perempuan dengan anoreksia sering terjadi di bagian pinggul dan tulang paha serta panggul. Pria dan anak laki-laki berusia kurang dari 40 tahun tidak mengalami pengeroposan. Namun, osteoporosis menyerang tulang punggung ketika mereka menginjak usia kepala empat.
Di samping osteoporosis, anoreksia juga menyebabkan hilangnya otot jantung akibat massa otot yang berkurang sehingga jantung mengecil dan denyutnya melemah. Jika dibiarkan, jantung akan rusak.
Kesadaran dan penanganan yang tepat diperlukan agar penderita anoreksia dapat diselamatkan dan nyawa tak melayang sia-sia.
Editor: Windu Jusuf