tirto.id - Qeshm, pulau di selatan Iran bukan tujuan wisata populer bagi para pelancong. Di tempat ini tidak banyak ditemukan objek wisata. Sampai sekarang, pemerintah setempat masih mencari cara agar pulau tersebut mulai didatangi turis.
Lembaga riset Community Conservation Research Network pernah berkunjung ke sana untuk mengamati hal-hal potensial yang bisa jadi daya tarik. Hasilnya: mereka mencatat kekayaan alam dan upaya masyarakat mempertahankan tradisi. Satu yang luput dari catatan itu yakni gaya busana para wanita.
Selayaknya wanita Arab, orang-orang Qeshm mengenakan abaya dan niqab atau burka. Bedanya, bentuk penutup wajah mereka serupa topeng. Warga setempat menyebutnya dengan istilah Boregheh. Topeng ini menutupi bagian atas alis, hidung, dan mulut. Sekilas membuat pemakainya nampak seperti menggunakan kumis palsu yang meruncing di kedua ujungnya.
Boregheh dikenakan wanita Bandari, kelompok etnis di Iran. Benda ini terbuat dari kayu dan kain. Kayu didapat dari cabang pohon palma atau kayu berbentuk silinder pipih serupa gagang eskrim. Kain Boregheh terbuat dari katun berwarna indigo, emas, oranye, hitam, dan merah yang didatangkan dari Mumbai, India.
Awalnya, Boregheh digunakan para wanita sebagai perlindungan dari tentara. Dengan menggunakan penutup wajah, mereka bisa dianggap sebagai serdadu pria. Warnanya cenderung gelap. Seiring waktu, Boregheh dihias dengan beragam manik mengilap. Sebagian besar manik berwarna emas. Hiasan tersebut menandakan kelas sosial.
“Boregheh digunakan sejak seorang anak memasuki usia sembilan tahun. Mereka menggunakan penutup wajah berwarna hitam. Warna oranye digunakan untuk wanita yang sudah bertunangan. Warna merah dipakai untuk wanita yang sudah menikah,” tutur Eric Lafforgue, fotografer yang berkunjung ke Iran untuk mendokumentasikan kaum Bandari.
Kini popularitas Boregheh telah menurun. Para wanita muda lebih suka memakai penutup wajah berupa kain hitam, seperti niqab pada umumnya. Alasannya, harganya lebih murah. Hanya lansia yang masih rutin memakainya. “Untuk menutupi kerutan di wajah kami,” kata mereka pada Lafforgue. Di selatan Iran, penutup wajah bukan jadi larangan perempuan untuk bersosialisasi dan bicara dengan pria. Para wanita di kawasan ini lebih menganggap Boregheh layaknya aksesori bagi hijab dan terusan panjang mereka.
Burka di Afghanistan
Ini berbeda dengan fungsi penutup wajah di Afghanistan. Pada awal tahun 1990 sampai pertengahan tahun 2000, wanita di Afghanistan diwajibkan mengenakan burka. Burka ialah jubah penutup seluruh bagian tubuh yang hanya menyisakan lubang-lubang kecil di area mata. Kain ini hanya memiliki hiasan bordir pada bagian lingkar kepala dengan warna yang sama. Wanita Afghanistan umumnya memakai burka berwarna biru. Benda ini dijual di pasar tradisional. Para pedagang di sana menjual burka dalam warna putih, hitam, dan kuning.
Beberapa daerah di Afghanistan, terutama bagian utara, menganggap wanita yang memperlihatkan wajah, leher, dan lengan sebagai wanita penggoda. Anggapan tersebut bisa berujung pada pembunuhan. Burka menandakan purdah, istilah yang bermakna pemisah.
“Saya melihat penggunaan burka sebagai sesuatu yang politis. Ketika wanita memakai kerudung, perannya tidak dibatasi. Ia bisa menjadi hakim atau anggota dewan. Ketika wajahnya ditutup, pandangannya terganggu, dan ia memakai pakaian bertumpuk; maka ia dianggap tidak ada. Saya tidak pernah bertemu wanita di Afghanistan yang berkata mereka suka mengenakan burka,” kata Brishkay Ahmed, sutradara film dokumenter Burqa: Case of a Confused Afghan.
Saibzada, dokter kandungan asal Kabul, Afghanistan punya keinginan untuk melepas burka tetapi keluarga tidak mengizinkannya. “Sebagian besar dari mereka tidak berpendidikan. Mereka mengancam jika saya melepas burka maka saya harus berhenti bekerja.”
Selain karena dasar perintah mengenakan burka yang kurang adil, wanita di Afghanistan tidak selalu mendapat burka yang layak dikenakan. Busana tersebut seharusnya terbuat dari katun yang bisa menyejukkan di musim panas dan menghangatkan di musim dingin. Tetapi yang banyak dijual ialah material lain yang membuat pemakainya sulit bernapas, membuat rambut rontok, dan mudah tertiup angin.
Sejumlah pria di negara itu tetap meminta sang wanita mengenakan burka lantaran enggan menanggung malu bila dicap tidak menaati aturan agama oleh lingkungan sekitarnya. Film dokumenter Cut From Different Cloth – Burqas and Beliefs memuat pendapat pria yang berpegang pada ungkapan pengkhotbah di masjid yang menyatakan wanita harus mengenakan burka. Ia tidak ingin mencari tahu lebih lanjut dari mana aturan itu berasal.
Penggunaan penutup wajah juga ada di Pakistan. Di negara ini burka mulai digunakan ketika para wanita pendatang dari Timur Tengah mendaftar ke Universitas Peshawar pada tahun 1980-an.
Di beberapa daerah, kain penutup wajah punya cerita masing-masing. Masyarakat Yunani kuno menganggap ada wanita yang terlalu sakral untuk dilihat oleh kerabatnya. Orang Asiria menghimbau wanita yang telah menikah mengenakan kerudung bila keluar rumah. Sementara di abad ke 11, orang Yahudi juga membuat aturan agar wanita mengenakan kerudung yang menutup wajahnya.
Dalam “The Sacred in The Veil: Hijab” di buku Veil: Modesty, Privacy, Resistance (1999), disebut bahwa pada abad 19, orang-orang kelas atas yang menutup seluruh bagian tubuh. Ini diterapkan oleh penganut Muslim dan Kristen di Mesir. Pada masa itu, mereka yang menempati kelas menengah ke bawah akan dikenakan al-niqab.
Buku itu juga menyebut bahwa negara-negara di tenggara Arab, muncul tren baru di kalangan mahasiswi: memakai niqab, penutup wajah yang menyisakan lubang pada area mata. Para mahasiswi ini dipandang sebagai wanita yang penuh pengetahuan dan aktif memimpin diskusi di berbagai forum. Hal ini berdampak pada perubahan anggapan terhadap penggunaan niqab. Busana tersebut kemudian dianggap normal dan jadi bagian hidup sehari-hari.
Editor: Nuran Wibisono