tirto.id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengklaim pihaknya telah memperingatkan dampak dari merebaknya isu miring seputar Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) di masyarakat terhadap anak-anak. Empat bulan lalu KPAI bahkan sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan bahaya ini.
“Di tengah kebisingan publik ini, anak-anak tidak lagi menemukan tontonan yang mampu memberikan informasi yang meneduhkan. Kita sampaikan kepada Pak Presiden kalau dalam jangka panjang anak-anak semakin tidak nyaman,” ucap Jasra di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu (22/7/2017) siang.
Lebih lanjut, Jasra menilai kebisingan publik yang terus-terusan hadir di tengah masyarakat berpotensi memicu anak-anak yang cenderung bersifat pendendam. “Oleh karena itu, negara diharuskan hadir sehingga kebisingan publik ini tidak menjadi menjadi tontonan dan tuntunan bagi anak-anak,” kata Jasra.
“Karena anak-anak adalah peniru, penonton ulung. Sementara hari ini kalau melihat di Undang-Undang Pendidikan kita ada formal, nonformal, dan informal. Untuk yang informal ini yang kita belum melihat seperti apa modelnya,” tambah Jasra.
Adapun Jasra turut membeberkan tanggapan dari Presiden Joko Widodo kala itu yang berjanji akan bertindak.
“Makanya di RPJMN 2015-2019 itu ada 3 hal, yang masing-masingnya berbicara soal kesejahteraan anak, tumbuh kembang anak, dan perlindungan anak. Tiga isu ini yang tentu kita harap bisa dilaksanakan, karena saat itu Pak Presiden meminta waktu agar bagaimana ini bisa dijalankan dengan sebaik mungkin,” jelas Jasra.
Saat disinggung adakah keterkaitan antara merebaknya isu SARA dengan sejumlah kejadian perisakan (bullying) yang terjadi di antara anak-anak, Jasra tidak menyebutkan hubungannya secara langsung.
Kendati demikian, Jasra menilai perisakan di dunia pendidikan Indonesia tak ubahnya fenomena gunung es. Menurut Jasra, diperlukan adanya koordinasi antara berbagai pihak untuk meminimalisir terjadinya perisakan pada anak-anak.
“Terkadang masyarakat, pendidikan, kemudian pemerintah, tidak sinkron dalam melihat ini (kesinambungan dalam bertindak). Kemudian anak-anak tidak tahu harus melihat model yang mana. Anak-anak ini adalah korban dari berbagai macam tontonan dan juga tuntunan,” ucap Jasra.
“Kita malah harus memberikan edukasi kepada anak-anak ini (korban maupun pelaku perisakan), karena mereka sedang mencari nilai dan norma pada jati dirinya. Karena sedang mencari jati dirinya, seharusnya pendidikan dan orang tua bisa menjadi jawaban atas itu,” tambah Jasra lagi.
Masih dalam kesempatan yang sama, turut diketahui bahwa anak-anak Indonesia tidak hanya rentan terhadap perisakan maupun tindakan yang bermuatan isu SARA. Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemensos) Nahar mengatakan anak-anak zaman sekarang juga rentan terhadap penyebaran paham radikalisme.
Menurut Nahar, konten bermuatan radikalisme itu terbilang mudah didapatkan dari internet. “Saat ini, peran orang tua mudah tergantikan oleh gawai. Mereka yang harusnya belajar, berhubungan dengan orang tua dan guru, bisa belajar sendiri dari internet. Salah satunya dengan melihat Youtube. Dari situ pengaruh (radikalisme) bisa datang,” ucap Nahar.
Sejak tahun lalu, Nahar mengungkapkan setidaknya ada 161 anak yang diduga telah terpapar paham radikalisme. “Sebanyak 75 anak yang sudah menjalani rehabilitasi, sudah dipulangkan. Pas datang ke tempat kita, mereka pokoknya anti pemerintah,” kata Nahar lagi.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan