tirto.id - Partai Amanat Nasional (PAN) memancang ambisi besar pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2029 mendatang. Setelah sukses mempertahankan posisi di parlemen pada Pemilu 2024, partai berlambang matahari putih ini, kini membidik target lebih tinggi yakni menembus empat besar partai nasional.
Jika berkaca pada hasil rekapitulasi penghitungan suara di Pemilu 2024 sebelumnya, PAN hanya mampu menembus posisi kedelapan dengan raihan suara sebanyak sebesar 10,96 juta atau 7,24 persen. Posisi PAN di bawah Demokrat dengan raihan 11,28 juta suara (7,43 persen), PKS 12,78 juta suara (8,42 persen), dan Nasdem 14,66 juta suara (9,66 persen).
Sedangkan perolehan papan atas dengan suara terbanyak diraih oleh PDIP sebanyak 25,38 juta suara (16,72 persen), Golkar 23,20 juta suara) (15,29 persen), Gerindra 20,07 juta suara (13,22 persen), dan PKB 16,11 juta suara (10,62 persen).
Perolehan suara tersebut, menjadikan PAN sebagai partai bontot dengan raihan terkecil yang berhasil lolos ke Senayan dari belasan partai peserta Pemilu 2024. Mengingat, dalam pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan: “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”
Apabila partai politik peserta pemilu tidak memenuhi ambang batas perolehan suara atau parliamentary threshold minimal 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional, maka partai tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan.
“Oleh karena itu saya meyakini, 2029, insya Allah Partai Amanat Nasional sekurang-kurangnya akan empat besar,” ujar Zulhas kepada para kader PAN, saat acara halalbihalal di kantornya, Warung Buncit, Jakarta Selatan, Minggu (20/4/2025).
Untuk mencapai ambisi besar tersebut, kata Zulhas, perlu kerja kolektif, kedisiplinan organisasi, dan semangat satu komando. Lebih dari itu, PAN juga akan mempertaruhkan segalanya untuk menggapai tujuan empat besar di Pileg empat tahun lagi.
"Oleh karena itu saya minta, saudara-saudara, dukungan dan kerja keras saudara untuk mewujudkan PAN 2029 menjadi empat besar,” kata Zulhas.
Untuk menyongsong Pemilu 2029, PAN bahkan sudah mengantongi strategi untuk sampai pada tujuan tersebut. Salah satunya dengan memperkuat posisi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN 2024-2029. Dalam kepengurusannya DPP PAN, Zulhas selaku ketua turut didampingi sebanyak delapan wakil ketua umum, di mana empat di antaranya merupakan anggota Kabinet Merah Putih.
Mereka adalah Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto; Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono; Wakil menteri Transmigrasi, Viva Yoga Mauladi; dan Utusan Khusus Presiden, Zita Anjani, yang notabene sebagai anak dari Zulhas.
Kader-kader PAN yang duduk di kabinet juga mendapatkan tugas sebagai bagian dari Badan Pemenangan Pemilu PAN. Yandri, misalnya, ditugaskan untuk memimpin pemenangan di wilayah Banten, Papua, dan Maluku. Lalu Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya ditugaskan memimpin pemenangan pemilu di Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali.
Sementara Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi, ditunjuk untuk memimpin Badan Pemenangan Pemilu PAN di wilayah Kalimantan. Kemudian, Menteri Perdagangan, Budi Santoso memimpin pemenangan di wilayah Jakarta, Sumatera, dan Yogyakarta, sedangkan Sakti Wahyu ditugaskan di Jawa Tengah.
Cita-cita Empat Besar Berat
Hanya saja, perlu diingat jalan menuju ambisi besar tersebut dinilai tidak mudah kendati PAN sudah memetakan tugas kepada para kadernya. Mengingat peta politik nasional hari-hari ini kian dinamis, dengan persaingan yang semakin sengit di antara partai-partai besar seperti PDIP, Gerindra, Golkar, dan PKB. PAN harus menempuh jalan terjal untuk keluar dari bayang-bayang kekuatan lama dan menjelma menjadi kekuatan politik utama.
Dalam hal ini, kata Dedi, PAN mungkin bisa belajar dari Golkar, di mana Golkar mampu mempertahankan suara, meskipun dalam kondisi hiruk pikuk di internal. Karena faktanya Golkar masih cukup tangguh hadapi Pemilu 2024 lalu.
Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, melihat bahwa untuk menuju empat besar memang cukup berat mengingat pada pemilu 2024 PAN hanya berada di posisi kedelapan. Maka untuk mengejar target tersebut, dibutuhkan enam sampai tujuh juta suara lagi untuk berada di angka 16 jutaan suara seperti halnya PKB.
“Yang berarti itu lebih dari setengah perolehan suaranya PAN untuk bisa ada di posisi keempat gitu. Dan itu tentu bukan perkara yang mudah, tapi bukan juga tidak mungkin tergantung dari strategi PAN,” kata Kunto kepada Tirto, Senin (21/4/2025).
Dari segi strategi, Dedi Kurnia sendiri sebenarnya melihat bahwa PAN sudah memulai langkah awal sangat baik, yakni dengan menempatkan kader terbaik mereka di banyak posisi strategis. Sedangkan di kabinet sendiri PAN bisa dianggap dominan, berkat hasil kepiawaian lobi politik Zulkifli Hasan.
“Jelas ini akan berdampak pada mesin politik di 2029,” ucap Dedi.
Menurut Dedi, PAN juga berhasil mempromosikan ideologi partai ke tokoh populer dan ini juga cukup dominan dibanding partai lain. Terlebih lagi PAN saat ini menguasai media sosial beserta tokoh pemengaruhnya. Maka, kebijakan strategis ini juga potensial meningkatkan pengaruh PAN di pemilih pada Pemilu berikutnya.
Jika Zulhas berani, kata Dedi, Yandri seharusnya dikorbankan, ditarik dari kabinet, dan menggantinya dengan tokoh yang reputasinya baik. Terlebih di PAN cukup banyak tokoh dengan kapasitas serupa bahkan mungkin lebih baik. “Eddy Soeparno misalnya, ini potensial mampu membuat publik melupakan Yandri beserta kontroversinya,” imbuh dia.
Strategi PAN Dinilai Tidak Kreatif dan Pragmatis
Sementara itu, Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, justru berpandangan bahwa strategi PAN untuk kembali mengandalkan tokoh populis, dan elit berposisi dalam menyongsong Pileg 2029 sebagai pendekatan pragmatis dan tidak kreatif (standar). Menurutnya ini mencerminkan pola rekrutmen partai yang belum sepenuhnya berorientasi pada reformasi kelembagaan internal partai dan kaderisasi kandidat parpol berdasarkan meritokrasi dalam jangka panjang.
Strategi ini, diakui memang terbukti efektif secara elektoral di pemilu sebelumnya, terutama dalam meningkatkan daya tarik instan di daerah-daerah pemilihan yang sensitif terhadap popularitas ketimbang rekam jejak atau kapasitas legislasi. Namun, jika strategi ini tidak disertai konsolidasi organisasi dan platform dan posisi isu yang kuat, maka daya tawarnya akan cepat jenuh dan rentan kehilangan arah ketika tokoh-tokohnya tidak lagi relevan secara publik setelah mereka terpilih.
“Apalagi jika mereka tidak berkiprah dan bersuara sesuai tupoksi di lembaganya masing-masing,” terang dia.
PAN tampaknya, kata Felia, ingin menegaskan posisinya sebagai partai catch-all. Di satu sisi, mereka bisa menarik segmen pemilih yang lebih luas, termasuk generasi muda yang familiar dengan tokoh-tokoh selebritas. Di sisi lain, mereka berisiko kehilangan identitas ideologis dan basis pemilih loyal, terutama jika rekrutmen elit hanya bersifat simbolik dan tidak memperkuat kerja politik partai di akar rumput dan mengorbankan kader partai yang loyal dan ikut mengembangkan partai (ketidakpastian karir politik dalam partai politik).
Selain itu, kata Felia, dengan masuknya sejumlah tokoh kuat di kepengurusan saat ini, seperti Zita Anjani dan nama-nama populer lainnya, PAN bisa tampil sebagai partai yang modern dan inklusif. PAN juga perlu memanfaatkan identitas awal uniknya sebagai partai yang banyak diisi oleh para intelektual yang bersuara kritis terhadap pemerintah dan demokrasi secara umum.
“Tapi pertanyaannya, apakah tokoh-tokoh ini sekadar pajangan elektoral atau benar-benar mampu menghidupkan narasi politik baru yang relevan untuk 2029 dan aspirasi rakyat, serta konteks yang ada?” ujarnya mempertanyakan.
Dengan peta persaingan yang semakin padat, strategi PAN ke depan akan lebih berkelanjutan dan strategis jika dibarengi dengan misalnya penguatan struktur internal partai, pendidikan kader yang sistematis, dan formulasi posisi tentang isu kebijakan yang konsisten dan bisa menjadi pembeda dari partai-partai lain.
Kini pertanyaannya: akankah matahari PAN bersinar lebih terang di 2029, atau redup tertutup awan persaingan?
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang