tirto.id - Sunda Empire adalah salah satu kelompok tidak terdaftar yang muncul di Bandung, Jawa Barat. Masyarakat menyebut kemunculan Sunda Empire ini mirip dengan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah.
Video tentang Sunda Empire sempat beredar di salah satu kanal YouTube yang diunggah oleh akun bernama Alliance Press International. Sejumlah konten mengenai Sunda Empire itu menyebar ke masyarakat melalui media sosial.
Salah satu video yang tersebar, berisi tentang sejumlah orang yang mengenakan atribut seperti militer lengkap dengan topi baret. Salah satu dari mereka ada yang berorasi tentang masa pemerintahan negara-negara yang akan berakhir pada 2020.
Keberadaan Sunda Empire itu dinilai sama seperti Keraton Agung Sejagat, karena mereka menggunakan seragam-seragam serupa seragam militer lengkap dengan atributnya, yang tidak jelas asal-usulnya.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro memandang fenomena kerajaan fiktif tak selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi dan masih berpeluang muncul di kemudian hari.
"Akan selalu terjadi. Sejak zaman dahulu ada, dan ke depan akan tetap ada," kata Koentjoro di Kampus UGM, Yogyakarta, Selasa (21/1/2020), seperti dikutip Antara News.
Menurut dia, berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, serta Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat, biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).
Keberhasilan para penggagas kerajaan fiktif untuk menggaet pengikut, menurut dia, karena didukung dengan penguasaan psikologi massa sehingga mampu mempengaruhi atau meyakinkan orang lain.
Cerita-cerita yang disampaikan di tengah kumpulan massa mampu mereka kemas secara menarik sehingga membuat hal-hal yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis orang lain memutuskan menjadi pengikutnya.
"Itulah suatu kekuatan psikologi massa sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan," kata dia.
Sementara itu, dari sisi para pengikutnya, Koentjoro memandang keputusan mereka tak selalu dilandasi motif ekonomi. Buktinya, menurut dia, merujuk fenomena Kerajaan Agung Sejagat, para pengikutnya rela mengeluarkan sejumlah uang sekadar untuk membeli seragam sebagai syarat keanggotaan.
"Kalau kemiskinan, kenapa mereka mau membayar dua juta, artinya mereka cukup. Kondisi miskin tapi berspekulasi, ada keinginan yang mau dicapai," kata dia.
Keputusan menjadi pengikut, menurut dia, bisa dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya berkaitan dengan post power syndrom.
"Banyak di antara mereka orang-orang tua yang dulu punya jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi yang kemudian ketika pensiun di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah lalu dia menggabungkan yang ada di situ," kata dia.
Kemungkinan lainnya, kata Koentjoro, adalah kurangnya sentuhan kasih sayang atau penghargaan yang didapatkan para orang tua dari anak-anaknya. Sehingga sebagai sarana aktualisasi diri, mereka memilih bergabung dengan komunitas itu.
Untuk mencegah fenomena kerajaan atau keraton palsu muncul kembali, ia berharap pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk meningkatkan daya kritis masyarakat melalui pendidikan.
"Kita ingatkan iqra (membacalah) agar kita mau berpikir, tidak mudah kena pengaruh," kata dia.
Editor: Agung DH