Menuju konten utama

Cerita Pembuat Seragam Keraton Agung Sejagat: Dikira untuk Drumband

Wahyu baru mengetahui bila busana yang ia buat untuk pengikut Keraton Agung Sejagat saat polisi menangkap Toto dan Fanni selaku raja dan ratu.

Cerita Pembuat Seragam Keraton Agung Sejagat: Dikira untuk Drumband
Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

tirto.id - Wahyu Agung Santoso (33 tahun) pada Jumat pagi, 15 November 2019, mendapat pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp. Seorang yang mengenalkan diri dengan nama Fanni Aminadia mengirimkan gambar busana khas Kerajaan Brunai Darussalam dan bertanya apakah Wahyu bisa membuat busana persis seperti gambar yang ditunjukkan itu.

Wahyu sang pemilik konveksi Putro Moelyono Drumband lantas menyanggupi. Kepada reporter Tirto, Senin (3/2/2020), ia mengatakan memang terbiasa mendapatkan pesanan busana-busana khas kerajaan, baik untuk acara budaya atau seragam drumband.

Setelah berkomunikasi melalui pesan singkat dan menyatakan kesanggupan, siang harinya Fanni pun datang ke rumah Wahyu. Usaha konveksi milik Wahyu terletak di Sonosewu, Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sesampainya di rumah Wahyu, Fanni tidak banyak menjelaskan soal pakai itu. Ia hanya memastikan soal kesanggupan Wahyu, kemudian Fanni juga sempat menawar harga pesanan, dari semula Rp1 juta per pasang, kemudian sepakat di harga Rp900 ribu per pasang.

Setelah sepakat, Fanni langsung memberikan uang muka Rp1 juta. "Cuma bilang dibikinkan baju kayak gitu [busana Kasultanan Brunei]. Jumlahnya 297 pasang," kata Wahyu.

Wahyu pun tak bertanya lebih jauh soal pakaian itu akan digunakan untuk apa. Yang ia tahu busana khas kerajaan yang biasa dipesan di tempat Wahyu adalah untuk acara budaya atau seragam drumband.

"Soalnya sering dapat pesanan baju kayak gitu. Kan, buat kostum drumband juga sama seperti itu, dan kostum kesenian yang lain juga sama seperti itu," kata dia.

Selain memberikan uang muka Rp1 juta dari total nilai pesanan sebesar Rp267 juta, kata Wahyu, Fanni memberikan contoh bahan busana pesanannya.

Menurut Wahyu, bahan tersebut tak sulit didapat karena ia juga biasa menggunakan bahan tersebut tatkala menerima pesanan dari klien lain.

Selama produksi, kata Wahyu, dirinya tak mengalami kendala. Pembayaran yang dilakukan oleh Fanni dalam lima tahap pun semuanya lancar dan lunas.

"Baju jadi bertahap, saya kirim lima kali. Semua pesanan jadi itu tanggal 6 Januari 2020," kata dia.

Wahyu mengatakan terbiasa menerima pesanan baju dalam jumlah banyak. Pesanan-pesanan busana dari pelanggannya terdahulu juga dalam jumlah ratusan pasang.

Wahyu yang melanjutkan usaha ayahnya yang telah dirintis sejak 1968 ini juga pernah menerima pesanan busana untuk para penampil dalam pembukaan Asian Games 2018.

Ratusan Baju Dipesan untuk Pengikut Keraton

Belakangan Wahyu baru mengetahui bila Fanni ternyata memesan baju untuk ratusan pengikutnya di Keraton Agung Sejagat. Keberadaan kerajaan ini menggegerkan masyarakat setelah mendeklarasikan berdirinya keraton tersebut di Purworejo, Jawa Tengah, pada 12 Januari 2020.

Wahyu juga baru tahu kalau Fanni ternyata bertindak sebagai ratu dengan julukan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Ia mengetahuinya setelah ramai pemberitaan soal penangkapan Fanni bersama sang raja Toto Santoso Hadiningrat, pada 14 Januari 2020.

Salah seorang pengikut Keraton Agung Sejagat, Kasnan (40) seperti dilansir detik.com mengungkapkan telah membeli seragam untuk mengikuti acara kirab di Purworejo sebesar Rp2 juta.

Artinya, Toto dan Fanni mengambil keuntungan lebih dari Rp1 juta per pasang dari pengikut dia yang membeli seragam.

“Saya bayar Rp2 juta untuk seragam,” ujar Kasnan di rumahnya, Desa Triharjo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, Jumat (17/1/2020).

Dengan membayar Rp2 juta, Kasnan, mendapatkan satu pasang baju berwarna hitam lengkap dengan topi yang persis seperti yang dibikin oleh Wahyu.

Akhir Keraton Agung Sejat

Keraton Agung Sejagat sudah tamat. Saat ini raja dan ratunya, Toto Santoso dan Fanni Aminadia, sudah mendekam di penjara atas tuduhan penipuan. Toto telah meminta maaf karena kerajaan yang ia buat "itu fiktif."

Saat memproklamirkan Keraton Agung Sejagat, Toto dan Fanni menyebut kerajaan ini muncul karena telah berakhirnya perjanjian 500 tahun yang lalu antara Majapahit dan Portugis.

Perjanjian ini dibuat pada 1518 dan diteken penguasa Majapahit, Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, dengan Portugis sebagai wakil orang barat.

Berakhirnya perjanjian tersebut, klaim Toto, menandakan berakhir pula dominasi barat, yang dipimpin Amerika Serikat, dalam mengontrol dunia. Kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, penerus Majapahit, yang tidak lain adalah Keraton Agung Sejagat.

Tak tanggung-tanggung, Toto mengklaim kerajaan menguasai seluruh dunia. Ia bahkan mengatakan beberapa lembaga internasional yang kita kenal sekarang tak lain adalah kelengkapan kerajaan. Lembaga itu termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia bahkan mengatakan Gedung Departemen Pertahanan AS, Pentagon, adalah milik kerajaan. "Bukan milik Amerika," kata Toto.

Sedemikian bombastis dan tak masuk akal klaim tersebut, toh tetap saja menarik ratusan orang untuk bergabung jadi abdi kerajaan. Pengikut Toto dan Fanni, kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel, ada sekitar 150 orang.

Toto dan Fanni ditangkap Polres Purworejo dan Polda Jawa Tengah, pada Selasa (13/1/2020), di rumah sekaligus istana mereka. Polisi juga memeriksa pengikut yang diberikan jabatan seperti mahapatih, bendahara dan resi keraton.

Kerajaan yang 'menguasai seluruh dunia' ini ternyata bisa ditaklukkan oleh polisi lokal. Malam itu juga sang raja dan ratu ditetapkan sebagai tersangka.

Keduanya disangkakan Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran serta Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Sejumlah barang bukti disita, termasuk dokumen yang diduga dipalsukan pelaku.

Baca juga artikel terkait KERATON AGUNG SEJAGAT atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz