Menuju konten utama

Kata Sosiolog Soal Fenomena Sunda Empire hingga King of The King

Sosiolog sekaligus dosen dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tya Pamungkas melihat fenomena ini sebagai scammer.

Kata Sosiolog Soal Fenomena Sunda Empire hingga King of The King
Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

tirto.id - Fenomena munculnya Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire hingga yang teranyar King of The King menuai beragam respons dari publik. Tak sedikit masyarakat yang beranggapan fenomena ini hanya untuk mendapat sensasi atau menarik perhatian semata.

Namun, ternyata tak sedikit pula masyarakat yang ikut bergabung menjadi anggota dari Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire hingga King of The King.

Sosiolog sekaligus dosen dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tya Pamungkas melihat fenomena ini sebagai scammer (kelompok atau perorangan yang melakukan penipuan dengan cara kotor serta untuk melakukan panjat sosial).

Fenomena scammer atau munculnya kelompok-kelompok ini, kata Tya, terjadi karena adanya pengaruh kapitalisme neoliberal yang tejadi di masyarakat.

“Munculnya kelompok ajaib ini seperti fenomena scammer, ini semacam kapitalisme neoliberal karena banyaknya kehilangan atas sosok panutan, nah ruang kosong ini yang kemudian diisi oleh kelompok-kolompok itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi,” ujar Tya kepada redaksi Tirto.

Menurut dia, kondisi di mayarakat saat ini yang semakin individual juga semakin memungkinkan munculnya fenomena kelompok-kelompok tersebut untuk semakin berkembang di masyarakat.

“Ini ironi dan kontradiksi, masyarakat mulai lelah dan kehilangan panutan karena banyak yang mulai bersikap manipulatif, misalnya saat pilkades sekalipun itu uang yang mulai bicara, ya kemudian hal-hal ini yang dimanfaatkan kelompok-kelompok itu. Mereka juga memanfaatkan adanya media sosial untuk membuat semakin terkenal,” tambah Tya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro memandang fenomena kerajaan fiktif tak selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi dan masih berpeluang muncul di kemudian hari.

"Akan selalu terjadi. Sejak zaman dahulu ada, dan ke depan akan tetap ada," kata Koentjoro di Kampus UGM, Yogyakarta, Selasa (21/1/2020), seperti dikutip Antara.

Menurut dia, berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, serta Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat, biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).

Keberhasilan para penggagas kerajaan fiktif untuk menggaet pengikut, menurut dia, karena didukung dengan penguasaan psikologi massa sehingga mampu mempengaruhi atau meyakinkan orang lain.

Cerita-cerita yang disampaikan di tengah kumpulan massa mampu mereka kemas secara menarik sehingga membuat hal-hal yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis orang lain memutuskan menjadi pengikutnya.

"Itulah suatu kekuatan psikologi massa sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan," kata dia.

Baca juga artikel terkait SUNDA EMPIRE atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Abdul Aziz