tirto.id - Keraton Agung Sejagat sudah tamat. Saat ini raja dan ratunya, Toto Santoso dan Fanni Aminadia, sudah mendekam di penjara atas tuduhan penipuan. Toto telah meminta maaf karena kerajaan yang ia buat "itu fiktif."
Toto dan Fanni memproklamirkan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, beberapa hari lalu. Mereka menyebut kerajaan ini muncul karena telah berakhirnya perjanjian 500 tahun yang lalu antara Majapahit dan Portugis.
Perjanjian yang dibuat pada 1518 itu diteken oleh penguasa Majapahit, Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, dengan Portugis sebagai wakil orang barat. Berakhirnya perjanjian tahun lalu menandakan berakhirnya pula dominasi barat, yang dipimpin Amerika Serikat, dalam mengontrol dunia.
Kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, penerus Majapahit, yang tidak lain adalah Keraton Agung Sejagat.
Tak tanggung-tanggung, Toto mengklaim kerajaan menguasai seluruh dunia. Ia bahkan mengatakan beberapa lembaga internasional yang kita kenal sekarang tak lain adalah kelengkapan kerajaan. Lembaga itu termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ia bahkan mengatakan Gedung Departemen Pertahanan AS, Pentagon, adalah milik kerajaan. "Bukan milik Amerika," kata Toto, dikutip dari Liputan6.com.
Sedemikian bombastis dan tak masuk akal klaim tersebut toh tetap saja menarik ratusan orang untuk bergabung jadi abdi kerajaan. Pengikut Toto dan Fanni, kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel, ada 150 orang.
Janji Surga
Menurut Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Bani Sudardi, ada dua faktor kenapa ada yang tertarik bergabung dengan kerajaan. Pertama terkait dengan iming-iming ekonomi yang kerajaan janjikan.
“Mereka dijanjikan akan digaji, mendapatkan jabatan, mendapatkan kesejahteraan,” kata Bani kepada reporter Tirto, Senin (20/1/2020). “Yang menjadi sasaran kelas ekonomi ke bawah”
Setyono Eko Pratolo (58) adalah salah satu orang yang tertipu iming-iming ini. Bercerita kepada Kompas.id, Eko tergiur janji bahwa dengan membayar uang Rp8,5 juta, ia bisa mendapat gelar bintang tiga. Ia juga dijanjikan mendapatkan gaji dolar AS saban selesai sidang. Uang itu akhirnya ia dapat, lewat berutang.
Eko sendiri bekerja sebagai perangkat desa dengan upah hanya Rp300 ribu per bulan. Itu pun ia dapat tiap empat bulan sekali. Karenanya dia terbiasa hidup berutang.
Eko mengaku saat ini yang tersisa darinya “hanya malu dan beban harus membayar utang.”
Kapolda Rycko menambahkan kalau janji lain dari Toto adalah para pengikutnya akan terbebas dari malapetaka dan bencana, serta mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, katanya di Semarang, Rabu, (15/1/2020), “kalau tidak mengikuti akan mendapat bencana, malapetaka.”
Tak hanya faktor ekonomi, Bani menilai faktor pendidikan juga turut serta membuat masyarakat rentan menjadi sasaran penipuan semacam ini. “Umumnya yang menjadi pengikutnya adalah masyarakat pedesaan dan tidak berpendidikan.”
Bani lantas mengaitkan ini dengan fakta bahwa keraton bukan hal asing bagi masyarakat.
Menurutnya hal serupa mungkin sekali dapat terulang di masa depan “jika tidak ada penyadaran ke masyarakat.” “Makanya, penting untuk meningkatkan edukasi, atau penguatan unsur pendidikan,” Bani menegaskan.
Dosen sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar, mengatakan apa yang terjadi dengan Keraton Agung Sejagat menambah daftar panjang kasus serupa. Menurutnya ini mirip seperti fenomena Lia Eden yang mengaku nabi, atau Kerajaan Ubur-Ubur di Serang, Banten.
“Ini bukan fenomena baru,” kata Ari kepada reporter Tirto, Selasa (21/1/2020) siang.
Menurutnya faktor ekonomi bukan satu-satunya sebab kenapa ada yang tertarik dengan kerajaan fiktif, sebab ia juga menarik minat masyarakat menengah-atas.
Bagi Ari, fenomena ini juga efek dari kegagalan politik formal dengan segala perangkatnya itu. “Tokoh-tokoh yang formal, yang ada sekarang ini, tidak menunjukkan perubahan yang lebih baik, seperti ada korupsi, penyimpangan-penyimpangan,” jelas Ari.
Menurutnya kerajaan ini menjawab masalah masyarakat. Dengan kata lain, dianggap ratu adil atau juru selamat. “Tidak ada wadah yang tidak bisa mengakomodasi [membuat] mereka mencari kelompok-kelompok di luar sistem” tambahnya.
Ari lantas meminta masyarakat tidak perlu resah dan bahkan heboh. Sebab, dengan memberi contoh kasus komunitas bumi datar, justru “semakin ramai dibahas, semakin besar.”
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino