tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turun tangan dalam kasus pelecehan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan LPSK mendorong UGM menyelesaikan kasus yang menjadi sorotan publik dan viral di media sosial ini melalui jalur hukum.
“Kami mendorong persoalan semacam ini diselesaikan secara hukum. Supaya menjadi pembelajaran dan juga menjaga marwah UGM sebagai satu perguruan tinggi yang juga mengutamakan penyelesaian secara hukum,” kata Hasto usai bertemu dengan rektor UGM di Yogyakarta, Senin (12/11/2018).
Selain itu, kata Hasto, LPSK akan memberikan perlindungan dan bantuan kepada penyintas. Jika nantinya diproses secara hukum, LPSK akan memastikan melindungi identitas serta kerahasiaan korban.
“Kami menjamin kerahasiaannya dalam proses peradilan. Dan kami menjamin korban tidak terintimidasi, bisa memberikan kesaksian secara aman dan nyaman,” kata Hasto.
Tak hanya itu, kata Hasto, jika korban bersedia, lembaga perlindungan ini juga dapat memberikan bantuan rehabilitasi medis dan psikologis.
Hasto menjelaskan LPSK memberikan perhatian serius terhadap kasus ini, sehingga dirinya berinisiatif bertemu langsung Rektor UGM dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) yang menjadi tempat belajar korban. Menurutnya, kasus semacam ini sudah banyak terjadi.
“Secara kultural masyarakat kita ini adalah masyarakat yang patriarkis, ini menjadi keprihatinan kami. Biasanya kaum perempuan yang dirugikan,” kata Hasto.
Untuk itu, Hasto meminta, korban maupun orang yang mengetahui kasus kekerasan seksual di manapun, mau bersaksi. Sebab, kata dia, negara akan memberikan perlindungan melalui LPSK.
Sikap LPSK ini sejalan dengan Ombudsman RI yang mendorong kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswa UGM ini diusut polisi. “[Ombudsman] minta kepada polda untuk mengusut tuntas kasus ini,” kata anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Minggu (11/11).
Ninik mengatakan, Ombudsman tentu mempertimbangkan permintaan penyintas yang tidak ingin ada proses hukum. Namun, kata dia, karena kasus ini bukan delik aduan dan agar tidak berulang, penanganan hukum tidak bisa dihindari.
Sementara itu, Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto sepakat dengan LPSK agar kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswa UGM saat KKN ini dibawa ke ranah hukum.
“Kami sepakat dengan LPKS agar diselesaikan ke ranah hukum biar lebih gamblang. Namun demikian untuk menuju ke sana dalam proses itu harus mengetahui kondisi psikologis dari penyintas,” kata Erwan.
Saat ini, menurut Erwan, kondisi psikologis penyintas masih naik turun. Namun demikian, Erwan mengklaim, beberapa kali penyintas yang sedang menyelesaikan proses skripsi dapat berkomunikasi dengan wajar.
UGM Klaim Terbuka
Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Paripurna Poerwoko Sudarga mengatakan UGM tidak keberatan bila kasus kekerasan seksual yang mendera mahasiswanya dibawa ke ranah hukum. UGM juga terbuka jika pihak kepolisian menyelidiki kasus ini.
“Tidak hanya open, UGM menyadari tidak bisa menghalangi siapa pun untuk mengadukan [kasus kekerasan seksual] ini dan melakukan penyelidikan,” kata Paripurna, di Yogyakarta, Senin (12/11/2018).
Selain ranah hukum, kata mantan Dekan Fakultas Hukum UGM ini, UGM juga melihat kasus ini berkaitan dengan ranah etika. Namun, yang menjadi konsen UGM saat ini adalah melindungi korban dan menjaga suasana psikologisnya.
Hal itu, kata dia, dilakukan dengan mendatangkan ahliyang terkait dengan psikologi penyintas, serta menerjunkan tim independen untuk betul-betul mengetahui apa yang dirasakan korban. Dari situ, kata dia, UGM akan menentukan dibawa ke mana kasus ini.
Selain itu, kata Paripurna, akan ada tim etik yang merekomendasikan keputusan apa yang harus diambil UGM. “Itu di ranah etika, tapi tentu saja memang tidak menutup kemungkinan masuk ranah hukum. Tapi pertimbangan UGM sebagai lembaga pendidikan itu yang harus diselesaikan, ada di ranah etika dulu,” kata dia.
Sejauh ini, Paripurna menyatakan UGM belum mengambil keputusan terkait dorongan supaya HS diberhentikan (DO). Alasannya, putusan itu harus diambil dengan membentuk tim etik.
“Tim etik masih kami pikirkan. UGM memiliki dewan kehormatan. Kami baru memikirkan apakah kami langsung bawa ke dewan kehormatan atau bentuk tim etik dulu,” kata dia.
Sementara itu, Rektor UGM Panut Mulyono mengaku akan secepat mungkin membentuk tim etik dari orang-orang yang kredibel.
"Nanti rektor membentuk tim etik dengan memilih figur-figur yang memiliki kredibilitas luar biasa. Tadi Wakil Rektor menyampaikan UGM memiliki dewan kehormatan universitas [...] Kami segera mendiskusikan,” kata dia.
Panut menegaskan tak punya niatan melindungi pelaku. Dalam kasus ini, ia mengaku lebih menggunakan pendekatan etika dan pendidikan sesuai dengan aturan universitas dalam penyelesaiannya.
Dalam aturan universitas, kata dia, berdasarkan fakta dan hasil rekomendasi dari tim independen tidak ada rekomendasi untuk langsung menjatuhkan saksi berat, yakni DO.
"[Kasus kekerasan seksual] itu masuknya bisa pelanggaran sedang atau berat. [Kalau yang DO] itu pelanggaran berat," katanya.
Agar kasus kekerasan seksual tidak lagi terulang, kata Panut, UGM bakal membentuk unit khusus yang menangani perkara ini. Menurut dia, rektorat UGM telah menginventarisir kasus dengan melibatkan ahli hukum, psikolog, dan perwakilan mahasiswa dalam pembentukan unit ini.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz