Menuju konten utama

AJI Kecam Intimidasi FPI atas Pengguna Medsos Soal Rizieq

Tindakan FPI yang kerap melakukan bentuk intimidasi, kekerasan, dan pengekangan kebebasan berekspresi terhadap pengguna media sosial dikecam keras oleh AJI Indonesia.

AJI Kecam Intimidasi FPI atas Pengguna Medsos Soal Rizieq
Ribuan orang dari FPI dan ormas islam lainnya melakukan aksi di depan gedung Kementerian Pertanian, Jakarta tempat sidang vonis kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Thahaja Purnama atau Ahok, Selasa, (9/5). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam keras segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan pengekangan kebebasan berekspresi yang belakangan kerap dilakukan Front Pembela Islam (FPI) terhadap pengguna media sosial.

“Aksi anggota FPI mendatangi rumah pengguna media sosial yang dituduh menulis status bernada miring pada Imam Besar FPI Rizieq Shihab serta memaksa mereka meminta maaf di bawah ancaman pidana adalah tindakan teror yang tak boleh dibiarkan,” tutur Ketua AJI Suwarjono, dalam pernyataan tertulis, Senin (29/5/2017).

Dari informasi yang dihimpun Tirto, korban intimidasi FPI sudah berjatuhan dalam dua pekan terakhir. Indrie Sorayya (38) seorang perempuan pengusaha di Tangerang, Banten, didatangi puluhan anggota FPI pada Minggu (21/5/2017).

FPI juga memprotes status Facebook Indrie yang dinilai melecehkan Rizieq Shihab. Intimidasi serupa dialami Fiera Lovita (40), seorang dokter perempuan di Solok, Sumatera Barat.

Penelusuran yang dilakukan SAFEnet, jejaring pendukung kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, menemukan setidaknya ada 48 individu di seluruh Indonesia yang kini terancam diburu, diteror dan dibungkam dengan pola-pola kekerasan semacam ini.

Menurut Sekjen AJI Arfi Bambani, aksi main hakim sendiri yang dilakukan FPI mengancam jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang diatur Pasal 28 (E) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal itu berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Selain itu, intimidasi dan teror atas pengguna media sosial bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol). Beleid itu mewajibkan Negara untuk menjamin hak sipil dan hak politik setiap warga negaranya.

AJI Indonesia mengecam keras tindakan Front Pembela Islam yang mengarahkan, atau setidaknya, membiarkan, anggotanya memburu warga negara yang menggunakan haknya untuk berekspresi di media sosial.

“Keberatan atas pendapat seseorang seharusnya dihadapi dengan pendapat tandingan sehingga muncul diskursus yang sehat dan beradab di ruang publik, termasuk di media sosial,” tuturnya.

Selain itu, dikatakan Suwarjono, AJI juga mendesak negara dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia untuk melindungi hak berekspresi warga negara, di ranah manapun termasuk media digital.

Menurut Arfi, AJI juga mengecam tindakan polisi membiarkan intimidasi dan teror atas kebebasan berekspresi, bahkan memfasilitasi ancaman pidana dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas status media sosial warga.

"Tindakan Polri semacam itu tidak bisa dibenarkan dan justru melanggengkan ketakutan di benak publik untuk mengungkapkan pikirannya secara bebas dan terbuka," tuturnya.

Dalam kasus ini, AJI juga mengimbau semua pihak untuk ikut aktif menjaga kebebasan sipil dan politik yang sudah kita nikmati sejak era Reformasi Mei 1998 silam.

"Dukungan bisa disampaikan dengan bersolidaritas pada korban di media sosial maupun turun tangan menekan pemerintah untuk konsisten menjaga hak sipil dan politik warga. Jangan biarkan siapapun merampas kebebasan dan hak-hak kita," pungkas Arfi.

Baca juga artikel terkait AJI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri