tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law sudah dalam tahap finalisasi atau mengharmonisasikan pasal-pasal krusial.
“Sekarang tinggal finalisasi daripada legal drafting atau sering kita bahas harmonisasi pasal-pasal yang krusial, sinkronisasi dan perumusan,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (15/92020).
Airlangga mengatakan finalisasi sudah dapat dilakukan karena pembahasan mengenai poin-poin dalam RUU Cipta Kerja bersama pihak DPR RI telah mencapai 90 persen.
Ia menjelaskan hampir seluruh klaster strategis yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja seperti Sovereign Wealth Funds (SWF), tenaga kerja, kepastian hukum, UMKM dan koperasi telah mendapat persetujuan dari partai politik.
“Ini sudah kita lakukan pembahasan sampai sekarang sudah 90 persen dibahas dan hampir seluruh klaster strategis sudah mendapatkan persetujuan dengan partai politik,” tegasnya.
Sebelumnya pada Sabtu (12/9), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan RUU Cipta Kerja bisa memberikan kepastian terhadap perbaikan iklim investasi serta sistem perpajakan di Indonesia.
Ia berharap proses pembahasan RUU Cipta Kerja segera selesai karena regulasi ini dapat memberikan kepastian terhadap iklim bisnis dan kemudahan berinvestasi terhadap pelaku usaha.
"Kami berharap ini bisa cepat selesai dan mendapatkan persetujuan DPR sebelum akhir tahun. Ini akan menjadi basis baru di Indonesia, khususnya dalam iklim investasi," katanya.
RUU Cipta Kerja memiliki 11 klaster yakni simplifikasi lisensi, persyaratan investasi, pekerjaan, kemudahan, penguatan, dan perlindungan UMKM.
Kemudian juga kemudahan berbisnis, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintah, pengenaan sanksi, akuisisi lahan, proyek dan investasi pemerintah, serta zona ekonomi.
Penolakan Omnibus Law
Amnesty International Indonesia mengkritik keras sejumlah pasal yang dianggap bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law, yang saat ini sedang digodok Pemerintah dan DPR RI.
"Perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kepada Tirto, beberapa waktu lalu.
Aturan di dalam RUU Ciptaker, kata Usman, berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap, sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai di dalam UU Ketenagakerjaan.
Beberapa perlindungan tersebut di antaranya pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk pekerja sementara yang bekerja di bawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan RUU Ciptaker, yang disusun dengan metode Omnibus Law, tetap harus ditolak. Sebab, tak hanya menyangkut masalah ketenagakerjaan yang paling dekat dengan kehidupan para buruh. Namun, ada sektor lain yakni masalah lingkungan dan pendidikan.
RUU Ciptaker dikritik banyak pegiat di berbagai sektor persis terkait hal itu. Di ranah lingkungan, selain karena akan memperparah kerusakan ekologis, produk sapu jagat itu akan semakin meminggirkan perempuan.
Di sektor pendidikan juga demikian. RUU Ciptaker mengubah banyak pasal penting dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terutama terkait pemalsu ijazah dan gelar yang dianggap bukan lagi tindakan pidana.