Menuju konten utama

Ahli Bahasa Anggap Ahok Katakan Alquran Sumber Kebohongan

Mahyuni, saksi kedua dalam sidang penistaan agama, Ahok menganggap ayat Al-Maidah nomor 51 sebagai alat kebohongan, tetapi juga mengatakan secara tidak langsung bahwa Alquran sebagai sumber kebohongan.

Ahli Bahasa Anggap Ahok Katakan Alquran Sumber Kebohongan
Koordinator Ahli Tata Bahasa Neno Warisman (kiri) bersama bersama Ahli Tata Bahasa Universitas Mataram Mahyuni (kanan) berjalan seusai mengikuti sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2).ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Mahyuni, saksi kedua dalam sidang penistaan agama, Ahok menganggap ayat Al-Maidah nomor 51 sebagai alat kebohongan, tetapi juga mengatakan secara tidak langsung bahwa Alquran sebagai sumber kebohongan.

"Nah sekarang kalau memang demikian, Al-Maidah ini, kalau saksi sebagai muslim juga, Al-Maidah ini kita semua tahu sebagai bagian dari Al-Quran ya, dan Al-Quran ini bagi umat muslim tentunya kita semua paham diyakini kebenarannya, 'kan begitu? Nah sekarang kalau seseorang itu membohongi orang lain apa dimungkinkan membohongi itu dengan menggunakan sesuatu yang diyakini kebenarannya?" tanya Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarso kepada Mahyuni.

Menjawab pertanyaan ini, dosen di Universitas Mataram ini menilai hal itu tergantung pada siapa yang berbicara. Kalau yang berbicara adalah seorang ahli atau umat muslim seperti dirinya, tentu artinya tidak seperti itu. Perkataan Ahok menjadi masalah karena Ahok bukan beragama Islam.

"Ini dibohongin pakai surat Al-Maidah, tapi kan sudah dijelaskan tadi ini berarti ada orang yang dibohongin ada yang membohongi, dan ini dengan menggunakan surat Al-Maidah, 'kan begitu. Nah kan apakah emang dimungkinkan membohongi itu, ini kan Alquran. Membohongi pakai Alquran apa mungkin begitu?" tanya Dwiarso lagi.

"Justru itu, jadi sebuah kebenaran yang diyakini kok bisa dipakai untuk berbohong atau menjadi alat pembohong. Itu kan masalahnya," tegas Mahyuni.

"Apakah dengan kalimat seperti ini bahwa menurut si pembicara itu, dari pandangan (pembicara, yaitu Ahok) bahwa Al-Maidah itu juga dianggap sesuatu yang bohong, begitu?" kembali Dwiarso memastikan.

"Ya begitu. Karena sumber kan. Sumber kebohongan. Jadi kalau saya melihat, dibohongi pakai ataupun tanpa pakai, di awal tadi sudah saya sampaikan bahwa kata bohong sendiri sudah menegasi kebenaran. Jadi begitu kita ketemu bacaan bohong, dibohongi, jadilah ini kan pasti ada objek yang dibohongi. Oleh karena itu maknanya adalah dengan itu maka ada pihak yang melakukan pembohongan dari sumber yg dianggap bohong oleh yang bicara, jadi sumber itu kebenaran lalu dianggap bohong, kan begitu maknanya," yakin Mahyuni.

"Jadi itu sumber benar yang menurut pemeluk agama sebagai sumber kebenaran, tapi itu bisa dinegasi maknanya karena peminjaman kata bohong tadi. Jadi sumber kebenaran dijadikan sumber kebohongan kan begitu seolah-olah," lanjut Mahyudin.

Jawaban Mahyudin tersebut masih menimbulkan pertanyaan hakim ketua. Ia menanyakan kembali apakah perkataan Ahok yang berisikan Al-Maidah 51 dan ada pihak yang membohongi-dibohongi dapat dikatakan menganggap Alquran sebagai sumber kebohongan. Tapi, belum selesai ditanya, Mahyuni langsung menyergah.

"Sumber!" tegas Mahyuni.

"Sumber kebohongan, Al-Maidahnya itu?" kembali Dwiarso memastikan.

"Iya."

"Saya pertegas itu sumber atau alat?", ujar Dwiarso.

Kali ini Mahyuni menjawab bahwa Alquran boleh jadi dikatakan alat ataupun sumber bohong, itu tidak penting. Yang penting adalah ayat Al-Maidah 51 sudah dikatakan sebagai alat berbohong, padahal ayat itu terdapat dalam Alquran yang diakui kebenarannya oleh umat muslim.

"Jadi alat berbohong,sumber berbohong sama aja, gak ada ngaruhnya," jelas Mahyuni.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri