tirto.id - Laki-laki yang sudah lewat jauh dari masa mudanya itu merasa begitu bahagia, hingga dirinya rela lupa pada kesengsaraannya selama satu dekade pasca 1965.
“Saya tak ingin mempersoalkan apa yang sudah terjadi,” katanya kepada majalah Tempo (31/12/1977).
Sebelum bebas dari kamp tahanan Pulau Buru, dia bahkan tak terpikir akan bekerja apa setelah bebas. “Saya sudah tua,” katanya. Dulu, dirinya adalah pegawai negeri sipil golongan F6. Sebelum jadi pegawai negeri, laki-laki ini adalah perwira Angkatan Laut.
“Ia (bekas) Komodor AL Abdul Rahman Atmosudirdjo,” tulis Tempo. Disebut kala itu, usianya 54 tahun. Dia hanya ingin punya kesempatan berkumpul dengan keluarganya. “Saya ingin mencurahkan waktu untuk mengagumi istri saya yang setia,” katanya.
Dua dari empat anaknya menikah dengan orang Australia. Jika bisa, dia ingin bertemu teman-temannya di Negeri Belanda. Di masa tuanya itu, dia ingin membuat memoir agar orang-orang yang lebih muda darinya belajar dari pengalamannya yang sedemikian apes.
Sebulan usai Tempo menulis profil dirinya, Abdul mengirim surat pembaca ke Tempo untuk meluruskan beberapa informasi.
“Umur kami bukan 54, tapi 58; kami bukan Komodor AL, tetapi para pelaut Departemen Perhubungan Laut (Deparlu) yang golongannnya F-6, lazim disapa Komodor,” tulis Abdul Rachman. Jika pada 1977/1978 usianya 58, maka diperkirakan dirinya lahir sekitar 1919.
Masa muda Raden Abdul Rachman Atmosudirdjo penuh dengan petualangan.
“Kami sendiri semenjak 1941 berlayar di Government Marine (dinas sipil kelautan pemerintah). Selama Perang Dunia II berada di Ceylon(Srilanka) dan Australia, terakhir dengan pangkat Luitenant der zee tweede klasse Koninklijke Marine Reserve (Letnan laut kelas dua di Angkatan Laut Kerajaan),” cerita Abdul kepada Tempo.
Menurut koran terbitan Jakarta, Het Dagblad (18/06/1949), ketika di Australia Abdul Rachman diperbantukan di NEFIS, badan intel Belanda untuk pendudukan Indonesia kembali. Abdul Rachman, seperti dicatat Harry Albert Poeze, dalam PKI Sibar: Persekutuan Aneh Antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945 (2014) termasuk bagian dari Serikat Indonesia Baroe (Sibar) di Australia, bersama bekas Ketua PKI 1926, Sardjono—yang belakangan jadi mertuanya.
Ketika Indonesia merdeka, Abdul menjabat Letnan Laut Kelas Dua di Angkatan Laut Belanda. Setelahnya, dia ke Jakarta. Het Dagblad menyebut, dirinya berjanji tidak akan menjadi Anti-Belanda. Kenyataannya: tanpa lebih dulu keluar baik-baik dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda—seperti R Soebijakto dan W Siahaan—Abdul Rachman malah menyeberang ke pihak Republik.
Di pihak Republik, Abdul Rachman menjadi orang penting di Kementerian Pertahanan. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, yang menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, menjadikan Abdul Rachman sebagai kepala badan intel, yang disebut Kementerian Pertahanan Bagian V (KP-V).
Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007: 7), Abdul Rachman “tidak memiliki latar belakang pendidikan formil di bidang intelijen […] simpati politiknya cenderung ke kiri, sama seperti Menteri Pertahanan. Bagian V ini tetaplah suatu unit yang kecil. Dengan anggota awal berjumlah 13 orang yang semuanya bertugas di kantor pusat (Yogyakarta), sebagian besar dari mereka dipusatkan untuk menangani masalah militer, politik dan ekonomi.”
Ken Conboy dalam bukunya memang memandang miring Abdul Rachman, tapi tidak memberi penjelasan agak dalam soal usaha Abdul Rachman mengatasi blokade laut Belanda.
Abdul Rachman ikut merancang pasukan intel bernama Special Operation (SO), semacam Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo. Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 275: Telegram (kawat) dari Abdoel Rachman kepada Subiakto di Singapura tanggal 14 November 1948 menyebut: kepala SO adalah Raden Soebijakto, dengan pangkat Kolonel. Orang nomor dua di SO adalah Letnan Kolonel Raden Bagus Nasis Djajadiningrat.
Menurut Het Dagblad, Abdul Rachman juga berperan dalam memimpin reorganisasi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Kepada Tempo (28/01/1978), Abdul Rachman menulis dirinya menjadi ketua Reorganisasi Angkatan Laut dengan pangkat Kolonel. Ini berbeda menurut versi yang lebih dikenal, yakni Ketua Komisi Reorganisasi ALRI adalah Raden Soebijakto.
Setelah reorganisasi ALRI selesai, Soebijakto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Dalam sejarah ALRI, dia adalah KSAL terlama. Meski kemudian KP-V bubar, SO tetap berjalan di bawah komando Angkatan Laut, yang kemudian dikepalai oleh Soebijakto.
Bulan September 1948, ketika meletus Peristiwa Madiun—yang melibatkan Amir Sjafruddin dan orang-orang komunis lainnya—Abdul Rachman dianggap ikut dengan Amir dkk. Abdul Rachman termasuk orang yang ditangkap TNI dan kemudian ditahan di Solo tanpa kejelasan. Dia tak lama ditahan, karena Agresi Militer II membuat TNI kocar-kacir dan Abdul Rachman dibebaskan.
Dia kembali ke Yogyakarta, yang diduduki Belanda, dan melapor ke bagian layanan militer Belanda. Kemudian dia harus ditahan lagi oleh militer Belanda dan disidang oleh mahkamah militer Angkatan Laut Belanda. Menurut koran Sosial Demokrat Belanda, Het Vrije Volk (21/06/1949) dia dihukum kurungan sembilan bulan dan dipecat dari Angkatan Laut, karena sebagai Letnan Laut kelas Dua dia telah melakukan desersi pada 1945. Setelah tentara Belanda angkat kaki, Abdul Rachman kemudian bekerja di bidang pelayaran.
“Semenjak 1957 (saya) di Kementerian Pelayaran (Kementerian Perhubungan Jawatan Pelayaran) selaku Sekretaris Kementerian. Kemudian berturut-turut Kepala Biro Materiil, terakhir penghubung DPR/MPRS,” aku Abdul Rachman.
Menurut Transactions of the Royal Institution of Naval Architects, Volume 105 (1963:153) ia pernah menjadi Asisten Menteri Perhubungan Laut Republik Indonesia. Abdul Rachman juga mengaku, enam bulan sebelum G30S, dirinya adalah Asisten Khusus Menteri Koordinator (Menko) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Posisi Menteri kala itu diisi oleh orang dekat Presiden Sukarno, Dokter Raden Soeharto. Setelah G30S, Abdul Rachman kembali jadi tahanan militer seperti pada 1948, tapi kali ini lebih lama: satu dekade.
Editor: Nuran Wibisono