Menuju konten utama

25 Tahun Reformasi, Fenomena Vote Buying jadi Sorotan

Indonesia butuh calon pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual tinggi demi merangkai keberhasilan tujuh presiden sebelumnya.

25 Tahun Reformasi, Fenomena Vote Buying jadi Sorotan
Warga melintas di depan mural bertema anti politik uang di kampung Sondakan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (16/5/2023). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nym.

tirto.id - Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said menyebut bahwa agenda reformasi Indonesia mengalami kemunduran tajam, terutama dalam 10 tahun terakhir. Ia mengacu pada kondisi penegakan hukum dan korupsi.

"10 tahun terakhir agenda reformasi justru mengalami regresi bahkan kemunduran yang sangat tajam. Kalau diurut agenda reformasi, mulai dari penegakan hukum, pemberantasan KKN, praktek penegakan hukum sampai otonomi daerah seperti mengalami pembalikan," katanya dalam webinar Evaluasi 25 Tahun Reformasi yang digelar Gerakan Bersama Indonesia, Rabu 17 Mei 2023.

"Bahkan sekarang korupsi dan nepotisme berjalan lebih buruk, masif, vulgar dan primitif," tambah dia.

Mantan Menteri ESDM ini menilai tren demokratisasi di Indonesia menurun. Hal itu dibuktikan dengan maraknya politik uang sehingga pemimpin yang muncul dari hasil pemilihan bukanlah yang terbaik bagi bangsa.

"Kita menyaksikan bahwa demokrasi yang semestinya memberikan kebebasan pada rakyat, dibajak politik uang sehingga yang muncul sebagai pemimpin bukan putra-putri terbaik seperti yang dicita-citakan demokrasi. Padahal seharusnya demokrasi melahirkan meritokrasi, siapa yang unggul jadi pemimpin, sekarang yang terpilih yang punya uang, akibatnya vote buying muncul di mana-mana," terang Sudirman.

DIALOG NASIONAL HARI ANTIKORUPSI SEDUNIA

Sudirman Said (kiri) bersama Said Didu (kanan), bernyanyi lagu berjudul 'bongkar' saat Dialog Nasional Memperingati Hari Antikorupsi Sedunia di Padepokan Pak Dirman, Desa Slastri, Brebes, Jawa Tengah, Minggu (23/12/2018). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/hp.

Ia menyebut bahwa reformasi adalah siklus 20 tahunan dalam sejarah sesuai pernyataan cendekiawan Nurcholish Madjid. Ia yakin, perlu ada babak baru dalam mengubah situasi bangsa menjadi lebih baik. Sudirman pun menyatakan Indonesia memerlukan model kepemimpinan baru demi mewujudkan agenda reformasi.

"Kita butuh pemimpin yang mampu menjadi dirigen, perangkai, perajut yang bisa merangkai keberhasilan tujuh presiden sebelumnya. Mampu membangun konsep bagaimana kita menyelesaikan masalah-masalah, untuk itu kita butuh pemimpin dengan kapasitas intelektual yang tinggi, pemimpin yang punya wawasan sejarah masa lalu dan pandangan visioner yang global, tahu dunia sedang bergerak ke mana, sehingga mampu menata ke depan mau ke mana," jelas dia.

Sementara itu, Ketua BEM-UI Melki Sedek Huang mengklaim reformasi Indonesia gagal total. Ia menilai perlu ada substansi baru dalam mewujudkan reformasi bangsa.

"Reformasi 1998 gagal total karena tuntutannya tidak mampu kita penuhi. Ketika ia tidak mampu kita penuhi, kita harus mencari substansi baru untuk diwujudkan dalam reformasi versi kita sendiri," tegas Melki.

Melki menyebut perlu ada reformasi 2.0 dengan membawa isu Gen Z yang notabene pemilih terbesar di masa depan. Gen Z memiliki perhatian khusus dengan isu lingkungan, pendidikan dan kesehatan.

"Sekarang cari ada tidak politisi yang membicarakan politik hijau? Bagaimana pendidikan Indonesia harus ditransformasi? Bagaimana orang bisa berobat gratis substansinya harus bagaimana? Nyatanya tidak ada," tandasnya.

Baca juga artikel terkait REFORMASI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahreza Rizky