tirto.id - Pembaca, mari kita ke Kota Medan medio 1950-an. Kita berkenalan dengan Zainal Abidin Mohammad, seorang ilustrator muda, yang saat itu baru saja merampungkan manuskrip komik barunya. Pemuda Zainal mengunjukkan karyanya kepada sang istri, Siti Nazariah.
Rencananya, manuskrip komik itu bakal dia kirim ke redaksi majalah Waktu yang punya ruang khusus untuk komik.
“Bagaimana menurutmu gambar ini, Siti?”
“Bagus, kapan diantar ke Jalan Sutomo?” jawab Siti. Kantor redaksi majalah itu memang terletak di Jalan Sutomo, Medan.
Komik bikinan Zainal itu berkisah tentang aksi seorang detektif muda budiman. Karakternya pemberani dan sangat antikompromi dalam menegakkan hukum. Namun, setelah Siti membacanya, disadarinya ada satu hal yang kurang.
“Eh, nama anak mudanya belum ada, siapa pula namanya?” tanya Siti.
Sejenak, ingatan Zainal kembali ke masa Revolusi yang belum lama berlalu. Tergambar di kepalanya seorang teman revolusioner. Bahtar, nama si kawan itu, pernah menampung Zainal ketika hijrah sementara di Langkat.
Tak lama dari perkenalan itu, pecah peristiwa Revolusi Sosial yang meruntuhkan Kesultanan Langkat. Bahtar terlibat dalam aksi-aksi kelaskaran yang mengubah total tatanan sosial di negeri-negeri Melayu di pesisir timur Pulau Sumatra.
Zainal ikut pula dalam gelombang demonstrasi, tapi enggan bergabung dengan laskar. Huru-hara pada akhirnya tak terhindarkan. Zainal selamat, Bahtar sebaliknya. Dia ditemukan tewas dengan tubuh lebam dan kena bacok.
Kenangan itu lantas menghadirkan ilham di benak Zainal untuk nama karakter utama komiknya.
“Namanya Bahtar. Ya, Detektif Bahtar,” seru Zainal.
Tak lupa Zainal membubuhkan nama pena Zam Nuldyn pada karya komik pertamanya itu. Majalah Waktu menerima naskahnya dan menerbitkannya pada pertengahan 1954. Rupanya, cerita bergambar itu mendapat sambutan yang cukup positif dari pembaca.
Beberapa tahun kemudian, seiring dengan peningkatan produktivitasnya, Zainal dikenal sebagai salah satu komikus utama di sirkel Medan dan menorehkan namanya dalam sejarah perkomikan Indonesia.
Mengasah Bakat di Sekolah
Kisah masa kecil hingga dewasa muda seorang Zainal alias Zam Nuldyn amat klise. Begitu pun cerita penerjunannya ke lautan komik. Namun, begitulah lazimnya titian jalan seorang yang kelak dihormati sebagai maestro.
“Komikus di Medan yang juga disebut sebagai ‘pelukis komik’ atau ‘cergama’, rata-rata menyandang bakat yang tinggi untuk menjadi seorang seniman sejak belia,” demikian tulis Koko Hendri Lubis, peneliti sejarah kultur pop Medan, dalam Geliat Superstar yang Mengubah Peristiwa (2023).
Komikus kelahiran Labuhan Deli, 31 Desember 1922, ini adalah sulung dari empat bersaudara putra Muhammad Chaniago gelar Datuk Raja Mangkuto dan Hanna. Dia menjalani masa kecilnya di kota pesisir Sumatra Timur tersebut.
Pada 1933, sang ayah membawa keluarganya pindah ke Medan. Zam lalu disekolahkan di HIS Taman Siswa pada pertengahan tahun yang sama. Pada 1939, Zam melanjutkan pendidikannya di Ivoorno Medan.
Zam menggambar sejak kecil. Menurut Koko, bakat Zam makin tumbuh dan terasah di masa sekolah menengah di Ivoorno. Ada pula dorongan khusus dari seorang guru gambar bernama Zainuddin.
Zam mengakui bahwa kualitas gambar sang guru teramat luhur. Oleh karena itu, para siswa menjulukinya Profesor Gambar. Zam bahkan tak sungkan mengakui diri sebagai pengagum Meneer Zainuddin.
“Saya mendapat nilai yang tinggi dalam mata pelajaran menggambar. Beliau mengapresiasi secara khusus dan berpesan supaya terus mengembangkan bakat melukis,” tutur Zam sebagaimana dikutip Koko dalam biografi Zam Nuldyn: Menemukan (Kembali) Nusantara (2021).
Zam menepati pesan Meneer Zainuddin tersebut. Sambil bersekolah, di usia sekira 16 tahun, Zam mulai membangun portofolio sebagai ilustrator. Beberapa karya ilustrasinya mampu menembus kurasi beberapa majalah ternama di masa itu, seperti Pandji Poestaka, Taman Kanak-kanak, dan Terang Boelan.
“Honornya lumayan untuk beli peralatan melukis dan bahan bacaan,” kenang Zam seperti dikutip Koko (2021).
Pada 1942, seturut pengakuannya kepada budayawan dan penulis Arswendo Atmowiloto, Zam mulai bekerja sebagai guru gambar di Sekolah Setia Budi (yang lalu berubah nama menjadi Sekolah Harapan). Selain mengampu mata pelajaran menggambar, Zam juga dipercaya mengajar menulis indah dan produksi reklame.
Namun, profesi guru tak lama dijalaninya. Tahun berikutnya—ketika Jepang telah demikian kuat menancapkan kuasa atas Indonesia, Zam memulai pekerjaan baru di bagian pergudangan Kantor Catu Medan. Di sinilah, Zam bertemu Siti Nazariah yang kemudian dinikahinya pada Oktober 1945.
Terpesona Cerita Rakyat
Zam dikenal sebagai maestro cerita rakyat Sumatra, khususnya Melayu. Komik pertamanya memang bertema detektif, tapi sepanjang hayat dia lebih dikenal karena komik-komik cerita rakyatnya. Di antara komikus sirkel Medan lainnya, Zam yang nisbi paling banyak menggubah komik cerita rakyat.
Puncak produktivitas Zam terjadi pada tahun-tahun awal 1960-an. Saat itu, dia tak putus menelurkan judul-judul komik cerita rakyat. Seturut catatan Koko, pada 1961, Zam bahkan bisa menghasilkan tujuh komik cerita rakyat dan satu tema detektif.
Judul-judul terkenal gubahan Zam di antaranya: Datuk Seruwai (1960), Ratu Karimata (1961), Merak Djingga (1961), Dewi Krakatau (1961), Panglima Denai (1961), Paluh Hantu (1962), dan Si Balga (1968).
Lantas, mengapa Zam memilih mengangkat dongeng Melayu dalam karya-karyanya?
Jika kita putar waktu ke belakang, Zam sebenarnya telah mengakrabi khazanah cerita rakyat Melayu sejak belia di tanah kelahirannya. Tentang Labuhan Deli, kepada Arswendo, Zam melukiskannya sebagai “tempatnya jin dan hantu”.
Seturut penelusuran Koko, Zam belia bersentuhan dengan dunia dongeng melalui cerita-cerita para tetua di kampungnya. Dari seorang nelayan tua bernama Atok Balang, misalnya, Zam mendapat cerita tentang raksasa sungai dan pahlawan dari zaman lampau. Lalu, dari Atok Tolib si tukang pijat buta, dia beroleh kisah tentang negeri yang dipimpin seorang raja nan ahli hal-hal gaib dan tentang pertarungan manusia dan harimau.
Dorongan kreatif untuk menjadikan cerita rakyat Melayu sebagai basis berkarya disadari Zam mulai bersemi di masa Revolusi. Saat itu, Kota Medan kacau balau dilanda perang. Keadaan itu membuat pekerjaan Zam tak menentu dan memaksanya keluar dari Medan.
Meski lagak zaman sedang tak berketentuan, Zam tak meninggalkan kegiatan menggambar.
“Di situlah saya hidup karena gambar itu dibeli oleh pedagang Cina yang banyak duit. Untuk mengganti gambar Ciang Kai Sek,” tutur Zam seperti dicatat Arswendo dalam artikel “Zam Nuldyn Jendral yang Membuat Jalan” (Kompas, 4 September 1979).
Dari 30 Agustus sampai 11 September 1947, Zam menjelajahi jantung Sumatra Utara hingga berujung di Tapanuli Utara, dekat Danau Toba. Di antara deru peperangan dan perjalanan berat itu, jiwa kreatif Zam justru tergugah.
“Selama dalam perjalanan, saya banyak mencatat, mendengar dari mulut ke mulut, tentang dongeng seputar Danau Toba dan Pulau Sumatra. Semua itu sangat menggugah perasaan. Saya bertekad dalam hati, suatu saat nanti akan membuatnya menjadi cerita komik,” ungkap Zam sebagaimana dicatat Koko dalam bukunya (2021).
Demikianlah cerita rakyat menjadi dorongan kreatif Zam dalam berkarya. Menurut Arswendo dalam “Komik Legenda: Cerita Rakyat yang Tak Pernah Tamat” (Kompas, 24 April 1983), Zam paling piawai mereka kisah asal-usul nama suatu tempat atau daerah. Segala tempat di Sumatra seakan bisa dia ulik cerita asal-usulnya.
Dalam komik Merak Jingga, misalnya, Zam mengulik asal nama Kota Bagan Siapi-api. Lain waktu, dalam komik Panglima Denai, kisah seekor buaya bernama Silinda dihubungkan dengan nama daerah Silinda di Deli Serdang. Contoh lainnya ada di komik Dewi Krakatau yang nama-nama tokohnya berasosiasi dengan beberapa nama geografis, seperti Gunung Api Krakatau, Pulau Legundi, Pulau Bangka, Pulau Sertung, hingga Selat Karimata.
Bahkan, ada pula nama karakter dari komik Zam yang kemudian dijadikan nama suatu tempat di Medan. Ada nama Jalan Panglima Denai, misalnya. Di dekat situ, ada pula Jalan Jermal yang juga diambil dari nama karakter komik Zam.
“Nama Alang Jermal itu kini dipakai sebagai nama salah satu jalan di Medan,” tulis Arswendo.
Ketekunan Riset
Zam masuk gelanggang komik tak sekadar bermodal bakat. Dia menginsafi bahwa komik berkualitas tidak bisa hanya bersandar pada gambar bagus. Ia perlu ditopang cerita, karakterisasi, latar semesta, hingga detail-detail lain yang meyakinkan.
Lantaran mengangkat cerita-cerita kuno, sudah barang tentu Zam bakal bersinggungan dengan unsur-unsur fantasi, kegaiban, takhayul, maupun mistisisme. Itulah segala hal yang sedapat mungkin ditolak oleh manusia-manusia modern.
Namun, Zam tidak mau menafikan begitu saja unsur-unsur mistika tersebut. Baginya, semua itu adalah kekayaan warisan nenek moyang yang mesti dilestarikan.
Dalam berkarya, Zam punya pegangan bahwa cerita-cerita dongeng tidak serta-merta bisa digambar dengan berdasar rekaan imajinasi belaka.
Seajaib dan sefantastis apa pun cerita itu, sebermula ia tetaplah bagian dari budaya masyarakat tempatnya lahir. Maka visualisasi cerita rakyat Melayu harus sedekat-dekatnya menggambarkan alam negeri-negeri Melayu. Begitu pula adat istiadatnya, pakaiannya, asesorisnya, makanannya, hingga bangunannya mesti sesuai dengan budaya dan zamannya.
Karenanya, sebelum membuat komik, riset adalah keharusan bagi Zam. Demi mendapatkan materi cerita yang lengkap, misalnya, Zam pergi mewawancarai para tetua kampung. Dia juga bertungkus lumus melakukan telaah pustaka untuk memperkaya referensi dan menjaga akurasi pernak-pernik budaya dan sejarah dalam komiknya.
“Kesemuanya digali dari bahan-bahan yang dicari sendiri, diperkirakan, dan dihidupkan,” tulis Arswendo.
Contoh terbaik bagi ketekunan dan kecermatan seorang Zam Nuldyn tecermin dalam trilogi kolosal 24.000 Tahun Danau Toba (1964). Seturut penelusuran Koko, Zam mengumpulkan hingga 45 buku berikut dua ensiklopedia sebagai “bekal” membuat komik tersebut.
“Referensi dari bidang arkeologi prasejarah, paleoantropologi manusia dan bahasa, sebisa mungkin dipadukan sebagai mata rantai sejarah yang hilang dalam komik,” tulis Koko dalam bukunya (2021).
Idealisme Seorang Komikus
Bagi Zam, komik lebih dari sekadar bacaan hiburan, apalagi karya picisan seperti anggapan banyak orang. Karenanya, Zam hampir-hampir bertindak seperti seorang sastrawan dalam berkarya.
Menurut kolektor komik, Henry Ismono, Zam percaya bahwa komik bernilai sastra dan menjadi media edukasi masyarakat. Zam juga menekankan bahwa modal menjadi seorang komikus tak cukup hanya teknik, tapi juga wawasan luas dan determinasi untuk terus belajar.
Cergamis, menurut Zam, harus bisa menguasai dua kemampuan sekaligus, yakni menggambar dan menulis.
“Kesadaran inilah yang membuatnya mencetuskan istilah cergam sastra yang mempersyaratkan paduan lukisan dengan kualitas bagus berkelindan dengan teks tulisan. Keduanya, lukisan dan teks, jalin-menjalin membentuk sebuah kesatuan utuh cerita,” tulis Henry dalam Lintasan Cergam Medan: Catatan Seorang Kolektor (2016).
Istilah cergam sastra dia perkenalkan melalui artikelnya yang terbit di Tjergam--majalah komik legendaris yang terbit perdana pada Desember 1961. Zam Nuldyn turut membidani kelahirannya.
Ide menerbitkan majalah khusus cerita bergambar alias komik bermula dari pertemuan Zam, penulis Dada Meuraxa, komikus Loethfi Asmoro, dan Ali Musa Tampubolon di kantor penerbit Firma ATB. Intinya, seturut Koko Hendri Lubis, mereka merasa perlu ada satu majalah khusus komik di Medan.
Tak butuh rapat panjang, mereka pun bersepakat untuk menerbitkan majalah komik. Bahkan, mereka langsung pula menunjuk Zam sebagai pemimpin redaksinya.
“Saya ditugaskan untuk membuat isi, konsep, merancang nama dan maksud adanya majalah tersebut. Pihak ATB akan menanggung biaya percetakan, urusan distribusi dan honor para awak majalah,” kutip Koko dalam bukunya (2021).
Nama yang dipakai untuk majalah ini, Tjergam, bukan sekadar untuk menggambarkan isinya. Nama ini bagi dewan redaksinya sekaligus merupakan pernyataan sikap politik kebudayaan. Dalam pengantar edisi perdananya, redaksi menyatakan bahwa cergam alias cerita bergambar adalah pengganti bagi istilah komik yang berbau Barat.
Tak sedakar menyorongkan istilah baru, mereka juga berupaya agar istilah cergam punya identitas ke-Indonesiaan. Salah satu caranya dengan mengangkat cerita-cerita rakyat Nusantara. Sedapat mungkin, mereka juga menyisipkan edukasi dan pendidikan karakter melalui cergam buatannya.
“Terbitnya Majalah Tjergam sekaligus meneguhkan kesepakatan idealisme komikus Medan untuk memberi jejak identitas yang jelas tentang konsep mereka berekspresi lewat komik,” tulis Henry dalam bukunya (2016).
Dalam amatan Henry, terasa benar bahwa Zam dan kawan-kawannya berupaya menyelaraskan spirit kekaryaannya dengan politik kebudayaan yang digaungkan oleh Presiden Sukarno di masa itu.
Dalam pengantar majalah, sebagaimana dikutip Henry, redaksi Tjergam menyuratkan bahwa upaya mereka bersumber dari unsur “Kepribadian Nasional” dari Manipol-USDEK yang dirumuskan Sukarno pada 1959.
Editor: Irfan Teguh Pribadi