tirto.id - Syahdan, pada suatu sore di pertengahan tahun 1957, komikus Taguan Hardjo dapat order dari bos koran Waspada H. Mohammad Said. Si bos menyodorkan sebuah risalah penelitian Sir Richard O. Winstedt, seorang ahli sejarah Melayu, yang di dalamnya memuat dongeng kuno Hikayat Musang Berjanggut. Haji Said meminta Taguan mengolah dongeng kuno itu jadi cergam. Rencananya cergam itu akan ia terbitkan bersambung di korannya.
Taguan benar-benar asing dengan dongeng kuno itu. Wajar saja, hingga dewasa Taguan tumbuh di Suriname. Meski ayahnya orang Jawa, ia mulai merasai hidup di Indonesia pada 1953. Usut punya usut, kawan-kawan sebayanya di Sumatra Timur pun tak banyak tahu soal hikayat itu.
Secara garis besar, hikayat itu berkisah tentang raja Kerajaan Sungai Parun yang jatuh hati pada istri Tun Utama, putra angkatnya. Raja lantas melakukan berbagai cara agar bisa mendekati menantunya yang cantik bukan buatan. Menteri-menterinya pun ikut ia libatkan. Siti Syarifah, si menantu, rupanya cerdik. Ia mengatur siasat guna mempermalukan mertuanya yang tak tahu diri.
Taguan menyetujui proyek itu dengan niat memperkenalkan lagi cerita rakyat Indonesia ke khalayak. Haji Said pun ikut urun membantu.
“Nama tokoh-tokoh seperti Tun Utama, Siti Syarifah, adalah nama-nama yang diciptakan beliau sendiri bagi penulis—anak didik beliau. Namun beliau memberi kepercayaan kepada penulis untuk membangun alur cerita sepenuhnya berdasar imajinasi penulis sendiri,” tulis Taguan dalam pengantar untuk cergamnya.
Taguan menjawab kepercayaan Haji Said dengan cergam yang istimewa. Cerita ia sajikan dalam rentetan panel ilustrasi dengan narasi di bawah panel itu—suatu gaya baru untuk ukuran saat itu. Ia juga mengaplikasikan halftone di beberapa bagian gambar untuk memunculkan efek dramatis. Judul cergamnya ia ubah menjadi Bapak-Bapak yang Lupa Daratan atau Mencari Musang Berjanggut.
Upaya Taguan berbuah manis. Cergam itu amat disukai pembaca dan ikut mendongkrak tiras koran Waspana. Setelah tamat, kisah itu lantas diterbitkan ulang dalam bentuk buku yang juga laris manis. Cetakan pertamanya laku hingga 10.000 eksemplar.
Selain dicetak ulang berkali-kali, cergam ini juga diadaptasi jadi film. Pada 1983, PT Sutra Jaya Film mengangkat hikayat ini ke layar perak. Pietra Jaya Burnama didapuk jadi sutradaranya, sementara tokoh-tokoh utamanya diperankan oleh aktor populer Roy Marten dan Rini S. Bono. Bahkan, sebuah perusahaan film dari Malaysia sudah lebih dulu memfilmkannya.
Mencari Musang Berjanggut—atau dalam edisi terbitan ulang 1991 diubah jadi Hikayat Musang Berjanggut—lantas jadi klasik jika membahas cergam Medan. Tak hanya itu, ia juga tonggak dalam perkembangan genre komik dongeng di Indonesia. Rupanya, komik Indonesia tidak melulu imitasi dari kultur pop Amerika Serikat. Penggalian khazanah budaya lokal dan kreativitas mampu menciptakan ceruk pasarnya sendiri.
Mekar di Medan
Cergam Taguan bisa jadi adalah usaha pertama alih wahana hikayat Musang Berjanggut, tapi itu bukanlah komik dongeng pertama. Usaha alih wahana dongeng, legenda, cerita rakyat, atau mitos lokal ke dalam komik sudah dilakukan sejak 1940-an. Komik dongeng ikut mengisi slot komik strip di media massa yang juga mengimpor cerita-cerita dari luar negeri.
“Yang agaknya perlu ditekankan di sini adalah bahwa jenis legenda ini pada awal mulanya digarap oleh komikus-komikus yang tangguh, para pemula yang memulai lahirnya komik Indonesia,” tulis Arswendo Atmowiloto dalam “Komik Legenda: Cerita Rakyat yang Tak Pernah Tamat” yang terbit di Kompas (24 April 1983).
Pionir yang patut dicatat dari masa ini adalah Nasroen A.S. yang menggambar komik Mentjari Poetri Hidjau. Komik legenda dengan latar daratan Sumatra ini terbit di mingguan Ratoe Timoer pada 1939. Lalu, sekitar 1941, komik Roro Mendoet garapan ilustrator B. Margono terbit bersambung di Sinar Matahari mulai September 1942.
Tak ada catatan pasti tentang penerbitan komik dongeng semasa revolusi berkecamuk. Yang jelas produksinya menggeliat lagi memasuki dekade 1950-an, bersamaan dengan makin terkenalnya komik wayang. Dua genre ini bahkan cukup mampu menggeser komik impor dari Amerika Serikat di media massa Indonesia. Djoko Tingkir misalnya, karya komikus Abdulsalam ini terbit di surat kabar Minggu Pagi pada November 1952.
“Selain Jawa, ada Madura, Bali, Sumbawa, dan Kalimantan turut menyemarakkan dunia komik. Namun di antara semua, cerita rakyat Sumatralah yang banyak menyumbang khasanah perkomikan berkat kelompok komikus Medan,” tulis Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2001, hlm. 31).
Ketika demam komik wayang meledak di Jawa pada pertengahan 1950-an, beberapa penerbit komik di Medan—seperti Casso, Harris, Hassir, ATB, dan Toko Buku Semesta—juga berusaha mengikutinya. Tapi rupanya antusiasme pembaca di Sumatra tak semeriah di Jawa. Para penerbit dan komikusnya kemudian berpaling pada khazanah dongeng lokal. Beberapa di antaranya lalu menggubah cerita berbasis legenda Minangkabau, Melayu, Tapanuli, Aceh, atau Deli kuno.
Karya populer dari kurun ini adalah Hikayat Musang Berjanggut yang sudah disebut sebelumnya. Beberapa komikus Medan lalu ikut terjun menggarap komik dongeng dan mengembangkan spesialisasi sendiri-sendiri.
“Bahzar Sou’yb lebih banyak berkarya menggarap cerita dari Minangkabau. ... Si Gajo berkarya banyak menggunakan instrumen legenda Mandailing. Loethfi Asmoro lebih condong menggarap cerita pesisir Tanjung Balai,” tulis Koko Hendri Lubis dalam Kalam yang Menggapai Bumi: Rimba Perjalanan Komik Indonesia dalam Esai dan Wawancara (2019, hlm. 24).
Tak sekadar sarana hiburan, komik dongeng juga menyisipkan amanat. Ia menjadi jawaban bagi kritik orang tua dan pendidik di zaman itu yang menuduh komik melenakan dan membawa pengaruh buruk kepada pembacanya.
Contohnya bisa dibaca dalam komik Hang Djebat Durhaka (1963) karya M. Alis. Komik berbasis legenda Melayu yang masyhur ini berkisah tentang kesetiakawanan Hang Jebat pada sahabatnya, Hang Tuah. Manakala tahu sahabatnya dihukum mati lewat hukum yang tak adil, Hang Jebat berontak melawan Sultan Malaka, tuannya sendiri. Tak sekadar amanat implisit, M. Alis juga membubuhkan kata-kata mutiara di setiap halaman komiknya.
Cerita Andersen
Salah satu jenis cerita rakyat yang sering dibuat komik adalah asal-usul nama suatu tempat atau daerah. Untuk komik jenis ini ada satu nama yang tak boleh dilewatkan: Zam Nuldyn. Di tangan Zam seakan semua tempat di Sumatra bisa dikulik asal-usulnya.
Dalam komik Merak Jingga, misalnya, Zam mengulik asal nama kota Bagan Siapi-api. Lain waktu dalam komik Panglima Denai, kisah seekor buaya bernama Silinda dihubungkan dengan nama daerah Silinda di Deli Serdang. Contoh lainnya komik Dewi Krakatau yang nama-nama tokohnya berasosiasi dengan tempat-tempat seperti Pulau Legundi, Pulau Bangka, Pulau Sertung, hingga Selat Karimata.
Bahkan, ada pula nama karangannya dalam komik yang kemudian dijadikan nama tempat di Medan.
“Ia membuatkan juga tokoh bernama Alang Jemal dalam Panglima Denai, dan nama Alang Jemal itu kini dipakai sebagai nama salah satu jalan di Medan,” tulis Arswendo.
Seiring dengan dinamika pasar, perkembangan baru dalam genre komik dongeng terjadi sekitar awal 1970-an. Penerbit komik mulai menerbitkan komik yang bersumber dari dongeng Eropa. Muncullah komik yang mengadaptasi dongeng-dongeng karangan penulis Hans Christian Andersen atau kumpulan Grimm Bersaudara.
“Karena itu lahirlah genre baru yang dinamakan Tjerita Andersen yang mencakupi semua komik untuk anak-anak. Dalam kategori ini dapat dimasukkan pula cerita yang mengambil tokohnya dari Walt Disney,” tulis Bonneff (hlm. 54).
Seturut Bonneff, pemula dari arus cerita Andersen ini adalah Penerbit Maranatha Bandung. Sebelumnya, Maranatha naik pamornya manakala R.A. Kosasih mengalihkan penerbitan komiknya ke penerbit ini.
Seri cerita Andersen terbitannya pun termasuk yang paling banyak digemari anak-anak pada dekade 1970-an.
“Sebelum komik terbit, anak-anak sudah ramai menunggu di depan penerbit Maranatha. Saat itulah terpikir oleh Markus Hadi (pendiri Maranatha) untuk membuka Toko Buku Maranatha. Halaman rumah pun disulap menjadi ruang toko,” tulis Frans Sartono dalam “Berkelana ke Negeri Wayang Maranatha” yang terbit di Kompas (27 Januari 2017).
Dari segi pembaca, komik dongeng punya ceruk pasar yang sangat spesifik: anak-anak. Meski begitu, genre ini termasuk yang paling sintas dibanding genre lain macam silat atau adisatria yang sempat tersungkur pada dekade 1990-an. Kini, jika berkunjung ke toko buku, hampir selalu terdapat deretan rak khusus yang memajang komik dongeng di antara buku anak-anak.
Editor: Irfan Teguh Pribadi