tirto.id - Harya Suraminata alias Hasmi dikenal sebagai pencipta tokoh adisatria Gundala. Ia lantas dianggap sebagai maestro komik adisatria Indonesia dengan sederat karakter lain yang tak kalah menarik, seperti Maza, Jin Kartubi, Merpati, dan adisatria cilik Kalong. Karakter penjahat ciptaannya seperti Ghazul, Pengkor, dan Ki Wilawuk, juga tak kalah ikonik.
Namun, Hasmi sebetulnya tak serta-merta terkenal gara-gara komik adisatria. Ia justru mengawali langkahnya di industri komik Indonesia dengan komik silat. Hasmi mengambil inspirasi dari cerita silat berlatar Jawa era kerajaan yang dikarang oleh penulis S.H. Mintardja.
Pada 1968, komik pertama Hasmi yang berjudul Merayapi Telapak Hitam diterbitkan oleh penerbit Cahaya Kumala. Dengan karakter utama yang bernama Kebo Baning, komik ini terbit dalam tiga seri. Tak sampai berganti tahun, seri petualangan Kebo Baning terbit lagi di bawah judul Kerusuhan di Bukit Kayangan.
Tahun berikutnya, sebelum membuat Gundala, Hasmi menerbitkan komik Komplotan dengan tokoh baru bernama Gajah Abur-abur. Tokoh ini kelak muncul menemani Gundala menumpas kejahatan dalam komik Operasi Gua Siluman.
“Sejarah baru dalam kehidupan Hasmi sudah berhasil diukir. Karya komik silatnya sudah bersanding dengan para komikus lain yang lebih dulu berkarya,” tulis Henry Ismono dalam Hasmi Pencipta Legenda Gundala (2019, hlm. 71-72).
Saat Hasmi memulai karier, jagat komik Indonesia dikuasai dua genre: silat dan roman remaja. Di genre roman remaja ada dua nama terkenal yakni Zaldy Armendaris dan Sim. Sementara di genre silat ada nama besar Ganes Thiar Santosa yang lebih dikenal dengan panggilan Ganes Th.
Saat itu, genre komik silat baru naik daun berkat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes. Tak heran jika komikus muda seperti Hasmi membuat komik silat juga untuk memasuki industri komik. Ganes adalah tonggak penting dalam genre ini, meski ia bukanlah pembuka jalannya.
Sebermula adalah Sie Jin Kui
Seturut penelusuran Arswendo Atmowiloto, pendekar-pendekar silat mulai muncul di komik pada awal 1950-an. Tengaranya adalah tampilnya panglima legendaris Cina Kuno bernama Sie Jin Kui hasil kolaborasi Siauw Tik Kwie dan Oei Kim Tiang. Serial pertamanya yang berjudul Sie Jin Kui Ceng Tang dimuat di mingguan Star Weekly edisi No. 353, 4 Oktober 1952.
“Sie Jin Kui saat itu menggantikan komik serial Tarzan [...] Kisah Sie Jin Kui adalah kisah klasik. Jauh sebelum dikomikkan sudah difilmkan, bahkan sudah disiarkan sebagai sandiwara, atau sandiwara radio, bahkan sudah terbit dalam bahasa Jawa sekitar tahun 30-an,” tulis Arswendo dalam “Sumbangan Sie Jin Kui” yang terbit di Kompas edisi 3 Desember 1981.
Serial yang menceritakan perjalanan hidup panglima dari masa Dinasti Tang (abad ke-7) ini mampu bertahan hingga tujuh tahun. Arswendo menghitung, dari seri pertama hingga seri kedua yang berjudul Sie Jin Kui Ceng See, secara akumulatif ketebalan komik ini bisa mencapai 700-an halaman.
Tak sekadar jadi pionir, mutu gambar Siauw Tik Kwie juga tak bisa dibilang alakadarnya. Arswendo memujinya sebagai komik yang digambar secara sugestif impresif dengan goresan tegas yang konsisten dari waktu ke waktu. Didukung dengan plot yang epik, komik Sie Jin Kui berhasil menggeser dominasi serial komik impor macam Tarzan dan Flash Gordon.
“Itu sebagai salah satu bukti bahwa pengaruh Barat bukannya tanpa kelemahan, dan dunia Asia (dalam hal ini Cina, dan Indonesia) mampu menjadi sumber ilham bagi komikus,” tulis Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2001, hlm. 24).
Pengaruh dari cerita silat ala Cina ini adalah penekanan pada dikotomi nilai moral yang hitam putih. Pertarungan yang terjadi adalah antara si baik dan si jahat, pendekar golongan putih dan golongan hitam. Dan pada akhirnya pihak baik selalu bisa mengatasi halangan dan mengalahkan si jahat.
Gaya seperti ini mulai mengalami pergeseran sejak Ganes Th menerbitkan seri pertama Si Buta dari Gua Hantu pada 1967. Latar negeri Cina berganti dengan lanskap perdesaan dan hutan di pedalaman Banten. Jurus-jurus Barda Mandrawata—nama asli Si Buta—juga bukan kungfu, melainkan silat Betawi. Plotnya tak lagi digerakkan oleh cita-cita menegakkan kebenaran, melainkan balas dendam.
Gaya baru yang dibawa Ganes mendulang sukses besar. Komiknya laku hingga ratusan ribu eksemplar dan melahirkan epigon yang kelewat banyak. Arswendo memastikan, bom komik silat meledak dari sini dan melahirkan beragam variasi.
Tak hanya itu, orientasi para komikus silat pun berubah. Gaya dan pengaruh Cina, meski tak sepenuhnya ditanggalkan, mulai tergantikan oleh latar Nusantara dan sejarahnya sebagaimana dilakukan oleh Ganes.
“Si Buta merupakan tonggak emas dari karya Ganes TH. Malah seakan namanya menjadi manunggal dengan jenis ini saja,” tulis Arswendo dalam “Si Buta dan Bumbu Gaib” yang terbit di Kompas edisi 4 Desember 1981.
Pola yang Sama
Pada tahun-tahun berikutnya, kuantitas judul komik silat selalu lebih unggul dari komik roman remaja. Kedua genre itu kemudian mulai berbagi pasar. Kondisi tersebut salah satunya dipicu oleh munculnya para komikus lain yang berlomba membuat komik silat yang mirip dengan karya Ganes.
Hal tersebut terpantau oleh Bonneff. Menurutnya, cara bertutur komik silat hampir mirip dengan serial cerita silat yang berkembang hampir bersamaan. Cerita silat ala penulis Asmaraman Kho Ping Ho, S.H. Mintardja, atau Wid Widayat biasa jadi acuannya. Hasmi, misalnya, mengaku bahwa inspirasi komiknya yang pertama adalah cerita silat Naga Sasra Sabuk Inten karya S.H. Mintardja.
Judul komik silat sebagian besar adalah juga nama tokohnya dan pada dialah cerita berpusat. Plot bergerak dari si pendekar yang membentuk dirinya dan kemudian terjun menunaikan “tugas kemasyarakatannya”. Ia bertualang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari jati diri, memburu gembong penjahat, membalas dendam, hingga mencari pusaka sakti.
Dalam petualangan itulah menyisip kisah asmara, dendam, jurus, dan senjata sakti, serta tentu saja pertarungan antara hidup dan mati. Setiap petualangan itu dikisahkan dalam beberapa fragmen secara bersambung. Lazimnya satu fragmen serial disajikan dalam komik setebal 64 halaman.
“Dengan demikian, komikus dapat memasok kisah secara berurutan kepada penerbit. Jumlah fragmen bervariasi, namun agar tidak menimbulkan kebosanan di pihak pembaca, satu kisah hanya terdiri dari empat sampai lima fragmen,” tulis Bonneff (hlm. 136).
Para Maestro
Ganes dengan serial Si Buta dari Gua Hantu memulai gelombang “demam silat” dalam perkomikan Indonesia. Itu memicu komikus lain untuk mencoba peruntungan yang sama. Komikus yang sudah beken di genre roman remaja seperti Jan Mintaraga pun sempat menjajal membuat komik silat.
Pada 1968, Jan Mintaraga menerbitkan tiga judul komik silat, yaitu Darah di Senja Hari, Runtuhnya Maut Putih, dan Bentrok di Bukit Ungaran. Hasmi juga tak berhenti menggambar komik silat meskipun Gundala Putera Petir karyanya laris manis di pasaran. Sepanjang 1970-1971, bersamaan dengan judul-judul baru Gundala, Hasmi menerbitkan serial Jaka Gemblung dari Bukit Tidar.
Dekade 1970-an melahirkan banyak komikus silat yang kondang. Ganes Th tentu saja yang paling menjulang. Lain itu ada Abuj Ravana, Sindhu Henky & Co, Har, Rim, San Wilantara, Pros, Man, Djair Warni, hingga Hans Jaladara. Di antara mereka, tiga nama terakhir cukup mampu menempel ketat popularitas Ganes Th.
Komikus Man alias Mansyur Daman hadir dengan kisah silat berbumbu gaib. Komik pertamanya yang berjudul Istana Hantu terbit pada 1965. Ia lalu makin dikenal kala menerbitkan komik Si Tompel—yang memadukan silat Betawi dan unsur horor—pada 1965.
Karya Man yang paling terkenal adalah serial petualangan pendekar setengah siluman bernama Mandala. Serial pertama Mandala yang berjudul Golok Setan terbit pada 1976. Kisah Mandala itu lalu difilmkan empat tahun kemudian dengan dibintangi aktor laga Barry Prima.
Agaknya salah satu tolok ukur kesuksesan komik silat adalah ketika ia berhasil diangkat ke layar perak. Ganes dan Man membuktikan hal itu. Paling tidak film itu membuktikan bahwa karakter komiknya disukai masyarakat. Begitu pula yang terjadi pada Hans Jaladara dan Djair Warni.
Nama Hans Jaladara melejit berkat serial Panji Tengkorak yang terbit pertama kali pada 1968. Mulanya Hans mempersiapkannya hanya untuk penerbitan satu jilid. Tapi ternyata pembacanya begitu antusias terhadap pendekar yang menyembunyikan ketampanannya di balik topeng tengkorak itu. Jadilah serial ini baru tamat setelah lima jilid.
Jalan pedang Panji Tengkorak pernah demikian masyur dan jadi bagian dari budaya pop Indonesia di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Komik Panji Tengkorak—berikut sekuel-sekuelnya, seperti Si Walet Merah, Si Rase Terbang, hingga Panji Wilantara—memenuhi rak persewaan buku dan jadi buruan remaja-remaja yang keranjingan komik.
Tak kalah dari Si Buta, Panji Tengkorak pun difilmkan pada 1971 yang dibintangi oleh aktor Deddy Sutomo. Komiknya pun digubah ulang oleh Hans dan terbit kembali pada 1984 dan 1996.
Sementara Djair Warni menempuh jalan yang agak berbeda dari mereka semua. Jaka Sembung, karakter ciptaannya, bukanlah seorang petualang. Pendekar bernama asli Parmin Sutawinata itu adalah seorang muslim saleh. Meskipun pernah dikisahkan dengan latar Maluku dan Papua, Jaka Sembung hidup menetap di desa Kandanghaur.
Djair memberi kesegaran pada genre silat dengan menghadapkan Jaka Sembung dengan Kumpeni VOC. Semangat nasionalisme ia selipkan pada kisah tersebut. Unsur lain yang membedakan Jaka Sembung dengan pendekar lainnya adalah kuatnya religiositas Islam dalam alur kisah pendekar jago golok ini.
Keislaman itu muncul dalam banyak aspek, mulai dari motivasi perjuangan para karakternya, dialog, hingga segala atribut yang dikenakan. Napas keislaman juga muncul dari ajian pamungkas si pendekar. Djair menamakannya jurus Wahyu Takwa. Ini adalah cara Djair menggambarkan aspek spiritual dari silat Nusantara.
Dari 1968 hingga 1977, Djair membuat 21 serial Jaka Sembung. Setelah sempat vakum selama satu dekade, pada 1987 dan 1988 serial baru Jaka Sembung muncul lagi. Satu prekuel yang menjelaskan asal-usul si pendekar terbit pada 1994. Lalu, komik terakhir Jaka Sembung terbit pada 2010.
Tak bisa disangkal, nama Djair makin kesohor gara-gara Jaka Sembung. Popularitasnya lalu menarik minat produsen film untuk mengangkat kisahnya ke layar perak. Empat kali Jaka Sembung masuk bioskop lewat film Jaka Sembung Sang Penakluk (1981), Si Buta Lawan Jaka Sembung (1983), Bajing Ireng dan Jaka Sembung (1983), serta Jaka Sembung dan Dewi Samudra (1990).
Editor: Irfan Teguh Pribadi