tirto.id - Dalam kilasan sejarah budaya pop Indonesia, pernah ada suatu masa saat komik bikinan komikus lokal merajai pasar dalam negeri. Pada 1970-an, setelah lewat masa rintisan oleh angkatan Raden Ahmad Kosasih dan Taguan Hardjo, komikus lokal berjaya di negeri sendiri. Mereka bahkan cukup mengimbangi komik dari Amerika.
Pada masa itu, komik Indonesia dikuasai tiga genre: silat, wirawan adidaya, dan roman remaja. Di genre roman remaja ada nama Zaldy Armendaris dan Sim yang jadi dedengkotnya. Hasmi dan Wid NS jadi biang utama komik wirawan adidaya. Sementara pelopor komik silat tiada lain adalah Ganes Thiar Santosa atau Ganes TH.
Siapa tak kenal sosok Si Buta dari Gua Hantu rekaan Ganes yang legendaris. Tak hanya di komik, Si Buta juga sukses di adaptasi dalam sejumlah film. Dalam khazanah budaya pop, pendekar bernama asli Barda Mandrawata itu digadang sebagai tokoh silat Nusantara yang pertama.
"Si Buta merupakan masterpice Ganes TH yang pada masanya merupakan salah satu dari tiga dewa komik Indonesia bersama Jan Mintaraga dan Teguh Santosa," tulis Anton Kurnia dalam Buah Terlarang & Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017:179).
Ganes lahir pada 5 Mei 1935 di Tangerang. Ia mulai menekuni dunia gambar sejak masa sekolah menengah Tionghoa Hwee Koan. Karena kemampuan gambarnya, saat remaja ia biasa diminta menggambar logo untuk restoran, meski hanya diupah semangkuk bubur.
Pada 1953, ketika umurnya masih 18 tahun, ia sudah merasakan ikut pameran di Jakarta dan Bandung. Ia juga sempat mengecap pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) meski tak sampai menamatkannya. Klasik, masalah biaya jadi musababnya. Ia lalu memperdalam keahlian gambar dan lukis dengan menjadi asisten pelukis sohor Lee Man Fong. Lain itu, ia juga mulai merintis karier profesionalnya di awal 1960-an.
“Kembali ke Jakarta, ia meneruskan melukis dan memasok ilustrasi pesanan, khususnya karikatur, untuk sebuah harian komunis Warta Bhakti,” tulis peneliti komik Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (1998:200).
Meski tak terkait langsung dengan PKI dan ormas-ormasnya, afiliasinya dengan Warta Bhakti sempat membuat Ganes ketar-ketir. Ia sempat pula diinterogasi aparat dan masuk “daftar hitam”. Hidupnya sempat tak menentu gara-gara itu.
Untuk membersihkan namanya, Ganes TH lantas ikut dalam Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia (Ikasti). Tak hanya ikut membela kepentingan para komikus, seturut Bonneff, Ganes juga membimbing komikus-komikus yang lebih muda.
Ontran-ontran 1965 juga mengubah arah kreatif Ganes. Ia tak lagi melukis atau bikin ilustrasi. Ia kini mencurahkan waktunya untuk bikin komik. Pada momen ini ia juga ganti haluan, dari semula membikin beberapa komik roman remaja menjadi komikus silat. Itu terbukti jadi pilihan jitu dan karena itu juga namanya kian masyhur.
Kesuksesan Si Buta dari Gua Hantu
Seturut keterangan Bonneff yang mewawancarai Ganes TH (hlm. 120), orang sering salah paham mengasosiasikan Si Buta dengan pendekar-pendekar silat Cina. Padahal Ganes TH mendapat ide karakter Si Buta dari film Hollywood, dari seorang koboi buta yang mahir memainkan tongkat.
Ganes TH lalu memberikan latar Nusantara pada karakter itu, lebih tepatnya latar Banten yang ia pahami. Ilmu silat yang digunakan Si Buta pun bukan lagi ilmu silat Cina, melainkan silat Betawi. Maka terbitlah seri pertama Si Buta dari Gua Hantu pada 1967.
Seri pertama itu berfokus pada asal-usul Si Buta yang bernama asli Barda Mandrawata. Dikisahkan, mulanya ia adalah seorang pemuda tani yang cukup mahir bersilat di sebuah desa di pelosok Banten. Suatu kali desanya diobrak-abrik oleh pendekar buta yang sakti berjuluk Si Mata Malaikat. Ia menewaskan ayah gadis pujaannya dan juga ayah Barda.
Barda ingin menuntut balas tapi ilmu silatnya yang semenjana tak cukup untuk melawan Si Mata Malaikat. Jadilah, Barda menyepi dan memperdalam ilmu di sebuah gua. Susah payah ia mempelajari ilmu Si Mata Malaikat yang buta tapi sangat tangguh.
Demi menguasai ilmu itu Barda nekat menggores matanya dengan golok hingga buta. Meski buta tapi naluri dan indera pendengaran Barda jadi lebih kuat, itulah rahasia yang ia cari selama ini. Singkat kisah, berbekal ilmu yang dipelajarinya itu ia bikin perhitungan dengan Si Mata malaikat.
Barda akhirnya bisa mengalahkan Si Mata Malaikat dan menuntaskan dendamnya. Tapi ternyata itu baru awal dari petualangan Barda yang kini berjuluk Si Buta dari Gua Hantu. Ia lalu mengembara ke pelosok-pelosok Nusantara memberantas kejahatan.
Pembalasan dendam, sakit hati, dan banjir darah dalam pertarungan yang dibalut konteks Nusantara ternyata adalah resep jitu. Berkat resep itu, seri pertama Si Buta itu laku keras hingga ratusan ribu eksemplar. Nama Ganes TH pun melambung.
Menurut Anton Kurnia (hlm. 180), komik Si Buta memampang keunggulan Ganes TH sebagai komikus. Ia mampu menggambarkan gerak secara dinamis dan mimik yang ekspresif. Ganes TH juga mahir memainkan plot yang berliku.
Kekuatan lain Si Buta adalah karakterisasinya yang kokoh. Ganes TH mampu menggambarkan perkembangan psikologis tokohnya dengan sangat baik. Si Buta juga digambarkan secara manusiawi, bahwa ia juga bisa berbaur dan bisa juga kalah.
Bagi Seno Gumira Ajidarma, Si Buta dari Gua Hantu adalah perayaan kemampuan Ganes TH sebagai komikus. Kemampuan itu kian kukuh dengan terbitnya seri kedua bertajuk Misteri di Borobudur (1967). Dan pada seri ketiganya, Banjir Darah di Pantai Sanur (1968), Ganes TH mengukuhkan tak hanya namanya, tapi juga komik silat sebagai sebuah genre.
“Bukan saja ini mengukuhkan keberadaan Ganes Th sebagai komikus, tetapi lebih lagi menegaskan kesahihan komik silat sebagai suatu genre: komik silat itu isinya bukan hanya ‘banjir darah’, melainkan drama menggetarkan atas perjuangan manusia untuk memanusiakan dirinya,” tulis Seno dalam artikel “Ganes TH dan Korpus Tujuh Pendekar” yang tayang di harian Kompas (20/8/2006).
Berakar Kuat
Kesuksesan Si Buta membawa dampak signifikan dalam perkembangan komik Indonesia 1970-an. Sejak itu, genre roman remaja harus rela berbagi pasar dengan komik silat. Ganes TH juga mengilhami komikus lain untuk membikin juga komik silat dengan resep yang mirip-mirip, memulai gelombang “demam silat” dalam perkomikan Indonesia.
Penelitian Bonneff menunjukkan hal itu (hlm. 51). Pada 1967, hanya ada 18 judul komik silat beredar di pasar. Kalah jauh dari komik roman remaja yang mencapai 53 judul. Namun, jumlah itu berbalik pada 1968—saat Si Buta mencapai seri ketiga. Ada 156 judul komik silat beredar di pasar kala itu, melambung jauh meninggalkan komik roman remaja yang hanya 43 judul. Tahun-tahun selanjutnya kuantitas judul komik silat selalu lebih unggul.
Selain itu, orientasi para komikus silat pun berubah. Jika semula ilmu silat Cina berikut latar dan segala tetek bengeknya jadi acuan, kini gaya itu mulai ditinggalkan. Para komikus mulai menjadikan Nusantara dan sejarahnya sebagai latar sebagaimana yang dilakukan Ganes TH.
Resep Ganes TH itu diikuti oleh komikus silat lain seperti Djair Warni dengan Jaka Sembung-nya dan Hans Jaladara yang terkenal lewat seri Panji Tengkorak. Anton mencontohkan murid Jaka Sembung bernama Si Gila yang kisah kependekarannya mirip dengan Si Buta. Djair juga mengisahkan Jaka Sembung yang bertualang ke beberapa daerah Nusantara seperti Si Buta.
“Bedanya, Djair mewarnai karyanya dengan napas perlawanan terhadap kaum penjajah asing dan nuansa Islam yang cukup kentara (simak misalnya episode Wali Kesepuluh),” tulis Anton (hlm. 182).
Gara-gara pengaruh Ganes TH pula, standar riset untuk menciptakan komik silat Nusantara pun meningkat. Misalnya, ketika ia membawa petualangan Si Buta ke Sumbawa, Ganes TH pun meriset lebih dulu soal daerah itu. Contoh lain dari pentingnya riset itu adalah karya lain Ganes: Djampang Djago Betawi.
Anton Kurnia menyebut bahwa komik Jampang lahir berdasarkan cerita rakyat yang biasa disaksikan Ganes TH dalam pertunjukan lenong. Ia juga mengambil referensi dari cerita silat bersambung yang pernah terbit di harian Pos Kota pada 1960-an.
Ganes TH sendiri oleh Bonneff dikenal akrab dengan tradisi lisan dan silat Betawi yang hidup di lingkungannya. Ia seringkali mengunjungi perguruan silat di sekitar kampungnya untuk mendapat referensi gerakan silat untuk tokoh-tokoh komiknya. Hal itu lantas jadi kelaziman proses kreatif di antara komikus silat Indonesia.
“Senjata dan pakaian yang digunakan adalah yang biasa dikenakan para pendekar Indonesia. Mengenai teknik tempurnya, para komikus sering mencontoh adegan-adegan yang mereka lihat dalam film, dan ada juga di antara mereka yang meminta nasihat dari guru silat atau menonton pertunjukan silat, bahkan sebagian lagi memang menguasai ilmu silat,” tulis Bonneff (hlm. 121).
Editor: Suhendra