tirto.id - Hanya gara-gara layangan, seseorang bisa kena sial.
Suatu kali, Put On sedang ngaso di rumah sambil baca koran. Biar lebih nyaman, ia menggeser kursinya ke bawah pohon pepaya di halaman rumah. Lalu mulailah dia membaca kabar penemuan bom atom yang mampu menghancurkan satu pulau. Itu penemuan hebat, tentu saja, tapi Put On seperti tak sepakat.
“Katanya pemimpin-pemimpin terkemuka dari umat manusia, tapi terus membuat dan mencoba senjata yang gitu hebat. Kita mau dipimpin ke mana?” keluh Put On.
Mungkin karena berita itu terlalu serius dan ditambah ademnya suasana di bawah pohon teduh, Put On mengantuk, lalu tertidur. Namun, berita bom atom itu rupanya terbawa sampai mimpi: Ia dan warga lari-larian dikejar sebuah pesawat.
Ketika masih pulas bermimpi, sebuah layang-layang anak gang sebelah nyangkut di pohon pepaya Put On. Mereka berupaya menarik paksa tali layang-layang tersebut, namun berujung naas bagi si empunya pohon: gesekan tali itu membuat salah satu buah pepaya jatuh tepat di wajah Put On yang tengah terlelap di bawah.
“Ouw... bom!” Sial betul.
Bukan sekali itu layang-layang putus bikin Put On ketiban sial. Suatu waktu dia pernah punya niat baik membelikan kedua adik lelakinya masing-masing satu layang-layang. Selain agar tidak saling cemburu, ia berharap mereka “supaya jangan uber-uber layangan putus. Bisa bahaya.”
Sepulang beli layang-layang, seperti biasa Put On lewat sebuah gang kampung di mana rumah-rumahnya masih berpagar kayu. Di depan sebuah rumah, ia berpapasan dengan segerombolan anak yang berlarian mengejar layang-layang putus. Sialnya, layang-layang putus itu menuju ke arah Put On.
Anak-anak itu lalu menubruk Put On karena mengira dialah yang mengambil layang-layang putus tersebut. Put On pun tersungkur hingga merobohkan pagar kayu sebuah rumah. Keributan itu membuat si pemilik rumah muntab. Anak-anak yang mengetahui hal itu segera ambil langkah seribu. Tapi tidak dengan Put On. Ia yang tak sempat kabur segera kena ciduk.
“Ini biangnya! Hayo betulin pager gua! Hm... mau lari?” sergah si pemilik rumah sambil mencengkeram kerah baju Put On.
“Bu... bu... bukan! Saya sendiri jadi korban,” kata Put On yang malang.
Pemuda gendut bernama Put On yang selalu sial itu tentu saja hanyalah tokoh fiksi. Lebih tepatnya: tokoh komik strip karya komikus Kho Wan Gie. Nyaris sepanjang 30 tahun, Put On menghibur pembacanya. Dan lebih mengesankan lagi, seperti kata Arswendo Atmowiloto: Put On adalah “komik pertama di Indonesia (yang dibuat) oleh komikus Indonesia”.
Ilustrator Majalah dan Komik Strip Coba-Coba
“Oom hanya ingin membuat orang tertawa. Ingin menghibur,” kata Kho Wan Gie tentang alasannya terjun ke dunia komik, sebagaimana dikutip Arswendo Atmowiloto dalam artikel “Pengaruh Candi dan Put On” yang terbit di harian Kompas (13 Agustus 1979).
Arswendo mengenang Kho Wan Gie sebagai pribadi yang sangat “biasa”, kendati pun jelas terkenal. Sosoknya pendiam dan pemalu. Perjalanan hidupnya pun lempang belaka.
Kho Wan Gie lahir di Indramayu pada 1918. Sebagaimana kebanyakan anak Tionghoa lain zaman itu, dia menjalani masa pendidikan di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan. Usai lulus, dia tak langsung terjun ke dunia gambar, tapi justru jadi penjaga toko.
Tak ada keterangan pasti soal kapan Kho Wan Gie mulai serius menggambar. Dari keluarganya sendiri tak ada yang berlatar seniman. Sepengakuannya kepada Arswendo, pilihannya untuk menekuni komik kelewat sederhana: “Tertarik begitu saja.”
Tak berlama-lama jadi penunggu toko, Kho Wan Gie kemudian hijrah ke Batavia. Di sana dia ikut kursus menggambar secara korespondensi di sebuah lembaga kursus yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat.
Usai menyelesaikan kursus tersebut, Kho Wan Gie mulai meniti karier sebagai ilustrator di majalah Panorama pada tahun 1927. Ia bekerja di bawah arahan penulis Tionghoa terkenal: Kwee Tek Hoay.
“Kho tak hanya membuat sebagian besar ilustrasi majalah itu, tapi juga ditugaskan untuk merancang sampul roman Kwee, seperti Bunga Roos dari Tjikembang yang sangat terkenal sebagai novel, teater, dan diangkat jadi film,” tulis sinolog Myra Sidharta dalam artikel “Jakarta Through the Eyes of Ko Put On” yang jadi bagian bunga rampai Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays (2000, hlm. 160).
Ia hanya bertahan dua tahun di majalah Panorama sebelum akhirnya pindah kerja di koran Sin Po. “Karena gajinya lebih gede,” kata Arswendo. Dan tak hanya pendapatannya makin cuan, hokinya sebagai seniman pun makin moncer di tempat yang baru ini.
Saat itu manajer Sin Po, Ang Jan Goan, dan pemimpin redaksi, Kwee Kek Beng, meminta Kho Wan Gie membuat komik strip. Keduanya sekaligus juga membantu Kho Wan Gie mengembangkan karakter jenaka untuk komik strip itu. Sebagai referensi ia juga membaca komik humor populer Amerika, Bringing Up Father, karya George McManus.
Meski belum ada judulnya, komik strip coba-coba itu terbit juga tiap seminggu sekali sejak sekira Agustus 1930. Barulah pada Januari 1931, Kho Wan Gie menerbitkan serial komik strip di bawah judul Put On. Menurut Myra Sidharta, nama itu adalah ejaan Melayu untuk kata Hokkian “bu an” yang artinya Si Gelisah.
Put On adalah seorang pemuda Tionghoa bertubuh tambun dengan kekocakan yang khas karena nasibnya nyaris selalu ketiban sial. Terkadang ia tampak baik hati, tapi di lain waktu juga bandel dan sok pintar. Tentang tokoh jenaka ini, Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2000, hlm. 20) menulis:
“Juru gambarnya ingin menggambarkannya sebagai seorang Cina yang rendah hati, atau sebagai tokoh yang mewakili rakyat kecil ibu kota. Ia berbicara dengan dialek Jakarta, dan hidupnya sederhana. Di musim kemarau ia mengangkut air, atau apabila hujan turun ia terbangun di tengah air yang menggenangi kamarnya.”
Si Gelisah yang Jadi Potret Masyarakat
Komik strip Put On kemudian jadi pengisi tetap edisi Sabtu koran Sin Po. Dari segi kualitas gambar, komik ini cenderung biasa saja dan humornya pun kebanyakan berupa slapstick. Tapi, karena pembaca sangat menyukai kejenakaannya, komik ini pun bisa begitu lama bertahan, meski beberapa kali terhenti dan berpindah-pindah “rumah”.
Put On sempat berhenti terbit karena koran Sin Po diberedel saat permulaan pendudukan Jepang pada 1942. Empat tahun berselang, komik itu muncul di majalah Star Weekly. Put On sempat tayang kembali Sin Po sebelum koran itu, lagi-lagi, diberedel sekira 1963. Alhasil, Put On kembali "dipindahkan" ke Pantjawarna dan Warta Bhakti hingga 1965.
“Put On berhasil menghibur masyarakat Jakarta, sampai-sampai namanya digunakan untuk menjuluki orang gendut dan bodoh,” tulis Bonneff (hlm. 21).
Menurut sejarawan partikelir, JJ Rizal, selain karena kejenakaannya, Put On berhasil menggaet pembaca karena sifatnya yang membumi. Dalam banyak hal, Put On adalah cermin kehidupan keseharian orang Tionghoa Betawi dan juga orang Jakarta kebanyakan. Ia bahkan bicara dalam Melayu-Tionghoa dialek Betawi.
“Sebagai komik strip yang muncul selama lebih dari 30 tahun, Put On telah mengalami berbagai zaman. Mulai dari pergolakan nasionalisme, perang kemerdekaan, modernisme, dan konflik ideologi-ideologi besar. Put On adalah ‘pohon sejarah’ yang tumbuh dengan akar, dahan, ranting, dan daun yang kaya warna jejak sejarah,” tulis pendiri penerbitan Komunitas Bambu itu dalam “Lakon Menjadi Indonesia Put On” yang terbit di Kompas (1 Maret 2009).
Cerita-cerita dan unsur sosial-budaya dalam komik Put On berkembang sesuai kecenderungan zaman. Arti nama Put On, Si Gelisah, juga telah menunjukkan hal itu. Pasalnya, nama tersebut tepat benar menggambarkan atmosfer zaman saat ia lahir. Put On, lagi-lagi menurut JJ Rizal, lahir di saat masyarakat Indonesia—termasuk di dalamnya komunitas Tionghoa—sedang resah mencari identitas.
Koran Sin Po pada dekade 1930-an punya orientasi menganggap tanah Tiongkok sebagai tanah airnya yang semula. Put On di masa ini pun punya kecenderungan serupa. Sebagaimana ditunjukkan Myra Sidharta, Put On dan kawan-kawannya digambarkan bersulang sambil meneriakkan salam “menabik Chung Hwa Min Kuo Wan Sui” (Hidup Republik Rakyat China) dalam koran Sin Po edisi 25 Januari 1938 atau bertepatan dengan Tahun Baru Imlek.
Kecenderungan itu memudar manakala Put On terbit di bawah majalah mingguan Star Weekly. Ketika dipimpin oleh P.K. Ojong—yang merupakan salah satu penganjur asimilasi di kalangan komunitas Tionghoa—majalah ini punya kecenderungan nasionalis. Corak ideologis Put On turut menyesuaikan.
Kecenderungan itu tetap bertahan meski Put On terbit lagi di Sin Po hingga saat media itu diberedel. Ia sepenuhnya jadi warga urban Jakarta dengan segala problematika khasnya, mulai dari kesulitan ekonomi, menghadapi banjir tahunan, hingga saat menyambut peristiwa gegap gempita macam pesta olahraga Games of New Emerging Forces (GANEFO).
“Put On pun sangat identik sebagai tokoh yang patriotik, karena dia juga pernah menjadi sukarelawan untuk untuk pembebasan Irian Barat atau bahkan dia rela untuk mensukseskan program pemerintah dalam menanggulangi masalah pangan,” tulis Wahyu Wibisana dalam pengantarnya untuk bunga rampai komik Put On edisi Sin Po (2014).
Tapi barangkali pemikiran Kho Wan Gie tak serumit segala analisis itu. Selama di Sin Po atau pun ketika pindah ke Star Weekly, ia mengakui mendapat masukan dari pemimpin redaksinya. Namun, ia juga mengaku bahwa intensinya adalah menggambar komik dengan menyerap masalah yang terjadi waktu itu. Kho Wan Gie pun tak pernah ikut organisasi atau melibatkan diri dalam gerakan politik.
“Kho mengatakan dia hanya ingin menggambarkan Put On sebagai orang biasa yang menghadapi masalah kehidupan sehari-hari, apa pun pandangan politik yang dianut para bosnya,” tulis Myra Sidharta (hlm. 160).
Menjadi Sopoiku
Popularitas Put On ikut mengangkat genre humor di media-media Indonesia. Berbagai epigonnya pun dengan cepat bermunculan di beberapa media. Bonneff mencatat ada mingguan Star Magazine yang menerbitkan komik strip Si Tolol atau majalah Star Weekly yang mengembangkan tokoh lucu Oh Koen.
“Namun, tokoh-tokoh itu tidak pernah berhasil melebihi kepopuleran Put On,” tulis Bonneff(hlm. 21).
Masa jaya Put On harus berakhir tatkala gegeran G30S 1965. Harian Warta Bhakti, rumah terakhir komik tersebut, kena gulung rezim Orde Baru. Kho Wan Gie yang tak mengerti politik itu juga ikut kehilangan pekerjaan gara-gara situasi tersebut. Dan sejak itu, namanya perlahan tenggelam.
Menurut Arswendo, Kho Wan Gie dan Put On adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika Kho Wan Gie mulai berkarya lagi pada awal 1970-an, ia mencoba menghidupkan Put On dengan nama baru Si Pengky. Tak tanggung-tanggung, Si Pengky diterbitkan dalam tiga majalah berbeda: Varia Nada, Aneka, dan Ria Filem.
Gaya humor, gaya gambar, dan dialek Betawi Tionghoa masih sama belaka sebagaimana sebelumnya. Lain itu, Kho Wan Gie juga mengembangkan beberapa karakter dan cerita baru. Sebutlah: serial Nona Agogo, Jali Tokcer, atau Si Lemot.
“Komiknya yang lain, [...] hanyalah perpanjangan dari tokoh Put On. Tokohnya tetap itu. Celana komprang, konyol, tidak beruntung,” tulis Arswendo.
Ada pun yang berbeda dari Kho Wan Gie era ini adalah ia selalu mencantumkan nama pena Sopoiku di setiap karyanya. Barangkali itu caranya agar ia tidak disangkut-pautkan kembali dengan Warta Bhakti—yangberhaluan kiri—hingga merusak sumber nafkahnya.
Namun, apa pun itu, Kho Wan Gie konsisten jadi komikus hingga maut menghentikan jemarinya pada 4 Mei 1983.
“Tak ada tanda apa-apa. Tak ada keluhan. Tapi pagi itu ketika bangun dari tidurnya, Kho jatuh. Agaknya, sampai saat terakhirnya pun Kho tidak ingin menyusahkan siapa-siapa,” kenang Arswendo dalam artikel “Kho Wan Gie, Bapak Put On, Komik Pertama di Indonesia” yang terbit di Kompas (6 Mei 1983).
Editor: Eddward S Kennedy