tirto.id - Dalam khazanah komik Indonesia, genre silat adalah satu dari tiga besar genre yang paling laris. Booming komik silat bermula ketika Ganes TH menerbitkan Si Buta dari Gua Hantu pada 1967. Sejak itu genre silat jadi primadona, membawa fenomena “demam silat” ke jagat komik Indonesia.
Maka tengoklah data yang disajikan peneliti komik Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (1998: 51). Pada 1967 hanya ada 18 judul komik silat beredar di pasar. Kalah jauh dari komik roman remaja yang mencapai 53 judul. Tapi jumlah itu berbalik pada 1968—saat Si Buta mencapai seri ketiga. Ada 156 judul komik silat beredar di pasar, melambung jauh meninggalkan komik roman remaja yang hanya 43 judul. Tahun-tahun selanjutnya kuantitas judul komik silat selalu lebih unggul.
Banyak komikus kemudian mengikuti jejak Ganes. Namun, dari sekian banyak komikus, hanya beberapa yang bisa menyamai kepopuleran Ganes dan Si Buta. Di antaranya adalah Djair Warni dan Hans Jaladara. Nama terakhir ini terkenal berkat serial Panji Tengkorak.
Jalan pedang Panji Tengkorak pernah demikian masyhur dan jadi bagian dari budaya pop Indonesia di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Komik Panji Tengkorak—berikut sekuel-sekuelnya, seperti Si Walet Merah, Si Rase Terbang, hingga Panji Wilantara—memenuhi rak persewaan buku dan jadi buruan remaja-remaja yang keranjingan komik.
Tak kalah dari Si Buta, Panji Tengkorak pun dilayarperakkan pada 1971. Aktor Deddy Sutomo didapuk sebagai Panji Tengkorak kala itu. Komiknya pun digubah ulang oleh Hans dan terbit kembali pada 1984 dan 1996.
Akan tetapi, masa jaya itu berlalu dengan cepat memasuki 1980-an, ketika komik Jepang mulai membanjiri toko-toko buku Indonesia. Meski bukan musabab tunggal, kejayaan komik silat dipurnakan olehnya.
"Dengan munculnya Kungfu Boy, komik Indonesia mati thek sek [tiba-tiba]," kata Hans sebagaimana dikutip Kompas (7/11/1993).
Seperti Panji Tengkorak yang kelelahan oleh pertarungan tak berkesudahan, Hans pun pelan-pelan tersingkir dari dunia persilatan.
Keranjingan Menggambar
Hans Jaladara lahir di Kebumen pada 4 April 1947 dengan nama asli Liem Tjong Han. Ia kemudian berganti nama jadi Rianto Sukandi ketika keluarganya memutuskan jadi WNI sekira awal 1960-an. Semasa revolusi berkecamuk, keluarganya memutuskan pindah ke Jakarta.
Hans akrab dengan dunia fiksi sejak belia. Maklum ayahnya adalah guru bahasa Inggris. Dari sang ayah itulah ia berkenalan dengan kisah-kisah Shakespeare dan Alexandre Dumas. Tapi Hans tak mewujudkan imajinasinya melalui tulisan, melainkan gambar.
Hans belajar menggambar sejak sekolah dasar. Gambar-gambarnya pun biasa dibeli teman-temannya seharga seringgit. Ia lalu mulai membuat komik kala SMP. Hans sendiri mengenang, di masa itu ia menggambar sampai taraf keranjingan. Ia menggambar di sembarang buku dan kertas kosong.
"Saya sampai kena timpuk guru karena di kelas kerjanya menggambar melulu,” tutur Hans sebagaimana dikutip Kompas (28/4/2002).
Ia terus mengasah kemampuan bercerita dan menggambar hingga SMA. Seno Gumira Ajidarma dalam Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan (2011) mencatat Hans banyak menggali referensi dari karya-karya komikus yang sudah tenar dan biasa terbit di media. Ia rajin mengikuti serial Sie Djin Koei karya Siaw Tik Kwie dan Tarzan anggitan Burn Hoggart yang terbit di majalah mingguan Star Weekly. Tak ketinggalan pula karya R.A. Kosasih dan Taguan Hardjo.
Di masa akhir SMA itulah Hans menyeriusi hobinya. Ia memulai langkah sebagai komikus profesional pada 1966 dengan komik drama Hanya Kemarin yang diilhami film Hollywood Only Yesterday.
“Honor pertamanya diserahkan semua kepada orang tuanya. Selanjutnya, Hans-lah yang menghidupi keluarga yang menghidupi keluarga sampai ia menikah,” tulis Seno (hlm. 254).
Sebagai komikus ia menggunakan nama Hans, alih-alih Rianto Sukandi. Ia lalu menambahkan nama baru “Jaladara” yang dicuplik dari nama seorang tokoh komik anggitan komikus S. Ardisoma.
Selepas SMA, Hans mempertajam kemampuan menggambarnya dengan masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Nasional (STSRN) Jakarta. Tapi karena waktunya lebih banyak habis untuk berasyik-masyuk dengan komik, ia pun memilih hengkang setahun kemudian.
Tak Ingin Jadi Epigon
Bolehlah dikata, Hans Jaladara menganggit komik silat karena mengikut musim mekarnya genre itu. Penerbitnya lah yang mengarahkannya alih haluan. Sebagai komikus yang masih hijau, ia tak bisa ambil langkah lain kecuali ikut saja.
"Saya diminta membuat komik seperti Jan, Budianta. Tapi saya tidak mau meniru. Tapi ada yang mengatakan komik saya berwajah Jan," kata Hans.
Sebagai kawitan, Hans membikin Drama di Gunung Sanggabuana dalam satu jilid tamat. Barulah kemudian ia menggubah Panji Tengkorak pada 1968.
Sebagaimana diakuinya, ia tak ingin jadi epigon Ganes TH dengan Si Butanya. Karena itulah desain karakter Panji Tengkorak ia bikin sebagai antitesis Si Buta. Sementara Si Buta berambut panjang awut-awutan, Panji Tengkoraknya berambut pendek; jika Si Buta berpakaian rapi dari kulit ular, maka sang Panji berbaju compang-camping.
Mulanya Hans hanya mempersiapkan Panji Tengkorak untuk satu jilid. Ternyata penerimaan pasar begitu antusias. Jadilah serial ini baru tamat setelah lima jilid.
Pembeda lain karya Hans dengan komik silat lain adalah kuatnya drama dalam plotnya. Komik silat masa itu jamak menggunakan pembalasan dendam sebagai penggerak cerita dan motivasi para tokohnya. Hans mengambil jalan lain dengan memasukkan unsur drama, terutama kemelut cinta, dalam karya-karyanya.
Sebagaimana diamati Arswendo Atmowiloto dalam “Menggambar Kue Menghilangkan Lapar” yang terbit di Kompas (5/12/1981), empasis Hans adalah asmara tak sampai, disatroni lawan jahat, atau terpaksa hidup dengan bukan pilihannya.
Simaklah perjalanan hidup Panji Tengkorak. Mulanya ia dibikin kedanan gara-gara istrinya terbunuh. Sampai-sampai suatu kali dibongkarnya kembali kuburan si istri yang bernama Murni itu. Bukan lagi wajah rupawan yang ia dapati kemudian, tapi tengkorak yang demikian buruknya.
Tapi akhirnya kejadian itu memberinya pencerahan. Wajah tengkorak itulah sebenarnya wajah yang hakiki. Dari itulah kemudian ia memakai topeng tengkorak dan mengembara tak tentu arah. Toh, topeng itu tak mengubah kenyataan bahwa wajahnya memang tampan sejak lahir.
“Masalahnya, sekali para perempuan melihat wajahnya, mereka semua jatuh cinta. Urusan cinta ini membuat kehidupannya betul-betul pahit,” tulis Seno (hlm. 11).
Bagi Seno, ini adalah satu dari sekian paradoks yang melingkupi hidup si Panji Tengkorak. Dalam pengembaraannya, Panji Tengkorak bertemu dengan banyak perempuan dan semuanya jatuh cinta kepadanya. Tapi, di akhir cerita ia justru harus kawin dengan perempuan yang sama sekali tak ia kehendaki. Ia bahkan terikat sumpah wajib membawa jenazah istrinya ke mana pun pergi.
Tak hanya sekali Hans menganggit kisah pendekar getir macam itu. Tengoklah komik Pedang Naga Berlian (1979) sebagai tamsil lain. Alkisah, adalah seorang pendekar bernama Kido yang hendak membalas dendam kepada Indrasakti gara-gara orang tuanya dibunuh. Di tengah-tengah upaya itu, pembaca dibikin geregetan karena Kido lalu jatuh hati kepada Seruni yang tak lain adalah anak Indrasakti. Drama jadi kian runyam manakala terkuak fakta bahwa Seruni ternyata adalah saudara kandung Kido sendiri yang lama terpisah oleh suatu sebab.
Pendekar-pendekar Hans jelas beda dengan Si Buta. Sementara Si Buta mampu menuntut tuntas dendamnya dan move on dari cinta masa lalunya kala berkelana, tokoh-tokoh Hans membawa luka hati itu ke mana pun kaki melangkah.
Atas pencapaian ini Arswendo memuji Hans, “Ditopang dengan ketekunan dan kerapian goresannya tidak menjadi sembrono seperti banyak jenis silat yang lain Hans pantas berada dalam daftar komikus terkemuka seperti Jan Mintaraga, Ganes TH, maupun Teguh Santosa. Ini juga membuktikan bahwa penyamarataan mutu komik secara keseluruhan sering meleset. Ternyata masih mungkin menemukan butiran berharga dari lautan produk yang kira-kira sejenis.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan