tirto.id - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, langkah polisi untuk menangani sejumlah kasus anak yang secara hukum di bawah 18 tahun, telah melanggar sejumlah kebijakan.
"Tanpa adanya penyiksaan, apa yang sudah dilakukan polisi telah melanggar pengadilan pidana anak. Karena, pada dasarnya anak tidak bisa ditahan. Dia hanya bisa ditahan apabila tidak ada wali yang menjamin," tegas Asfinawati kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Rabu (24/7/2019).
"Persoalannya, polisi menutup akses orang-orang yang ditahan. Bagaimana ia bisa menghubungi orang tuanya, atau orang tua menghubungi anak, kalau aksesnya ditutup," lanjutnya.
Terlebih, kata Asfinawati, saat polisi melakukan tindak penyiksaan terhadap anak-anak pada 21-22 Mei lalu.
"Jadi anak memang tidak bisa diberlakukan secara sama [dengan orang dewasa]. Nah, apalagi ada penyiksaan. Orang dewasa saja tidak boleh disiksa, apalagi anak begitu. Dan ini pelanggaran HAM yang serius," tegas Asfinawati.
Dengan itu, ujar dia, dugaan terhadap polisi dalam kasus ini merupakan pelanggaran pidana yang perlu diselesaikan di jalur hukum, bukan sebatas masalah etis yang diselesaikan di internal kepolisian.
"Kalau ada tindak pidana yang dilakukan kepolisian, di luar kapasitasnya sebagai polisi, terlebih saat dia sedang menjalankan tugasnya, seharusnya menjadi tindak pidana," tegas Asfinawati.
"Untuk polisi seharusnya lebih berat, karena dia bisa menahan orang. Kalau kita, kan, menahan orang, dianggap menculik. Nah ketika ditahan itulah, data kami menunjukkan adanya kerentanan-kerentanan untuk disiksa. Enggak ada yang tahu, enggak ada yang bisa lihat, kan," sambungnya.
Pernyataan Asfinawati tersebut menanggapi laporan Tirto terkait dugaan kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap sejumlah anak selepas peristiwa 21-22 Mei lalu.
Kolaborasi Tirto, CNNIndonesia TV, dan Jaring.id mencocokkan pengakuan anak-anak itu dengan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Dua lembaga ini melakukan pemeriksaan kesehatan dan wawancara riwayat kesehatan atau anamnesis terhadap 41 anak di Panti Handayani pada 14 Juni 2019.
Hasilnya, anak-anak tersebut diduga kuat mengalami kekerasan oleh polisi. Ada enam anak menderita nyeri di dada, punggung, dan kepala, dua anak disundut bara rokok, satu anak mengalami pendarahan di hidung, dan satu anak kepalanya dipukul staples besar.
Ketua Satgas Perlindungan Anak dari IDAI Eva Devita Harmoniati, seorang dokter spesialis anak menjelaskan, nyaris seluruh anak-anak ini terkena pukulan benda tumpul. Dari kepala, punggung, perut, dada, hingga kaki.
Dugaan terkuat, ujar Eva, kepada kolaborasi, luka itu diakibatkan hantaman
"Sepatu, tongkat polisi, dan ujung laras senapan,” ucapnya.
Menurut Eva, penanganan yang seharusnya dilakukan oleh otoritas berwenang adalah membawa anak-anak ini ke rumah sakit untuk visum, bukan menghalang-halangi akses medis dengan dalih menghambat proses pemidanaan.
"Anak-anak itu juga perlu pendampingan psikologis secara intensif hingga dikembalikan ke orangtuanya. Karena kita tidak tahu trauma psikis itu biasanya muncul belakangan, tidak pada saat-saat awal," jelas Eva.
Komisioner bidang kesehatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty menyebutkan, sebagian anak -anak juga mengalami trauma dengan sosok polisi dan senjata.
Dari pendataan terhadap 58 anak yang ditangkap polisi, menurut hasil evaluasi antara KPAI, Polri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Sosial pada akhir Juni lalu, sekitar 44 anak pergi ke area aksi Bawaslu apakah terlibat atau sekadar menonton tanpa diketahui oleh orangtuanya. Sekitar 35 anak putus sekolah.
"Anak-anak itu sebagian didorong oleh rasa ingin tahu, mendatangi wilayah kericuhan, dipengaruhi suasana emosional yang dalam usia anak adalah tahap mencari jati diri yang lazim," tukas Sitti.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Dhita Koesno