tirto.id - Jangan sembarang mengambil selfie di ruang publik, terutama di museum yang memiliki ruang sempit dan barang pameran rapuh. Ini pelajaran penting, terutama jika Anda tidak ingin menghancurkan karya rupa senilai $784.845.
Salah satu karya seni yang hancur karena perilaku tidak bertanggung jawab pengunjung saat mengambil selfie adalah instalasi "Infinity Mirrors" karya Yayoi Kusama. Salah satu karya pentingnya, labu dengan polkadot, hancur dan selama beberapa saat eksibisi mesti dihentikan.
Karya tersebut merupakan bagian dari seni instalasi All the Eternal Love I Have. Enam kaca berhadapan menghadirkan imaji tak terbatas tentang ruang, sementara di sela-sela kaca ada beberapa labu kuning bertotol hitam yang menjadi ciri khas Yayoi Kusama.
Harga karya keramik Yayoi Kusama pada 2015 terjual dengan harga $780 ribu. Juru bicara Hirshhorn Museum yang menjadi tempat penyelenggaraan pameran karya Yayoi, menyebut karya tersebut merupakan bagian dari instalasi yang lebih besar dan berbeda dengan karya yang terjual mahal. Meski demikian, kerusakan karya seni ini tak bisa ditolerir.
Baca juga: Arsip Seni Rupa dan Keabadian Catalogue Raisonne
Yayoi Kusama adalah seniman perempuan yang lahir 22 Maret, 1929 (88 tahun), di Matsumoto, Nagano, Jepang. Ia pelukis, pematung, pekerja seni instalasi, pelaku performance art, penulis fiksi, pembuat film, dan perancang adibusana.
Sebelum menjadi seniman yang terasosiasi dengan polkadot, Yayoi Kusama pada 1940an membuat karya seni kaligrafi tradisional Jepang yang disebut Nihonga. Ia dikenal sebagai seniman yang punya pengaruh dalam pop art, minimalisme, feminist art, dan enviromental art.
Nathasa Gabriela Tontey, seniman Indonesia, mengatakan yang membuat Yayoi Kusama penting dalam kancah seni rupa modern. Kusama disebut Tontey sebagai seniman "'fluid' dan tidak terjebak dengan medium." Ia berkiprah di fashion, lukis, performance, furnitur, instalasi, puisi, dan film. Kusama tak bisa dikelompokkan dalam satu label pakem dan tetap. Ia selalu mencari bentuk, tantangan, dan juga tema baru untuk dieksplorasi.
“Kalau saya tidak salah ingat, dalam autobiografinya Infinity Nets beliau pernah menyatakan bahwa Ia menghindari pameran kelompok karena tidak suka dengan institusi dan kekuasaan,” kata Tontey.
Ia sangat gigih dalam membuat karya dan serius menggarap konsep serta temanya. Saat ia melakukan migrasi ke Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II, ia berani bicara seksualitas melalui karya-karyanya. Ia, menurut Tontey, mengalami represi ganda: sebagai seorang perempuan dan sebagai orang Jepang yang dianggap bertanggung jawab atas perang dunia.
Dalam tradisi Barat, perempuan Asia kerap dianggap sebagai pihak yang patuh. Ini yang menurut Tontey membuat Kusama sangat istimewa. Saat Yayoi Kusama pindah ke Amerika Serikat pada 1957, ia mengerjai pemerintah Jepang dengan mengaku sedang mengerjakan pameran di Amerika Serikat.
Lantas saat mendapat izin, ia membawa satu koper berisi 60 stel kimono dan 2.000 lukisannya. Tindakan ini tak akan pernah dibayangkan bisa dilakukan oleh seorang perempuan Jepang saat itu.
Baca juga: Mengapa Orang-Orang Kaya di Asia Membeli Lukisan Mahal?
“Bahkan sampai sekarang pun perempuan Jepang mau mengungkapkan ekspresi atas makanan enak pun sebaiknya menggunakan kata 'Oishii' karena 'Ume' dianggap kasar. Entah kenapa, padahal artinya sama saja,” kata Tontey.
Setelah sampai di Amerika Serikat, Kusama mampir di Seattle sebelum pindah ke New York. Saat itu, Kusama masih belum dikenal luas sebagai seniman lukisan polkadot. Ia malah banyak melakukan performance art yang disebut sebagai “happening,” lema yang diperkenalkan oleh seniman Allan Kaprow.
Happening secara sederhana adalah pertunjukan seni secara spontan yang banyak terjadi di New York pada dekade 1950an dan 1960an. Salah satu pertunjukan penting yang dilakukan Yayoi adalah Grand Orgy to Awaken the Dead yang dilakukan di MoMA pada 1969, Kusama menggambar polkadot seniman telanjang di kolam halaman MoMA sebagai protes estetik terhadap perang Vietnam.
Sikap anti-perang Kusama tidak hanya berhenti pada performance art, tetapi juga protes langsung dan usaha lainnya. Pada 11 November 1968, Kusama mengirim surat pada presiden Richard Nixon memintanya menghentikan perang Vietnam. Kita tak bisa menghentikan kekerasan dengan kekerasan yang baru tulisanya. Ia menganggap manusia serupa titik polkadot: bersama dengan manusia lain, kita seharusnya jadi satu di dunia yang merupakan surga.
Di tahun yang sama Kusama juga mengejutkan publik New York saat ia menyebarkan pamflet dari Church of Self-Obliteration yang ia dirikan. Ia bilang akan menyelenggarakan pernikahan sesama jenis di Manhattan. Tindakan ini merupakan salah satu dari banyak aksi Yayoi yang secara terbuka membicarakan isu LGBT.
Menurut Tontey, happening yang dilakukan oleh Yayoi selalu melibatkan pemuda-pemudi hippies di bawah naungan Kusama Fashion Co., Ltd dan membuat publikasi bernama Kusama Orgy.
Baca juga: Jalan Hidup Pelukis Jalanan Jean-Michel Basquiat
Momen penting yang membuat Yayoi terkenal adalah saat ia dengan jenius membuat happening Narcissus Garden di Venice Biennale 1966 tanpa diundang. Karya ini menghadirkan 1.500 bola plastik berwarna perak yang disusun secara ketat di halaman paviliun Italia.
Karya ini berusaha memberikan gambaran reflektif terhadap setiap pengunjung, seniman, dan arsitek pameran tersebut. Saat pembukaan biennale ini, Yayoi Kusama memakai kimono emas dan berdiri di depan instalasinya, menjual bola perak itu kepada tiap pengunjung seharga dua dolar. Sembari mendistribusikan pamflet dengan pengantar dari Herbert Read yang memuji instalasinya.
Kusama dengan sadar dan terbuka menyadari yang dilakukannya menarik perhatian dari pengunjung. Ia ingin didengar, dilihat, dan diketahui. “Dia sangat ramai dibicarakan atau bahasa sekarangnya adalah viral. Dia hanya berkata bahwa sesuai zamannya, media massa bisa digunakan sebagai alat seperti cat dan kuas sehingga bisa mencapai audiens yang lebih luas,” kata Tontey.
Donald Judd, seniman Amerika Serikat yang dikenal dalam gerakan minimalisme, menyebut karya-karya Kusama rumit sekaligus sederhana. Ia mendobrak definisi pakem estetik seni dengan menghadirkan paradoks. Pada 1959, Judd memberi catatan soal lukisan Yayoi yang disebutnya orisinal dan konsepnya melampaui zaman.
”Kemampuan ini menghasilkan sebuah analogi sesuatu yang besar, rapuh, tetapi garang,” tulisnya.
Baca juga: Lukisan-lukisan Malang yang Hilang Dicuri
Di banyak kesempatan, Yayoi menyebut karya seninya merupakan representasi kekerasan di masa kecil. Ibunya adalah sosok yang keras sementara ayahnya jarang ada di rumah. Titik-titik dalam karyanya merupakan imaji, seperti gambaran halusinasi yang ia dapat saat kecil.
Jaring, titik, dan bunga-bunga merupakan citra masa kecil yang ia dapat saat mengalami kekerasan. Lantas saat dewasa, ia memilih menerjemahkan rasa takut dan halusinasinya sebagai karya seni. Ia kemudian dikenal luas karena pengulangan titik, jaringan tak berbatas, dari benda-benda dengan bentuk mengerikan seperti falus.
Sekarang, karya Kusama kerap dianggap hip. "Mungkin untuk sekarang, orang bilang 'Yah, baru tau Yayoi?'; 'Yah, hipster banget'; atau 'instagram material banget'," kata Tontey, merujuk respons orang atas karya Kusama. Namun, lebih dari itu, Tontey melihat karya Kusama mampu menyentuh apresiator pemula.
"Karya-karyanya mudah diterima oleh audiens yang lebih muda, [yang baru berkenalan untuk] pertama kali dengan seni."
Pada satu kesempatan, ia memberi stiker bulat warna-warni ke pada anak anak, lantas mengajak mereka masuk ke dalam ruangan yang dicat putih dengan perabotan berwarna senada. Ia membiarkan anak-anak itu untuk menempelkan stiker itu di manapun mereka mau. Lalu, ruangan yang awalnya putih bersih lantas menjadi dipenuhi oleh lingkaran warna-warni. Ini adalah ekspresi estetis yang menggambarkan bagaimana kepala Yayoi Kusama bekerja.
Baca juga: Max Beckmann, Pelukis Lukisan Termahal Ini Dulu Dibenci NAZI
Tidak hanya membuat karya rupa, Kusama juga menulis novel. Beberapa karyanya adalah Manhattan Suicide Addict, The Hustler's Grotto of Christopher Street, The Burning of St. Mark's Church, Between Heaven and Earth, Woodstock Phallus Cutter, Arching Chandelier, Double Suicide at Sakuragazuka, dan Angles in Cape Cod.
Pada 2012, Kusama diundang oleh Louis Vuitton untuk mendesain interior beberapa outlet milik brand ini di beberapa pusat pertokoan mewah. Ia memang tak pernah jauh dari dunia fashion. Pada 1968, ia membuat Kusama Fashion Company Ltd. yang menjual pakaian avant garde untuk beberapa musim di rangkaian toko Bloomingdale, dengan nama "Kusama Corner."
“Dia bisa menggunakan retail sebagai medium. Polkadotnya bisa relevan di hampir semua tempat, kolaborasinya dengan Louis Vuitton, Zine bawah tanah, sampai benda sehari-hari kawaii culture yang murah, yaitu washi tape atau selotip Jepang,” katanya Tontey.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani