tirto.id - Penulis kontributor Diajeng, Sylviana Hamdani, berbagi pengamatannya saat mengunjungi pameran seni rupa ‘Melik Nggendong Lali’ oleh seniman serba bisa Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. Simak keseruan pamerannya di bawah ini!
Wirid biasanya dilafalkan secara berulang kali untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menghadirkan kedamaian jiwa.
Pada waktu sama, wirid juga dapat bertransformasi ketika diolah oleh tangan-tangan kreatif seniman. Setiap rangkaiannya bahkan bisa menjelma menjadi karya seni bernilai tinggi.
Selama dua tahun terakhir, aktor dan seniman kenamaan Butet Kartaredjasa rutin menjalani laku spiritual yang disebutnya sebagai “wirid visual”.
Setiap pagi, tanpa terkecuali, Butet menggambar sketsa di atas kertas-kertas A3. Kemudian, pada malam harinya, ia mengisi gambar-gambar tersebut dengan tulisan tangan yang rapi dan bersambung sampai menyerupai garis-garis halus dan arsiran.
Apa yang sebenarnya ditulis seniman nyeleneh ini?
Pada banyak sketsa, pria berusia 62 tahun kelahiran Yogyakarta ini menulis nama lengkapnya secara berulang untuk mengisi figur-figur manusia dan binatang yang dilukisnya. Di beberapa sketsa lain, Butet juga menorehkan repetisi kata “Nusantara”.
Perbedaan perspektif yang timbul saat melihat karya-karya Butet dari jauh dan dekat benar-benar memperkaya nilai artistiknya.
Saat ini, ratusan karya seni yang dihasilkan dari praktik wirid visual Butet dipajang di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.
“Ini cara saya beribadah,” kata Butet menerangkan saat konferensi pers di Galeri Nasional Indonesia pada Jumat, 26 April 2024.
Praktik menulis nama secara berulang ini diperkenalkan oleh pakar metafisika asal Yogyakarta, Arkand Bodhana Zeshaprajna (1971-2020), kepada Butet di medio tahun 2014.
Mentor spiritual ini juga merekomendasikan agar sang seniman kembali menggunakan nama yang diberikan oleh orang tuanya saat lahir, yaitu Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa, karena dinilai lebih berkah dari segi perhitungan metafisika.
Ritual ini diyakini untuk dilaksanakan setiap hari—tanpa jeda—demi menggaungkan dan mewujudkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalam nama tersebut.
“[Ritual menulis nama] itu nggak boleh putus,” jelas Hamid Basyaib, penulis dan sahabat baik sang seniman, “Kan bosan toh menulis hal yang sama terus. Akhirnya dibuat menjadi segala macam (benda seni) oleh Butet.”
“Itulah yang disebut creativity,” tegas Hamid lagi.
Sayangnya, Butet belum dapat konsisten menjalankan ritual ini. Ia baru menekuninya lagi saat berada dalam masa penyembuhan operasi saraf tulang belakang sekitar dua tahun lalu.
“Ya, saya sudah dapat mukjizat dari sakit saya,” Butet menyatakan. “Saya dikasih sehat. Saya akan mempertahankan dan merawat kesehatan saya dengan menulis wirid (visual) lagi. Tidak hanya Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa sebagai personal, tapi saya juga ingin mewiridi negeri saya.”
Sekarang, praktik spiritual yang digeluti oleh Butet secara rutin sejak Maret 2022 ini telah menghasilkan lebih dari 500 karya seni dalam berbagai medium.
Kurator pameran ini, yang juga seniman sekaligus dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) Asmudjo J. Irianto, kemudian memilih sekitar 350 karya untuk dipajang di Galeri Nasional Indonesia.
“Kami putuskan untuk menampilkan sebanyak-banyaknya agar efek repetisi dari spiritnya itu memiliki dampak kosmologi,” terang Asmudjo.
Terkait dengan pameran ini, tampilan depan Galeri Nasional Indonesia diubah menjadi sedikit misterius dengan selembar kain hitam panjang yang terbentang di antara dua pilar utamanya sehingga menghalangi pandangan menuju pintu masuk.
Di tengah kain hitam tersebut, terpampang siluet Petruk—tokoh Punakawan yang terkenal cerdas dan jenaka—dalam warna keemasan. Kalimat berbahasa Jawa ‘Melik Nggendong Lali’ terpampang tepat di bawahnya.
Semboyan ini juga merupakan tema utama dari pameran ini.
“‘Melik Nggendong Lali’ ini biasanya tertulis dalam lukisan-lukisan kaca tradisional Jawa di Jawa Tengah,” jelas Butet. “Artinya, kepemilikan sering membuat orang lupa. Ini warning pada semua orang supaya eling (dan) ingat asal mula keberasalannya (dan memegang) nilai hidup yang bersandar pada moralitas dan etika.”
Saat memasuki ruang pameran, pengunjung disambut dengan patung resin Petruk setinggi 2,2 meter yang didirikan di depan triptych merah-putih bertuliskan ‘Melik Nggendong Lali’.
Patung berwajah keemasan ini terlihat congkak—kepalanya mendongak ke arah langit-langit. Dadanya dibusungkan dan kedua tangan bertolak pinggang. Busana yang dikenakannya menyerupai songkok raja-raja Jawa.
Secara gamblang, sang seniman mengatakan bahwa karya ini terinspirasi dari situasi Indonesia hari ini.
“Situasi sosial politik mutakhir Indonesia itu mengingatkan saya pada (lakon wayang) ‘Petruk Dadi Ratu’ (‘Petruk Menjadi Raja’),” tutur Butet.
Pada tembok di samping instalasi ini terpajang seratus lembar kertas A3 berisi sketsa-sketsa Butet yang diberi judul ‘Arsip-Arsip Doa: Wirid Visual’ (2023-2024).
Salah satunya adalah gambar yang juga terpampang pada kain hitam yang terbentang di pilar depan Galeri Nasional, yaitu siluet Petruk tampak samping dengan sumbat besar pada telinganya. Sketsa ikonik ini diberi judul ‘Tuli Permanen’ (2024).
“Petruk itu representasi wong cilik yang mendapat tahta—disuruh turun rewel, diingatkan nggak mau dengerin, berarti tuli,” lanjut Butet sambil terkekeh.
Ruang-ruang pamer di Gedung A ditata menyerupai interior rumah dengan karpet-karpet lusuh, bangku berukir, dan kursi-kursi jati.
“Kita nggak ingin (ruang-ruang pamer Galeri Nasional) ini menjadi seperti ruang museum,” ungkap kurator pameran, Asmudjo.
“Kita kembalikan lagi seperti di dalam rumah Mas Butet atau rumah siapa pun. Jadi banyak kursi-kursi. Nah itu (dilakukan) with (a) purpose. Kita ingin semua ruang pamer itu menjadi kontemplatif.”
Selain sketsa dan lukisan dengan repetisi nama lengkap Butet dan Nusantara, pengunjung pameran juga dapat menikmati lukisan di atas lempeng-lempeng keramik, pahatan metal, dan kain yang dibordir dengan tulisan tangannya.
Banyak orang lantas mempertanyakan alasan Butet—yang selama ini lekat citranya sebagai aktor dan monolog handal—menyeberang ke ranah seni rupa.
“Saya itu manusia yang merdeka, semerdeka-merdekanya mengartikulasikan pikiran dan dasar kreatif,” tegas Butet.
“Bagi saya itu tidak ada batas teritori ruang-ruang seni,” lanjutnya. “Tidak ada. Saya bisa menyeberang kemana-mana. Suka-suka aku.”
Pameran tunggal Butet di Galeri Nasional ini bukan kali yang pertama. Pada 2017, seniman serba bisa ini memajang ratusan karya keramiknya di gedung yang sama.
“Kita melihat karya-karya beliau dari pameran yang sebelumnya dan sekarang banyak sekali progress (Butet) sebagai seniman,” kata Teguh Margono mewakili Indonesian Heritage Agency (IHA).
Pameran ini berlangsung hingga tanggal 25 Mei 2024 dan terbuka untuk umum dengan melakukan registrasi daring melalui tautan berikut.
“Semoga repetisi harapan-harapan baik dalam karya Mas Butet ini dirasakan betul, menubuh dan bertransformasi pada audience,” pungkas Asmudjo, sang kurator pameran.
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Sekar Kinasih