tirto.id -
Untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada investor, kerja sama lintas instansi ditempuh oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Kamis pekan lalu (19/12/2019), dua lembaga itu meneken nota kesepahaman (MoU) yang isinya, antara lain, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Investasi. Tim itu nantinya akan melakukan monitoring peraturan atau hambatan terhadap investasi hingga pengawalan investor dari mulai rencana sampai dengan realisasi.
Kepala BKPM Bahlil Lahaladalia mengatakan, selama ini investor di daerah kerap mengeluh tak mendapatkan kepastian hukum bahkan hingga dikriminalisasi. Saat kerja sama itu berjalan, ia berharap tak ada lagi kasus "kriminalisasi kepada investor dan pelaku usaha".
"Kami ingin investor terlindungi dan hak-hak dia secara hukum dijamin oleh negara, sekaligus ada kepastian hukum bagi investor," ujarnya usai penandatangan nota kesepahaman tersebut.
Selama ini, masalah kriminalisasi terhadap para pelaku usaha dianggap sebagai salah satu hambatan investasi. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik Rachbini mengatakan, kekhawatiran pelaku usaha berkaitan dengan banyaknya perkara perdata yang pada akhirnya "dibelokkan" ke ranah pidana.
Dalam hal ini, pelaku usaha dianggap sebagai kriminal padahal kesalahannya bersifat administratif. “Hukum ini kadang berlebihan. Seharusnya proporsional. Ini banyak sekali hukum perdata itu banyak sekali kesalahan administrasi itu di hukum sebagai kriminal,” kata Didik saat dihubungi Tirto, akhir pekan lalu (23/12/2019).
Kasus yang membelit Eks Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, kata Didiek, adalah contoh bagaimana kebijakan perusahaan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum karena adanya kerugian.
Karen didakwa merugikan negara sebesar Rp568,06 miliar atas investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia, pada 2009.
Jika sudah begini, investor bisa ragu untuk merealisasikan penanaman modal mereka di daerah Padahal, dalam konteks bisnis, sangat wajar jika sebuah keputusan korporasi memiliki konsekuensi merugi atau gagal.
“Mencuri proyek kriminal, proyeknya gagal ya mungkin karena bencana atau mungkin karena proyeknya berhasil, itu bukan kriminal. Seperti Karen di Pertamina. Saya tidak percaya dia itu maling. Tapi itu dikriminalisasi oleh hukum,” terangnya.
Lantaran itu, menurut Didiek, wajar jika pemerintah menggandeng Kejagung. Apalagi, BKPM perlu mengejar target Rp708 triliun investasi yang belum terealisasi.
Mengulang Kesalahan TP4
Meski demikian, menurut Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, Satgas Investasi hasil kerja sama BKPM dan Kejaksaan berpotensi mengulang kesalahan Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang telah dibubarkan.
Sepanjang 2015 hingga 2019, tim bentukan mantan Jaksa Agung HM Prasetyo itu menganggap penegakan hukum sebagai hambatan penyerapan anggaran dan percepatan pembangunan. Namun, pada praktiknya, kinerja TP4 jauh dari ekspektasi.
Alih-alih memuluskan rencana pembangunan strategis, TP4 justru cuma jadi "stempel" proyek aman. Padahal, penegakan hukum adalah konsekuensi dari hukum yang berlaku dan karena itu tak boleh ada keistimewaan terhadap investor.
Lagi pula, menurutnya, masalah utama dalam kriminalisasi investor adalah aparat penegak hukum yang nakal.
“Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan pebisnis, bahwa ada duit siluman yang sering diminta oleh aparat penegak hukum bawah maupun atas, atau sebaliknya disediakan oleh si pebisnis atau investor,” sebut Haris.
Apa yang disampaikan Haris memang bukan pepesan kosong. Ferdinand T Andi Lolo,bekas Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, mengaku pernah mendapat aduan dari seorang kepala daerah soal kelakuan kepala Kejaksaan yang memeras demi mendapatkan proyek.
Sehingga penyelesaian yang perlu dilakukan adalah memberantas oknum-oknum penegak hukum nakal ini. Bukan seolah memberi karpet merah pada investor.
Ia khawatir, diteruskannya perjanjian ini akan berdampak pada persaingan usaha yang tak sehat. Pasalnya, ia melihat perjanjian ini hanya menguntungkan investor besar dan cenderung merugikan pengusaha kecil.
“Mereka (oknum penegak hukum) menggunakan alasan hukum padahal memeras, mereka bilang penegakan hukum padahal intimidasi dengan sarana hukum. Ini yang disebut kejahatan dalam penegakan hukum. Hal ini tidak bisa diselesaikan lewat membuat kerja sama antar instansi penegak hukum dengan sektor bisnis,” tegasnya.
Board of Director Lokataru Foundation, Nurkholis Hidayat, berpandangan apa yang telah dilakukan BKPM dan Kejagung bisa jadi langkah yang tepat untuk menghindari kesalahan tafsir hukum yang dapat mengakibatkan pengusaha terjerat delik pidana.
Tapi, kata dia, kebijakan yang dihasilkan dari kerja sama ini tak bisa dijadikan senjata tunggal dalam rangka memperlancar investasi. Bila tak diawasi dengan baik, langkah ini malah bisa jadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Terlebih, hingga saat ini proyek TP4 belum pernah dievaluasi secara total dan masih meninggalkan banyak masalah.
“Alih-alih mencegah jaksa nakal memeras pengusaha, MoU bisa membuat hukum tak berfungsi dan aparat penegak hukum kehilangan independensinya ketika misal harus menegakkan hukum atas investor yang benar-benar nakal yang misal main suap dan koruptif, anti lingkungan, perburuhan dan HAM,” pungkasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana