tirto.id - Pidato Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto soal "Tampang Boyolali" tengah ramai dibahas warganet. Dalam acara peresmian Kantor Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi di Boyolali, Jawa Tengah, Prabowo berbicara soal kemiskinan di Indonesia dan menyinggung "Tampang Boyolali".
Dalam video yang dilansir akun YouTube Gerindra TV pada Selasa (30/10) tersebut, Prabowo melontarkan pernyataan bahwa tak satupun hotel mewah di Jakarta pernah dikunjungi oleh orang Boyolali. Orang Boyolali, kata Prabowo, bisa saja diusir jika memasuki hotel-hotel itu.
"Saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut, kalo kalian masuk kalian pasti akan diusir, karena bukan tampang orang kaya. Tampang kalian ya tampang Boyolali ini," kata Prabowo disambut gelak tawa para hadirin.
Dari Jenderal ke Dokter ke Aktivis Legenda
Widodo Adi Sutjipto bukan anggota Angkatan Udara, meski namanya mirip dengan pahlawan Angkatan Udara Adisucipto. Ia juga tak berdinas di Angkatan Darat. Setelah lulus dari Akademi Angkatan Laut di Surabaya (1968), laki-laki kelahiran Boyolali, 1 Agustus 1944 ini berkarier di Angkatan Laut. Ia berhasil melampaui karier para perwira yang bersinar pada masa Orde Baru dengan duduk di kursi Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Widodo adalah orang non-Angkatan Darat pertama yang menjadi orang nomor satu di TNI. Yang lebih penting lagi, ia orang Boyolali.
Selain duduk di pos Panglima TNI pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Widodo AS pernah menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, dia menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam), dari 2004 hingga 2009, dan Menteri Dalam Negeri ad interim pada 2007.
Jenderal kelahiran Boyolali tak cuma Widodo. Jenderal Mulyono, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat ini, lahir di Boyolali pada 12 Januari 1961. Lulusan Akabri yang berdinas di TNI sejak 1983 ini pernah menjadi Komandan Batalyon 143 Tri Wira Eka Jaya di Lampung, yang masuk dalam area Kodam II Sriwijaya. Mulyono kemudian lebih sering memimpin komando teritorial, seperti Kodim Samarinda, Korem Sumatra Barat dan Kodam Jakarta Raya (2014). Sebelum jadi KSAD, Mulyono sempat menjabat Panglima Kostrad (Pangkostrad).
Tak semua mantan Pangkostrad bisa menjadi KSAD, apalagi Panglima TNI. Dua posisi itu tak hanya membutuhkan keberanian dan kecakapan akademis, tapi juga kecerdasan sosial. Baik Widodo maupun Mulyono tak dikenal punya mertua atau kerabat yang berkuasa di pemerintahan. Mereka berdua adalah "Tampang Boyolali" yang sukses meniti karier di militer hingga ke puncak.
Widodo dan Mulyono hanyalah dua dari sekian banyak tokoh nasional dari Boyolali—yang tentu tak diusir petugas keamanan tiap kali masuk hotel mewah. Selain jenderal, Boyolali juga melahirkan dokter-dokter hebat. Salah satu dokter kebanggaan kabupaten yang terkenal dengan ternak sapinya ini adalah dr. Suharso (1912-1973). Kementerian Sosial Republik Indonesia mencatat namanya dengan harum. Dokter yang pernah dinas di Kalimantan barat, Surabaya dan Solo ini, dikenal dengan usahanya membantu korban perang.
Pada zaman perang kemerdekaan, seperti dicatat buku Ensiklopedi Pahlawan Nasional (1995:62), Suharso bekerja sebagai dokter Palang Merah. Dialah yang membangun bengkel pembuatan kaki dan tangan palsu di Rumah Sakit Surakarta (1948). Setelah tentara Belanda angkat kaki, ia mendirikan Rehabilitasi Centrum Penderita Cacat Tubuh di Surakarta pada 1951 dan mendirikan Rumah Sakit Ortopedi dan Yayasan Pemeliharaan Anak-anak Cacat di Surakarta (YPAC) dua tahun kemudian.
“Hatinya terpanggil untuk menolong korban perang agar tetap dapat berperan dalam masyarakat,” catat buku Ensiklopedi Pahlawan Nasional (1995:62). Itulah jasa besarnya. Dia diangkat sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 088/TK/Tahun 1973, yang ditandatangani Jenderal Soeharto, yang kebetulan juga punya mantu seorang jenderal.
Dokter berikutnya sama pentingnya dengan Suharso tapi kurang dikenal, yakni Abdoel Azis Saleh (1914-2001). Ia kelahiran Boyolali, ketika ayah Azis Saleh, yakni tokoh Boedi Oetomo yang bernama dr. Mas Muhamad Saleh, berdinas sebagai dokter di kabupaten itu. Tak semua saudara Azis lahir di Boyolali. Abangnya, Abdulrachman Saleh, lahir di Batavia, sementara adiknya, Alibasjah Saleh, lahir di Bondowoso.
Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989:276-277), laki-laki kelahiran Boyolali, 20 September 1914 ini pernah makan bangku sekolah elite seperti ELS dan HBS. Setelahnya, ia masuk sekolah tinggi kedokteran alias Geeneskundig Hooge School di Batavia.
Singkatnya, pada tahun 1930-an, ada dua putra Boyolali yang berhasil jadi dokter, sebuah pekerjaan dan status sosial yang tak mudah dicapai sembarang orang saat itu. Setelah sempat jadi dokter bedah di Jakarta sebelum 1945, Azis Saleh terlibat revolusi di kubu Indonesia. Seperti abang dan adiknya, ia masuk militer. Abdulrachman Saleh dan Abubakar Saleh masuk Angkatan Udara, sementara Azis dan Alibasjah bergabung dengan Angkatan Darat.
Jabatan tinggi di Angkatan Darat yang pernah diraihnya adalah Asisten Operasional Kepala Staf Angkatan Darat dan Kepala Jawatan Kesehatan Angkatan Darat. Seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989:177) dan Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Menganang yang Wafat (2002:343), Azis Saleh pernah menjabat Menteri Kesehatan (1957-1959), Menteri Pertanian (1960-1962), Menteri Perindustrian (1963-1964), dan Sekretaris Jenderal Gerakan Pramuka Indonesia.
Surastri Karma Trimurti juga lahir di Boyolali, tepatnya pada 11 Mei 1912. SK Trimurti, seorang legenda pergerakan perempuan, sudah makan asam garam di penjara, tak terkecuali pada zaman pendudukan Jepang. Dikisahkan dalam Srikandi: Sejumlah Wanita Indonesia berprestasi (1991:895), ketika berkunjung ke Semarang, Sukarno mendapat kabar bahwa istri dari pengetik naskah Proklamasi Sayuti Melik ini tengah hamil anak kedua di penjara. Sukarno pun berusaha membebaskannya dengan melobi para pejabat militer Jepang.
Dengan ijazah SMA zaman Belanda, sebetulnya SK Trimurti bisa hidup enak. Tapi dia memilih jalan lain. Begitu kemerdekaan diproklamasikan, ia berdiri membela Republik Indonesia dan menjabat Menteri Tenaga Kerja dalam kabinet Amir Sjarifuddin. Perempuan yang meninggal pada 20 Mei 2008 ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Editor: Windu Jusuf