Menuju konten utama
29 Juli 1947

Abdulrahman Saleh: Dokter, Penerbang, dan Perintis RRI

Di luar pekerjaannya sebagai dokter dan pengajar ilmu fisiologi, hidup Abdulrahman Saleh alias Karbol tak jauh-jauh dari radio dan pesawat.

Abdulrahman Saleh: Dokter, Penerbang, dan Perintis RRI
Header Mozaik Abdulrahman Saleh. tirto.id/TIno

tirto.id - Parlindoengan Loebis, dokter dan ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) Belanda periode 1936-1940, barangkali satu-satunya aktivis Indonesia yang merasai kebrutalan fasisme Nazi secara langsung. Selama empat tahun, ia disekap di kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman. Parlindoengan selamat dan menuliskan pengalaman dalam autobiografi berjudul Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi (2006).

Namun, buku itu tak melulu bercerita tentang kehidupan Parlindoengan di Eropa. Ada pula, misalnya, catatan ringkas tentang kawan Parlindoengan semasa ia belajar di Geneeskundige Hogeschool, Batavia: “Di asrama aku sekamar dengan Abdulrahman Saleh,” tulis Parlindoengan.Dia mendapat julukan 'Karbol' karena kebiasaannya mengepel kamar tidur setiap pagi.”

Pada masa itu, agaknya Parlindoengan dan kawan-kawannya yang lain tak pernah menyangka bahwa “Karbol”, nama julukan yang mengundang tawa itu, kelak akan jadi sebutan yang afektif sekaligus terhormat buat para taruna Akademi Angkatan Udara (AAU) di Yogyakarta.

Menurut Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat Terbang! (2009), sekali waktu Saleh Basarah mengunjungi Akademi Angkatan Udara Amerika Serikat di Colorado Springs. Di sana, ia menemukan bahwa para taruna disebut Dollies, merujuk kepada James “Jimmy” Doolittle, pilot tempur legendaris Amerika Serikat pada Perang Dunia II.

Di Indonesia, ada seorang penerbang yang dikagumi Saleh Basarah: Komandan Pangkalan Udara Madiun (1946) sekaligus pendiri Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Ialah Abdulrahman Saleh alias Karbol.

Saleh kemudian mengusulkan agar para taruna AAU dipanggil Karbol. Usul itu kemudian disetujui dan diresmikan dengan Surat Keputusan Komandan Akademi Angkatan Udara nomor 145/KPTS/AAU/1965, 3 Agustus 1965.

Anak Dokter, Melampaui Dokter

Dalam buku Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986)yang disusun oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia—ada empat dokter dengan nama belakang Saleh. Yang tertua adalah Mas Mohammad Saleh, lulusan STOVIA. Dua dokter Saleh lain dalam daftar tersebut, Abdulazis dan Abdulrahman, adalah putra-putranya. Di luar catatan Orang-orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa, ada pula dokter Abubakar Saleh dan dokter Alibasah Saleh, anak-anak lain Mas Mohammad Saleh.

Sebagai bagian dari keluarga kaya dan terdidik, Karbol mendapat kesempatan belajar di sekolah-sekolah elite Hindia Belanda. Ia kemudian menjadi murid STOVIA. Namun, ia terpaksa pindah sebelum mendapatkan ijazah karena pemerintah Hindia Belanda membubarkan sekolah itu pada 1927.

“Abdulrahman Saleh (Karbol), Sumadji, Hardadi, dan Musadik pindah ke AMS Malang,” tulis Soemarno Sosroatmodjo dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya: Sebuah Otobiografi (1981). Pengganti STOVIA selaku sekolah kedokteran adalah Geeneskundig Hogeschool (GHS), yang berstatus sekolah tinggi.

Karbol lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) pada 1929. Setelahnya, ia mendaftar ke GHS Batavia. Dalam dua tahun terakhir masa kuliahnya, Karbol menjadi asisten laboratorium Fisiologi. Menurut Soedarpo Sastrotomo dalam biografinya, Bertumbuh Melawan Arus: Soedarpo Sastrotomo Suatu Biografi 1920-2001 (2001), yang ditulis Rosihan Anwar, Karbol adalah kakak kelas yang terpandang di kampusnya. Biasanya, sebelum mahasiswa junior mengikuti ujian lisan, mereka akan berlatih terlebih dahulu di hadapan Abdulrahman. Selain itu, dia juga paham soal radio amatir.

Karbol lulus tahun 1937. Sambil tetap terlibat dalam dunia akademis di kampusnya, ia menjalankan praktik sebagai dokter umum. Tahun 1942, ia mulai mengajar fisiologi (ilmu faal) di NIAS Surabaya dan Goverment Instituut voor Lich Opvoeding di Surabaya. Di dunia akademis, ia menulis laporan penelitiannya, Bronnen van Fouten bij Schijnbaar Goede Bloeddrukmeters, di jurnal Geneeskundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1941).

Di luar pekerjaanya, Karbol menyenangi olahraga. Menurut Soedarpo, bersama dr. Yudono dan dr. Santo, dr. Karbol adalah pendiri Indonesische Sport Vereniging (ISV) pada 1930-an. ISV biasa mengikuti pertandingan bola basket dan menjadi klub olahraga terkuat di Jakarta zaman itu.

Seakan belum cukup sibuk, Karbol juga mempelajari sistem radio amatir. Ia aktif dalam radio ketimuran Vereniging voor Oostrese Radio Omroep (VORO). Menurut Sedjarah Radio di Indonesia (1953) terbitan Kementerian Penerangan, Karbol aktif di lembaga tersebut sejak 1937 hingga 1942.

Belakangan, ia ikut serta dalam pendirian Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Pada masa awal siaran RRI, bersama kawan-kawan seperjuangannya, ia pernah mengangkut pemancar besar dari Bandung ke Yogyakarta, yang kemudian menjadi ibukota masa revolusi.

Infografik Mozaik Abdulrahman Saleh

Infografik Mozaik Abdulrahman Saleh. tirto.id/TIno

Di Langit Boleh Mengompol

Menurut Chappy Hakim, pada mulanya Karbol adalah penerbang olahraga. Dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008), Karbol diperkenalkan sebagai salah satu orang Indonesia yang mengikuti pendidikan Vrijwillige Vliegers Corps (Korps penerbang sukarela) sebelum pendudukan Jepang. Namun, ketika Sekolah Penerbangan dibuka, Karbol ikut mendaftar. Ia kemudian turut serta dalam pengambilalihan pesawat-pesawat Jepang.

Bagaimana Karbol mengemudikan pesawat, Soedarpo pernah mengalaminya. Suatu kali, Soedarpo disuruh Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk menemui Presiden Sukarno di Batu, Malang. Sjahrir ingin Sukarno hadir dalam perundingan Linggarjati pada 11 November 1946. Agar cepat, Soedarpo diantar naik pesawat, lima hari sebelum perundingan.

Soedarpo merasa ngeri naik pesawat yang rupa-rupanya butut itu. Wajahnya kecut. “Nggak apa-apa, saya bukan hanya sekali naik pesawat seperti ini ... Percaya, deh,” kata Karbol. Alih-alih tenang, Soedarpo malah bertanya, “Bagaimana kalau mesinnya mati? Kita kan bisa mati juga.”

“Kalau kamu mati, saya juga mati,” jawab Karbol.

Lalu, sebagaimana diceritakan Soedarpo dalam Bertumbuh Melawan Arus, setelah pesawat melewati Gunung Lawu, memasuki Jawa Timur, Karbol beraksi: ia mematikan mesin pesawat!

Pesawat tetap melayang dan Karbol menyadari ada genangan air yang mendekati tempat duduknya. Ia dan Soedarpo sama-sama tertawa.

Pada 1946, Karbol diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Bugis, Malang. Beberapa kawannya yang menjadi dokter militer di Malang sering ia ajak ikut naik pesawat, tetapi biasanya mereka menolak. Tentu mereka pernah mendengar barang satu-dua cerita tentang kejailan Karbol di udara.

“Sepanjang sejarah penerbangan, saya tidak pernah mengalami sesuatu yang buruk,” kata Karbol kepada Soedarpo suatu kali. Itu benar selama ia duduk di kokpit. Namun, pada 29 Juli 1947, tepat hari ini 75 tahun lalu, Karbol duduk di kursi penumpang Dakota VT CLA. Pesawat itu dijatuhkan oleh pesawat pemburu milik Belanda di dekat Yogyakarta.

Pada 5 Desember 1958, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengukuhkan Karbol alias Abdulrahman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia. Namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Kwitang, Jakarta, dan di Bandung. Pangkalan Udara Bugis, tempatnya pernah mengabdi sebagai komandan, kini telah berganti nama menjadi Bandara Abdulrahman Saleh.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 21 Juni 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait ABDULRAHMAN SALEH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Dea Anugrah & Irfan Teguh Pribadi