Menuju konten utama

"X-Men: Dark Phoenix": Laga Penutup yang Serba Kedodoran

Ini kali kedua Dark Phoenix — konon mutan paling kuat di dunia Marvel — diangkat jadi plot utama setelah The Last Stand (2006). Hasilnya, makin bikin frustrasi.

Trailer X-Men Dark Phoenix. Youtube/Smasher

tirto.id - Butuh tenaga, keberanian, dan jumlah dana yang besar untuk bikin film superhero di era ini.

Pertama, karena tolok ukur kesuksesannya sudah dipacak tinggi oleh Marvel Cinematic Universe (MCU). Mereka bukan cuma bikin film laris, tapi juga yang berhasil berkompromi dengan ekspektasi para penonton.

Kedua, tren membanjirnya film superhero yang diadaptasi dari komik selama dekade terakhir akan bikin para penulis naskah butuh kopi — atau mungkin rokok — lebih banyak untuk bergadang. Mereka perlu memikirkan cara baru mempresentasikan kebajikan versus kejahatan.

Avengers: Infinity War (2018), Black Panther (2018), atau Deadpool (2016) adalah segelintir contoh yang berhasil menuai uang berlimpah dan pujian kritikus. Ketiganya punya naskah unik dan segar.

Infinity War ditutup dengan kekalahan para pahlawan super, sesuatu yang nyaris tak pernah terjadi di film genre serupa. Black Panther punya pesan politis amat kental tentang merayakan film superhero kulit hitam pertama di bawah rezim MCU. Sementara Deadpool dibalur dengan komedi gelap dan teknik breaking the fourth wall.

Film teranyar X-Men versi Fox, X-Men: Dark Phoenix, sebenarnya juga dibuat dengan tenaga, keberanian, dan dana yang besar. Kabarnya, ia menghabiskan biaya produksi 200 juta dolar AS, sebelum akhirnya melakukan proses syuting ulang untuk babak ketiganya yang memakan tambahan 10 juta dolar. Angka ini setara dengan ongkos produksi X-Men: The Last Stand (2006), yang jadi film X-Men versi Fox dengan bujet tertinggi.

Sayangnya, Simon Kinberg, sang penulis naskah — sekaligus sutradara — agaknya kurang menyesap kopi lebih banyak. Dark Phoenix yang digadang-gadang sebagai penutup saga X-Men bukan cuma melempem, tak segar, dan loyo, tapi juga frustrasi.

Mencetak Ulang The Last Stand

Kekacauan sudah hadir sejak film dimulai. Kita akan disajikan adegan Charles Xavier (James McAvoy) muda — yang masih berambut panjang, tapi sudah duduk di kursi roda — menjemput Jean Grey (Summer Fontana) kecil.

Bagi yang sudah mengikuti cerita X-Men, baik di komik ataupun saga sebelumnya ketika Hugh Jackman masih memerankan Wolverine, tak ada yang aneh dari kisah itu. Jean memang salah satu anggota X-Men yang direkrut Profesor X sejak kecil.

Tapi, dahi saya tak bisa tidak mengernyit untuk beberapa saat karena rambut panjang Charles dan kursi rodanya. Bukankah di ujung X-Men: First Class (2011) Charles sudah lumpuh dan duduk di kursi roda canggih sambil menghapus pikiran Moira, sang kekasih?

Lantas mengapa kursi roda itu berubah klasik saat ia menjemput Jean di Dark Phoenix? Lalu, bukannya Charles sudah bisa kembali berjalan dalam X-Men: Days of Future Past (2014) dengan bantuan serum? Meski di ujung film ia kembali lumpuh.

Kontinuitas memang hal yang sering kali diabaikan dalam semesta X-Men versi Fox. Banyak detail-detail kecil yang harusnya berkesinambungan, tapi terlewat begitu saja. Bahkan, sering kali tak pernah diberi ruang penjelasan. Kursi roda Profesor X cuma satu di antaranya.

Namun, yang paling mengecewakan adalah plotnya yang datar, nyaris tanpa kejutan.

Tahun 1992, tiga puluh tahun setelah X-Men: First Class, manusia dan mutan sudah hidup berdampingan dengan damai. Profesor X bahkan punya telepon yang cuma berjarak satu tombol dengan Presiden Amerika Serikat. Ia dan X-Men dielu-elukan seperti superstar di masa ini. Tapi, dahi saya kembali mengernyit karena beberapa karakter yang ada di X-Men: First Class — yang mengambil latar 1962 — terlihat tak menua sedikit pun di sini.

Konflik pertama terjadi ketika Phoenix, Nightcrawler (Kodi Smit-Mcphee), Beast (Nicholas Hoult), Quicksilver (Evan Peters), Storm (Alexandra Shipp), dan Cyclops (Tye Sheridan) di bawah pimpinan Mystique (Jennifer Lawrence) menyelamatkan beberapa astronaut yang kecelakaan di luar angkasa. Jean nyaris mati di ujung misi mereka, sebelum akhirnya menyerap solar flare yang bikin ia jadi mutan level omega.

Selanjutnya adalah pertunjukan psikologis Jean yang tidak stabil karena kekuatan barunya. Ia jadi gampang marah, dan bersedih, hingga sengaja-tak sengaja membunuh salah satu rekan kerjanya.

Simon Kinberg benar-benar tak terlalu keluar dari mode "Si Gila Dark Phoenix" yang sudah pernah dipakainya saat menulis The Last Stand. Ia bahkan cenderung mengurangi kadar marah Jean Grey muda yang diperankan Sophie Turner bila dibandingkan Jean Grey versi Famke Janssen, tiga belas tahun lalu. ini berdampak pada kedalaman tokoh Jean sendiri, yang jadinya amat dangkal untuk ditarik sebagai karakter utama.

Kinberg tak memberikan konflik cinta segitiga pada Sophie Turner, seperti yang dialami Famke Janssen. Karakter Jean Grey hanya akan berfokus pada perasaan-tak-diinginkan-keluarga-sendiri yang memicunya melakukan perbuatan jahat.

Infografik Misbar Dark Phoenix

Infografik Misbar Dark Phoenix. tirto.id/Nauval

Bukan Penutup yang Apik

Efek ketakutan yang diciptakan Jean Grey versi Sophie Turner juga tak kuat-kuat amat. Ada lebih banyak hal mengerikan yang dilakukan Magneto (Michael Fassbender) di film-film sebelumnya yang jauh lebih tidak manusiawi dan benar-benar mengancam eksistensi manusia, ketimbang yang dilakukan Phoenix di film ini. Alhasil, ketegangannya tak setajam film-film sebelumnya.

Semua alasan di atas rasanya cukup untuk bilang, tak ada yang perlu ditunggu dari kehadiran Dark Phoenix di pertengahan tahun ini. Apalagi, kita harus menunggu pembuatan film ini yang makan proses dua tahun dari film sebelumnya.

Padahal, X-Men adalah salah satu spin off Marvel yang paling populer. Kisah mutan yang sering kali linear dengan cerita-cerita orang terpinggirkan gampang menyentuh perasaan penggemar. Isu yang disentuhnya bisa mulai dari rasisme, disabilitas, feminisme, hingga seksualitas. Tak heran, komiknya begitu populer di tahun 1980-an, dan berhasil dihidupkan jadi budaya pop yang lebih luas oleh dua film pertama X-Men di awal 2000-an.

Dark Phoenix tampaknya mau meneruskan kejayaan itu dan sedikit lebih vokal bicara tentang feminisme. Mystique dalam salah satu adegan bahkan menyindir Charles untuk mengganti nama X-Men jadi X-Woman karena para mutan perempuanlah yang malah kerap menyelamatkan hidup para mutan dibandingkan pria-pria mutan di X-Men.

Sayangnya, kebanyakan pesan itu seolah cuma lips-service. Kenyataannya, salah satu adegan yang lulus tes Bechdel adalah ketika salah satu perempuannya mati di akhir adegan, dibunuh perempuan lainnya. Sebuah ironi besar.

Tes Bechdel adalah sebuah alat pengukuran standar untuk mengukur apakah perempuan direpresentasikan dengan adil dalam sebuah film. Ada tiga syarat: Setidaknya harus ada dua karakter perempuan dalam adegan yang sama; Keduanya harus mempunyai nama; dan mereka harus membicarakan sebuah topik diluar topik tentang pria.

Dark Phoenix memang jadi spesial karena ia mendudukan Jean Grey, seorang superhero perempuan menjadi karakter utama di atas karakter-karakter lain. Istilahnya, memberikan lampu sorot lebih. Dalam semesta X-Men, salah satu karakter lain yang mendapat kesempatan serupa adalah Wolverine yang diperankan Hugh Jackman.

Tapi ini juga jadi ironi, karena dalam dua kesempatannya diangkat jadi tokoh sentral, Dark Phoenix cuma disajikan satu plot serupa yang dicomot nyaris bulat-bulat, dan diperankan dua aktor yang beda.

Pada akhirnya, susah untuk tidak melihat naskah Dark Phoenix sebagai naskah yang seolah diketik dengan frustrasi.

Baca juga artikel terkait REVIEW FILM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara