tirto.id - Millie Bobby Brown, aktris yang kita kenal lewat perannya sebagai Eleven di serial andalan Netflix Stranger Things akhirnya main film pertamanya, Godzilla: King of the Monsters.
Ia jadi Madison, seorang remaja putri depresi, korban keluarga berantakan. Ibunya, Emma Russel (Vera Farmiga) stres selepas kepergian Matthew, abang Madison, dan akhirnya memutuskan bercerai dari Mark (Kyle Chandler). Putra pertama keluarga itu adalah salah satu korban tewas akibat kiamat kecil yang disebabkan Godzilla versus M.U.T.O lima tahun lalu.
Madison merasa harus memilih tinggal dengan ibunya, karena tak ingin Emma makin stres dan merasa sendiri. Tapi, diam-diam ia selalu merindukan sang ayah yang memilih mempelajari kehidupan serigala untuk lupa pada luka pedih yang disebabkan Godzilla.
Meski Madison tak punya kekuatan super seperti Eleven, tapi banyak hal di film ini yang akan bikin Millie Bobby Brown belum benar-benar bisa lepas dari karakter pertama yang melambungkan namanya.
Pertama, kedekatannya dengan monster. Di King of the Monsters, Emma adalah seorang ahli paleobiologi. Selepas kematian Matthew, ia bekerja pada Monarch, organisasi intelijen yang meneliti kebangkitan para Kaiju. Otomatis, hidup Madison selalu dekat dengan laboratorium dan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan ibunya, termasuk monster.
Di awal film, mereka bahkan tinggal di hutan hujan Cina, tempat Monarch meneliti telur monster ngengat yang kelak dipanggil Mothra, Ibu Para Monster.
Kedua, punya peran penting untuk membunuh monster jahat.
Sebagaimana pentingnya kehadiran Eleven dalam pertarungan bombastis di ujung musim kedua Stranger Things tahun lalu, Madison juga punya peran lumayan krusial di ujung King of the Monster. Ia sedikit banyak mempermudah Godzilla menghabisi lawannya kali ini: monster naga berkepala tiga yang dipanggil Ghidorah, The False King. Setidaknya, berkat Madison, Godzilla tak susah payah mengumpulkan monster-monster lain di satu titik agar pertarungan mereka lebih mudah.
Kemiripan antara karakter Eleven dan Madison akhirnya bikin penampilan Millie Bobby Brown tak terlalu bersinar. Ia memang jago bergonta-ganti mimik, dan pergantian watak di mukanya masih meyakinkan. Namun, tetap saja tak ada perkembangan berarti di sosok Madison, Millie Bobby Brown tak punya ruang luas untuk memamerkan kemampuan sandiwaranya. Singkatnya, Madison bukan debut bombastis untuk karakter pertama yang diperankan Millie dalam layar lebar.
Sayangnya, karakter dangkal bukan satu-satunya alasan yang bikin King of the Monsters tampil... meh.
Surplus Eksposisi
Bila dirangkum, mungkin kesalahan utama film ini adalah naskahnya yang penuh lubang dan ironi. Misalnya, porsi besar yang diberikan Michael Dougherty—sang sutradara dan juga tim penulis naskah—pada keluarga Madison yang berantakan. Mungkin, tujuan utamanya ingin membuat kita, sebagai penonton, merasakan ketakutan yang dialami para tokoh utamanya menghadapi ancaman kiamat dari kehadiran para Kaiju. Sayangnya, masalah keluarga Madison dieksplorasi terlalu berlebihan, sehingga kebanyakan motivasi dan keputusan mereka sangat tidak logis.
Misalnya keputusan Emma membangkitkan semua monster "untuk menyeimbangkan dunia yang telah dirusak manusia". Film ingin membingkai bahwa keputusan itu muncul karena depresi yang dialami Emma setelah kehilangan putranya. Baginya, bumi memang membutuhkan para Kaiju agar manusia berhenti jadi raja di puncak rantai makanan. Tapi, keputusan itu tak masuk akal, karena bisa jadi Madison, putri semata wayangnya jadi korban kehancuran akibat perkelahian para monster.
Jika Godzilla versus sepasang M.U.T.O lima tahun lalu bisa menghancurkan Hawaii dan San Francisco, serta membunuh putranya, bukankah melepaskan sejumlah monster raksasa lainnya juga berpotensi mengorbankan nyawa putri semata wayangnya?
Dougherty mungkin ingin menunjukkan bahwa luka yang hadir karena ditinggalkan orang yang kita kasihi punya dampak besar dan berbuah trauma. Sehingga keputusan-keputusan keluarga Madison bisa jadi tak masuk akal. Tapi, hal ini ironis karena naskah yang sama tidak memberikan ruang untuk karakter lain berkembang.
Banyak sekali adegan manusia yang mati di sepanjang film. Beberapa yang mati adalah karakter inti. Tapi, tak satu pun dari mereka diberi ruang untuk berkabung dan memproses kehilangan itu, kecuali Emma, Madison, dan Mark.
Seolah-olah ini film tentang keluarga mereka. Bukan tentang Godzilla.
Tak bisa dimungkiri, ada banyak sekali adegan tarung yang memanjakan mata. Baik antara para monster dengan sesamanya atau melawan manusia. Ada pula baluran mitos dan studi-studi historis yang disisipkan tiap nama-nama monster ini muncul dalam dialog. Sayangnya, porsi itu tak cukup untuk menambal lubang-lubang di naskah King of the Monster.
Parahnya, pengemasan informasi-informasi menarik tentang kejayaan Godzilla, Ghidorah, Rodan, Mothra, dan monster-monster lain yang tampil di film ini hadir lewat eksposisi. Dan hanya eksposisi.
Ini jadi ironi kedua dan paling kasatmata.
Dari awal sekali film diputar, dialog-dialog yang ditempelkan pada mulut semua manusia di film ini mengandung penjelasan-penjelasan tentang identitas, asal-muasal, hingga silsilah para Kaiju. Beberapa kelakar bahkan juga diikuti eksposisi, yang akhirnya justru tak jadi mengundang tawa.
Dougherty seolah-olah ketakutan para penonton tak paham dengan tampilan visual yang ia sajikan, sehingga tak fokus mengembangkan potensi naskahnya, alih-alih sibuk menambahi eksposisi di sana-sini.
Editor: Windu Jusuf