Menuju konten utama

Warga Tembagapura Dipaksa Mengungsi, Saat Pulang Semua Hilang

Para pengungsi Tembagapura pulang setelah nyaris satu tahun hanya untuk mendapati segala properti mereka rusak.

Warga Tembagapura Dipaksa Mengungsi, Saat Pulang Semua Hilang
Aparat TNI dan Polri mengarahkan para pengungsi Banti dan Opitawak untuk menjaga jarak saat hendak masuk ke dalam bus PT Freeport Indonesia. (ANTARA/HO/Kodim Mimika)

tirto.id - Hampir satu tahun Kwame meninggalkan Desa Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Ia pindah ke ibu kota kabupaten, Timika, lantaran kampungnya berubah zona merah: jadi lokasi baku tembak TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Baku tembak dimulai pada 2 Maret 2020 pukul 08.30 waktu setempat. Eksodus warga terjadi sehari kemudian sampai 8 Maret. Sebagian pengungsi menumpang hidup di rumah kerabat; ada pula yang mengontrak.

Seperti banyak orang yang meninggalkan kampung halaman karena hal-hal mendesak, keinginan Kwame untuk pulang setiap hari semakin menguat. Pada awal tahun lalu Kwame dan para pengungsi lain akhirnya berkesempatan pulang karena PT Freeport Indonesia menyediakan bus setiap Senin hingga Kamis. Armada ini dipakai untuk mengangkut karyawan Freeport yang hendak istirahat maupun berangkat kerja dari Timika pada Jumat sampai Minggu

Pada hari pertama pemulangan, 20 Januari, tersedia lima bus pengangkut. Seterusnya hanya tiga bus siap jalan. Hingga dua pekan berikutnya Freeport hanya menyediakan tiga bus. “Satu bus isi 30 orang. Karena Covid, duduk longkap satu kursi,” kata Kwame, bukan nama sebenarnya, kepada reporter Tirto, Rabu (3/2/2021).

Para pengungsi harus dicek kesehatannya sepekan sebelum ‘naik’ ke Tembagapura. Mereka masuk daftar jika dinyatakan sehat. Para pengungsi sebelumnya diberitahukan wajib mengikuti tes antigen, namun ternyata hanya menjalani pengecekan kesehatan biasa. TNI dan Polri juga mengarahkan para pengungsi untuk menjaga jarak saat hendak masuk ke dalam bus, serta mengawal mereka hingga lokasi tujuan.

Para pengungsi yang pulang berasal dari Banti I, Banti II, dan Opitawak. Berdasarkan data pemerintah setempat, jumlah warga tiga desa itu yang mengungsi ke Timika mencapai 2.075 jiwa. Banti dan Opitawak sendiri merupakan dua dari enam kampung yang secara administratif berada di Distrik Tembagapura, kota yang berdiri pada 1973 dan dibangun dari aktivitas tambang Freeport.

Hingga 27 Januari, ada 571 warga Kampung Banti I, Banti II, dan Opitawak yang kembali ke Tembagapura. “Pemulangan warga ini berjalan lancar dan mendapat pengawalan dari aparat keamanan TNI-Polri dan dipusatkan di Halaman Mapolres Mimika, Jalan Agimuga, Mile 32,” kata anggota DPRP Laurenzus Kadepa.

Tiba di desa, Kwame dan para pengungsi tidak bisa langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka menempati SD Inpres Banti, sekolah yang berdiri di atas tanah 100 meter persegi, terdiri dari 15 ruang kelas, satu perpustakaan, dan dua toilet. Anak dan dewasa makan, minum, dan tidur di sekolah itu. Tikar atau kasur gulung digelar di ubin; tas dan gembolan diletakkan tak jauh dari jangkauan.

Foto yang reporter Tirto dapat dari Kwame memperlihatkan beberapa pengungsi tak bermasker berada dalam sebuah ruang kelas. Meski kasur tempat mereka tidur berjarak, akan tetapi COVID-19 tetap mengintai. Kwame bilang masih ada warga yang tak paham soal virus ini, terutama para lansia. Selain ancaman COVID-19, dia juga bilang telah ada warga yang mengidap malaria.

Mereka tak bisa pulang ke rumah masing-masing karena bangunan rusak setelah ditinggalkan nyaris satu tahun. Belum lagi tanaman hancur dan hewan ternak hilang atau mati. Dengan kata lain, mereka sudah tak punya apa-apa selain pakaian yang menempel di badan serta noken, dua barang yang dibawa saat mengungsi. “Semua [babi] sudah mati kelaparan dan habis,” aku Kwame.

Oleh karena kerusakan ini bukan ulah mereka, para pengungsi menuntut pemerintah, juga Freeport, untuk “rehabilitasi kembali rumah-rumah yang sudah hancur itu.” “Mereka tidak bisa tinggal di sekolah, harus kembali ke rumah,” ucap Kwame.

Tuntutan lain yakni Freeport menyediakan jalan bagi warga agar mudah mengakses pasar atau rumah sakit. Sejauh ini perusahaan raksasa itu hanya menyediakan kebutuhan perut para pengungsi.

Meski situasi di kampung sulit, para warga yang masih mengungsi tetap menuntut pulang. Pada 14 Januari, puluhan pengungsi berdemonstrasi menuntut dipulangkan di depan Terminal Bus Gorong-Gorong, Kabupaten Mimika. Mewakili pengungsi, Martina Natkime mengatakan mereka mau pulang karena merasa situasi setelah baku tembak terjadi 10 bulan lalu sudah aman.

Kwame mengatakan selain demonstrasi, perwakilan pengungsi pun telah mencoba mengirimkan surat ke pemerintah, ikut rapat dengar pendapat, maupun berdialog langsung kepada pihak berwenang. “Semua sudah dilakukan, tapi kepastian itu belum. Makanya rakyat sendiri yang langsung duduk di jalan Freeport (terminal buat lokasi aksi), tutup akses,” katanya.

Para pengungsi bahkan mengancam akan berjalan kaki ke Tembagapura jika negara tak mampu memulangkan mereka dan memperbaiki segala yang rusak.

Baca juga artikel terkait BAKU TEMBAK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino