tirto.id - Dua bocah berusia 14 tahun, MA dan MR, meninggal dunia karena tenggelam di lubang bekas tambang batu bara, Desa Krayan Makmur, Blok 3B, Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Minggu (6/9/2020). Lubang tersebut terisi air dan dikenal dengan nama Danau Biru Long Ikis.
Anggota Pusat Pengendali dan Operasi Badan Pengendalian Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) Kabupaten Paser Putu Budhi menjelaskan korban bersama dua bocah lain tiba di area bekas tambang untuk berekreasi sejak pukul 11.30 WITA. MA dan MR lalu berenang ke sebuah rakit pukul 3 sore. Kemudian dua kawan mereka--yang kemudian menjadi saksi--menyusul ke rakit.
“Ketika salah satu dari mereka berenang, dia sempat kehabisan napas dan lelah,” tutur Budhi kepada reporter Tirto, Selasa (8/9/2020).
MA, MR, dan satu orang lain refleks menolong. Mereka berenang tanpa menggunakan pelampung.
“Terjadilah tarik menarik. MR dan MA tenggelam dan tidak tertolong,” katanya.
Insiden nahas itu menambah panjang daftar korban tewas tenggelam akibat lubang bekas tambang di Kaltim. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat 39 orang tewas sejak 2011 hingga 2019, mayoritas berusia anak-anak.
Menurut Koordinator JATAM Kaltim Pradarma Rupang, kejadian terus berulang karena pemerintah tidak mau menetapkan lubang bekas tambang sebagai area berbahaya bagi aktivitas manusia. Pemerintah dan perusahaan justru menjadikan area tersebut terkesan bersahabat bagi masyarakat, minus protokol keamanan seperti pagar pembatas dan pos pengawasan.
“Tidak ada pemberitahuan, ‘ini kawasan berbahaya’ di sana,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.
Lebih dari itu kawasan ini justru dijadikan objek wisata. Berdasarkan foto yang diterima Tirto dari BPBD Kabupaten Paser, terdapat wahana air bebek kayuh di area Danau Biru Long Ikis. Rupang menduga menyulap area bekas tambang menjadi area wisata danau adalah akal-akalan perusahaan dan pemerintah yang tidak mau mengeluarkan uang untuk menutup lubang.
“Biasanya alasan tidak ditutup karena permintaan masyarakat. Teknik begini lazim diajarkan oleh dinas pertambangan ke perusahaan. Jadi punya justifikasi untuk tidak tutup tambang,” ujarnya.
Kaltim sebenarnya memiliki Peraturan Daerah yang progresif, katanya, yakni Perda Provinsi Kaltim Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang. Salah satu klausulnya mengatur pembentukan komisi pengawasan reklamasi dan pasca tambang, serta mendorong pembiayaan penutupan ditanggung pihak perusahaan, bukan negara.
“Sayangnya, perda tersebut tidak tidak benar-benar dijalankan. Mandul,” ujarnya, lantas mengatakan pemerintah tidak tegas memberikan hukuman berat kepada perusahaan yang lalai mereklamasi area bekas tambang.
Kepada reporter Tirto, Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara Dinas Energi Sumber Daya Mineral (Minerba ESDM) Kaltim Azwar Busra menampik pemerintah memberikan izin area lubang bekas tambang dijadikan objek wisata. “Untuk menjadi tempat wisata, harus dikembalikan dulu ke negara. Kemudian disesuaikan rencana selanjutnya,” ujarnya, Selasa.
Meski demikian, ia mengaku tahu kalau area PT SDH--kini Danau Biru--menjadi tujuan wisata masyarakat sekitar dari keterangan mantan pegawai SDH. “Kami sempat telepon karyawan perusahaan. Bahasanya dia begitu, pemilik lahan minta agar lubang dibiarkan agar bisa jadi objek wisata.”
Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT SDH mulai 2011 dan berakhir pada 2016 lalu. Ia mengatakan perlu memeriksa dokumen pasca tambang PT SDH untuk mengetahui peruntukan bekas area tambang tersebut.
Menurutnya, PT SDH masih dalam proses mereklamasi lubang-lubang bekas tambangnya sejak 2016. “Sisa satu lubang ini yang kami cek di dokumen [pasca tambang], apakah ditinggalkan untuk objek wisata. Karena dalam dokumen peruntukan lahan bisa macam-macam,” ujarnya.
Azwar mengatakan masalah area Danau Biru akan diinvestigasi oleh Inspektur Tambang pada Rabu (9/9/2020). Tujuannya untuk memvalidasi lokasi lubang berada di area konsesi, memeriksa status lubang, dan sekaligus mencari kebenaran peristiwa tewasnya dua bocah SMP tersebut.
“Harusnya pihak perusahaan yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino