tirto.id - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan RUU KUHP penting untuk disahkan. Sebab KUHP yang berlaku saat ini tidak memberikan kepastian hukum karena masih mengacu pada dua terjemahan berbeda.
"Yang berlaku sejak 1 Januari 1918 itu Wetboek van Strafrecht. Tapi pemerintah tidak pernah menetapkan KUHP mana yang mau dipakai, terjemahannya Mulyatno atau Soesilo," ujar Eddy dalam diskusi publik Kemenkumham di Jakarta Selatan, Senin (14/6/2021).
Menurut Eddy, dua terjemahan tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dan tidak pernah disadari masyarakat. Semisal dalam penjelasan Pasal 110 KUHP perihal pemufakatan jahat; Mulyatno mengatakan perlu ada sanksi hukuman mati, sementara Soesilo sanksi 6 tahun penjara.
"Hal-hal seperti ini, itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga kalau kita menunda KUHP untuk disahkan, itu berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin kita tetao berada diketidakpastian hukum," ujar Eddy.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP--terdiri dari berbagai organisasi--mendukung upaya pembaruan KUHP oleh pemerintah dan tidak lagi bersifat kolonial. Namun mereka menyesali pembahasan yang tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Perwakilan aliansi dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, pembahasan substansial pemerintah dan DPR perihal perubahan rumusan, penghapusan pasal atau koreksi harus lebih inklusif; tidak hanya melibatkan ahli hukum pidana dan dengan pola sosialisasi satu arah.
"Apabila Pemerintah dan DPR masih ingkar, nampaknya penolakan masyarakat akan sulit untuk dibendung," ujar Maidina dalam keterangan tertulis, Senin.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri