tirto.id - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Solidaritas Indonesia (DPD PSI) Kota Bekasi, Tanti Herawati mengatakan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Bekasi telah menjatuhkan vonis hukuman penjara 7 tahun dan restitusi sebesar Rp10 juta rupiah kepada terdakwa AT terhadap korbannya, PU.
DPP PSI menilai hukuman ini terlalu rendah dan tidak mempertimbangkan masa depan PU yang menjadi korban. Selain itu, ada kesan vonis tersebut ditutup-tutupi.
AT merupakan anak dari anggota DPRD Bekasi berusia 21 tahun yang menjadi pelaku pemerkosaan anak di bawah umur. Sementara PU saat kejadian adalah gadis berusia 15 tahun.
Selain melakukan pemerkosaan, AT juga diduga melakukan kejahatan perdagangan orang dengan menawarkan PU sebagai pekerja seksual melalui layanan chat daring. Berdasarkan keterangan PU dalam sidang, ia harus melayani empat hingga lima orang lelaki hidung belang yang membayar ke AT.
“Hukuman penjara 7 tahun dan restitusi 10 juta rupiah tidak sebanding dengan penderitaan dan masa depan PU. Hakim seharusnya memberikan hukuman maksimal kepada terdakwa,” kata Hera melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (4/12/2021).
Menurutnya, restitusi yang diberikan seharusnya bisa menjamin PU untuk menjalani masa depannya dengan layak dan terhormat.
“Rusaknya masa depan seorang anak berusia 15 tahun akibat perbuatan AT tentu tidak sebanding dengan uang 10 juta rupiah. Belum lagi vonis 7 tahun yang sangat dekat dengan hukuman minimal 5 tahun. Di mana keadilan untuk korban?” kata dia mempertanyakan.
Sementara itu, anggota LBH PSI, Hendra Keria Hentas yang juga menjadi kuasa hukum PU mengatakan vonis yang diberikan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa. Hal ini memperlihatkan negara belum maksimal melindungi masa depan generasi bangsa.
“Ketika mendampingi PU, kami melihat sendiri bagaimana dampak psikologis perbuatan terdakwa. PU menjadi pendiam dan sulit percaya pada orang, bahkan sampai terancam berhenti sekolah. PU sebagai generasi harapan bangsa sudah mengalami kerusakan mental yang cukup dahsyat. Pandangan kami, jaksa harus banding, " kata Hendra.
Menurutnya, vonis ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Ketua Mahkamah Agung yang ingin memastikan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak dalam penyelesaian perkara di peradilan.
PSI juga mempertanyakan vonis yang terkesan ditutup-tutupi dan tidak ditampilkan dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Kota Bekasi.
"Kami mendapatkan informasi dari jaksa bahwa vonis sudah dijatuhkan pada 16 November. Anehnya, hingga hari ini keputusan ini belum muncul di SIPP. Apakah ini sekadar masalah administrasi atau ada keinginan untuk menyembunyikannya dari publik," kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz