Menuju konten utama

Vigilantisme: Saat Penegak Hukum Diabaikan

Kasus pembakaran hidup-hidup Zoya yang diduga mencuri amplifier musala di Bekasi menambah panjang catatan tindak kriminal berlandaskan vigilantisme alias main hakim sendiri.

Vigilantisme: Saat Penegak Hukum Diabaikan
Aksi main hakim warga menendang pengemudi motor yang melintas. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kecewa, marah, dan duka lara sudah barang tentu menyesaki perasaan Siti Zubaedah yang tengah mengandung enam bulan. Betapa tidak, Muhammad Aljahra alias Zoya, calon ayah dari jabang bayi Siti Zubaedah, baru saja diadili massa dengan cara keji: dibakar hidup-hidup setelah disangka mencuri amplifier di sebuah musala Al Hidayat di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekalipun belum benar-benar terbukti Zoya yang mencuri amplifier yang tiba-tiba raib dari musala tersebut, sekelompok massa sudah kadung berprasangka buruk terhadap laki-laki yang berprofesi sebagai tukang reparasi elektronik itu. Tindakan gegabah berakibat hilangnya nyawa Zoya pun mereka ambil.

Baca juga Polisi Akhirnya Tangkap Lima Pelaku Pembakaran Zoya

Kasus ini lantas diberitakan secara luas di berbagai media dalam negeri dan menyedot rasa prihatin serta simpati publik dan pemangku jabatan terhadap keluarga Zoya yang ditinggalkan. Kecaman atas aksi main hakim atau vigilantisme sendiri mengekori peristiwa mengenaskan pada awal Agustus ini. Keadilan dipertanyakan berbagai pihak, sangsi bahwa hak hidup setiap warga dapat dijamin negara pun mencuat. Mendadak sekelompok massa jadi merasa lebih punya kuasa dari para penegak hukum, bahkan untuk kasus ini, bisa jadi merasa setingkat di atas si Pemberi Nyawa.

Mengenal Vigilantisme

Vigilantisme dipahami sebagai situasi ketika orang-orang mengambil peran penegak hukum tanpa diberikan kewenangan legal, tanpa mempertimbangkan apakah aksinya benar-benar berbasis keadilan atau tidak. Menghukum sampai cedera parah atau bahkan mati merupakan bentuk jamak vigilantisme.

Dalam jurnal kriminal Inggris yang ditulis Les Johnston (1996), dimuat perspektif Rosenbaum dan Sederberg (1976) yang melihat vigilantisme sebagai penegakan kekerasan yang merupakan upaya mempertahankan penegakan nilai-nilai di masyarakat.

Johnston juga memaparkan beberapa elemen utama yang terdapat dalam vigilantisme. Pertama, pelaku mesti membuat suatu "persiapan". Alih-alih dilihat sebagai suatu tindakan reaktif atau spontan, Johnston berargumen bahwa minimal, pelaku telah mengamati tindak-tanduk sasaran sebelum mengeksekusinya. Ini sejalan dengan akar kata vigilantisme sendiri yakni vigil yang berarti bangun atau gemar memperhatikan dalam bahasa Latin.

Dalam kasus pembakaran Zoya di Bekasi sendiri, tidak mungkin vigilantisme dilakukan tanpa perencanaan atau pengorganisasian. Sekelompok orang akan bekerja sama untuk mengeroyok dan menyiapkan perangkat untuk membakar Zoya.

Elemen kedua, vigilantisme umumya dilakukan oleh oknum-oknum sipil dan otonom. Vigilantisme bukanlah tindakan yang dilakukan secara institusional atau berdasarkan instruksi pemegang otoritas tertentu. Berikutnya, Johnston mengatakan bahwa kekerasan merupakan elemen lain dari vigilantisme. Elemen yang satu ini merupakan elemen paling menonjol yang ditemukan dalam hampir seluruh aksi main hakim sendiri. Tidak hanya kekerasan secara langsung atau yang menyangkut fisik. Ancaman pun termasuk dalam elemen vigilantisme.

Elemen vigilantisme selanjutnya ialah reaksi terhadap kriminalitas atau penyimpangan sosial. Kasus di Bekasi merupakan contoh reaksi terhadap kriminalitas. Sementara contoh vigilatisme sebagai penyimpangan sosial dapat ditemukan di beberapa kasus lain di Indonesia, sebut saja penyerangan terhadap kelompok minoritas agama, kaum LGBT, atau para paedofil.

Terakhir, Johnston mengungkapkan bahwa vigilantisme dilakukan untuk menjamin elemen terakhir, yakni keamanan. Atas dasar mempertahankan stabilitas atau keamanan, sekelompok orang merasa sah-sah saja menghukum satu pihak tanpa keterlibatan penegak hukum otoritatif. Keamanan di sini bukan hanya menyangkut keamanan masyarakat seperti penegakan nilai moral, tetapi juga keamanan personal. Katakanlah satu orang merasa keamanannya terancam oleh orang lain. Lantas, orang tersebut atau bersama sekelompok massa lainnya berbondong-bondong mengeksekusi orang yang dianggap melanggar keamanannya.

Sering kali, aksi main hakim sendiri melibatkan banyak orang untuk menghukum individu yang disangka melakukan tindak kriminal atau melanggar norma. Namun pada kenyataannya, aksi ini pun dapat dilakukan secara perorangan.

Dr. S. David Bernstein, psikolog forensik yang bekerja dengan FBI, memaparkan dalam Psychology Today satu contoh kasus di mana vigilantisme dilakukan perorangan. Tahun 2010 silam, Omar Thornton melakukan pembunuhan massal di Connecticut. Mulanya, ia yang bekerja di toko minuman keras dituduh mencuri bir. Lantas, saat disidang oleh pihak kantornya, Thornton sempat meminta izin ke toilet, lalu kembali membawa senjata dan mulai menembaki beberapa rekan kerjanya di ruang tempat ia disidang. Thornton membuat justifikasi atas tindak kriminalnya dengan mengatakan, “Tempat ini adalah tempat yang rasis, mereka memperlakukan saya dengan buruk. Mereka memperlakukan orang-orang kulit hitam lainnya sama seperti saya, jadi saya memilih mengambil keputusan sendiri untuk menyelesaikan masalah itu. Saya harap, saya bisa menembak lebih banyak orang.”

infografik vigilantisme

Mengapa Vigilantisme Dapat Terjadi?

Dalam kasus Thornton, dapat dimengerti bahwa vigilantisme yang dilakukannya bermotif balas dendam. Bernstein menjabarkan lebih lanjut faktor-faktor yang mendasari vigilantisme bermotif demikian. Perasaan termarginalisasi, pemikiran bunuh diri, dan akses terhadap senjata membuat seseorang nekat melakukan eksekusi tanpa pertimbangan penegak hukum.

Untuk konteks pemikiran bunuh diri, Bernstein mengambil contoh kasus Clay Duke yang mengamuk dan menembaki orang serta dirinya sendiri setelah istrinya yang seorang guru dipecat. Bernstein juga menyelipkan ungkapan “hati-hati dengan orang tak takut kehilangan apa pun” untuk konteks vigilantisme yang didasari pemikiran bunuh diri. Tampaknya, hal ini pula yang melandasi aksi-aksi penghakiman sepihak para teroris yang ingin membalas dendam atau mengenyahkan pihak-pihak yang dianggap sebagai musuhnya, meskipun justru yang banyak menjadi korban adalam mereka yang tidak berdosa.

Ada pandangan menarik lain terkait alasan orang melakukan aksi main hakim sendiri. Dalam The Independent dinyatakan, aksi ini juga dapat dipicu oleh romantisasi vigilantisme di beberapa produk budaya populer semisal film Death Wish. Potret tokoh fiksi yang mencoba menegakkan keadilan lewat vigilantisme disebut-sebut mampu memotivasi orang melakukan aksi main hakim sendiri. Tengok pula romantisasi adegan superhero yang membantai penjahat tanpa berkoordinasi dengan pihak penegak hukum. Pikiran mampu menjelma jadi pahlawan setelah menghakimi tertuduh kriminal inilah yang bisa mendorong orang-orang melakukan vigilantisme.

Alasan lain orang terlibat dalam vigilantisme adalah ketidakpuasan terhadap pemerintah atau penegak hukum. Hal ini diungkapkan Daniel Jordan Smith (2004) setelah meneliti kasus vigilantisme di Nigeria. Dalam jurnalnya, ia menyatakan bahwa sekelompok massa yang merasa tidak aman dan tidak puas dengan pemerintah Nigeria terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan. Kelompok yang disebut Bakassi boys ini kerap mengadili orang-orang yang dianggapnya bersalah dengan cara keji dan polisi pun tak terlihat mengintervensi. Fenomena ini bukan hal yang asing di mata masyarakat Indonesia. Masih jelas di benak sebagian masyarakat tragedi 1998 silam ketika massa mengadili sekelompok minoritas dan melakukan aksi vandalisme yang jelas-jelas melanggar hukum.

Aksi vigilantisme juga dapat bertumbuh kembang akibat adanya peran teknologi. Dalam jurnal berjudul "Digital Vigilantism as Weaponisation of Visibility", Daniel Trottier (2016) berargumen bahwa vigilantisme juga terjadi di ranah daring. Tahun 2013 silam, Gary Cleary bunuh diri setelah Letzgo Hunting—grup daring yang mengekspos tersangka paedofil—mengejarnya. Dua tahun kemudian, Walter James Palmer menerima banyak ancaman pembunuhan setelah teridentifikasi membunuh singa di Zimbabwe.

Kriminalisasi Cleary dan Palmer ini disebut Trottier sebagai vigilantisme digital. Lewat koordinasi via media sosial dan gawai, ramai-ramai orang menghakimi—atau yang kini populer disebut mempersekusi—individu yang dituduh melanggar aturan. Acap kali target vigilantisme digital tidak menyadari dirinya melakukan kesalahan yang memicu amukan orang-orang lain yang mendapati aksinya.

Baca juga Ramai-Ramai Memperolok Orang di Media Sosial

Berbeda dengan vigilantisme di ranah luring, vigilantisme digital melibatkan tindakan mempermalukan dan membeberkan identitas di depan umum seperti doxing. Informasi personal yang telah disebarluaskan di ranah daring pun membuat orang yang ditargetkan kian rentan diserang di kehidupan nyata. Tidak hanya dirinya sendiri, keluarga atau kerabat pun potensial menerima konsekuensi dari vigilantisme digital ini.

Baca juga Menyebar Informasi Pribadi Menuai Pro dan Kontra

Dari perspektif humaniora, vigilantisme digital merupakan konsekuensi dari lahirnya platform media digital dan praktik budaya user-generated. Setiap orang bisa mengawasi orang lain dan berpartisipasi menghakiminya bila orang tersebut dianggap melakukan penyimpangan. Trottier juga mengatakan bahwa vigilantisme digital merupakan bentuk penguatan atau perlawanan terhadap kekuatan negara serta kebijakannya.

Di Indonesia, kasus Fiera Lovita menjadi contoh vigilantisme digital. Meski tidak mendapat perundungan fisik secara langsung, Fiera telah menerima intimidasi dan konsekuensi negatif yang memengaruhi karier dan keluarganya.

Baca juga

Vigilantisme Jamak di Indonesia

Vigilantisme bukanlah hal yang langka di negeri ini. Data dari Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) memperlihatkan, selama Maret 2014-Maret 2015, tercatat 4.723 kejadian main hakim sendiri di 34 provinsi. Hal ini mengakibatkan 321 orang meninggal, 5.789 orang cedera, 2 orang diperkosa, dan 293 bangunan rusak. Dilansir Antara, selama 2014 terjadi 303 aksi main hakim sendiri di DKI Jakarta, paling banyak terjadi di Jakarta Pusat, yakni 100 kasus. Satu tewas dan 137 mengalami luka-luka akibat vigilantisme di Ibu Kota ini.

Menurut Sofyan Cholid, peneliti dari SNPK, aksi main hakim sendiri dipicu beberapa hal. “Kekerasan biasanya dilakukan untuk membalas dendam atas penghinaan, kecelakaan lalu lintas, menagih hutang, menghukum pelaku yang berzina, seringnya menghukum pelaku kriminal pencurian, pembunuhan, pemerkosaan," kata Sofyan Cholid kepada Antara.

Sementara pada 2013, pihak Human Rights Watch menyatakan kalangan minoritas agama paling kerap menjadi sasaran aksi vigilantisme. Mirisnya, pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan penyalahan korban minoritas.

Baca juga artikel terkait KRIMINALITAS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti