tirto.id - Tiga kandidat vaksin COVID-19 dari Cina yang diproduksi oleh Sinovac Biotech, Sinopharm (China National Pharmaceutical Group Co., Ltd.), dan CanSino Biologics akan masuk ke Indonesia mulai awal November 2020. Impor dipastikan setelah beberapa pejabat Indonesia bertemu pimpinan masing-masing perusahaan langsung di Cina, Sabtu 10 Oktober lalu.
Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia Djauhari Oratmangun, dan Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir. Mereka ke Cina dalam rangka finalisasi pembelian vaksin yang sebelumnya telah dijajaki oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Luar Negeri.
Sinovac menyanggupi mengirim 3 juta dosis vaksin hingga akhir Desember. Sebanyak 1,5 juta dosis vaksin (single dose vials) dikirim pada pekan pertama November dan sisanya pada pekan pertama Desember, lalu 15 juta dosis vaksin dalam bentuk bulk. G42/Sinopharm menyanggupi mengirim 15 juta dosis vaksin (dual dose) tahun ini. 5 juta dosis akan mulai dikirim pada November. Sedangkan CanSino menyanggupi 100 ribu vaksin (single dose) pada November, dan sekitar 15-20 juta tahun depan.
Pemerintah menyebut vaksin dari tiga perusahaan itu sudah masuk pada tahap akhir uji klinis tahap ke-3 dan dalam proses mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) di sejumlah negara.
Menkes Terawan, dalam keterangan resmi, Senin (12/10/2020), mengatakan pada tahap awal vaksin itu akan diberikan kepada “yang di garda terdepan, yaitu medis dan paramedis, pelayanan publik, TNI/Polri, dan seluruh tenaga pendidik.”
Beli Calon Vaksin
Salah satu perusahaan, Sinovac, sebenarnya telah bekerja sama dengan Bio Farma dan Universitas Padjajaran untuk riset pengembangan vaksin COVID-19 di dalam negeri. Penelitian tim sampai sekarang belum rampung. Uji klinis tahap tiga masih berjalan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad Kusnandi Rusmil, yang menjadi ketua tim riset tersebut, mengatakan pengembangan vaksin di mana pun harus melalui tiga fase uji klinis. Setelah selesai, vaksin diajukan ke semacam Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di negara sendiri atau tujuan agar legal untuk diedarkan.
Hingga saat ini belum ada yang melewati seluruh fase itu, termasuk yang mereka kembangkan. “Kalau menurut saya harus menunggu sampai bulan Januari [2021],” katanya dalam diskusi daring yang diselenggarakan LaporCOVID, Selasa (13/10/2020). Pun demikian dengan vaksin-vaksin yang dikembangkan di luar negeri. “Belum ada satu pun yang selesai fase ketiga. Belum ada. Itu di mana pun dan sudah jadi keputusan WHO. Jadi kalau vaksin digunakan harus izin dari WHO.”
Itu artinya pemerintah Indonesia membeli vaksin Corona di perusahaan yang belum juga rampung uji klinis tahap ketiga.
Ia juga menekankan bahwa pengembangan vaksin tak bisa dilakukan dengan singkat. Kusnandi bilang mustahil pengembangan vaksin dilakukan hanya dalam waktu tiga bulan seperti permintaan Presiden Joko Widodo kepadanya pada Juli lalu. “Minimal enam bulan perhitungan kita,” katanya. “Enam bulan saja itu terlalu pendek. Biasanya pengembangan vaksin itu belasan tahun, sekarang kita diminta hanya satu tahun.”
Tenggat tiga bulan hanya mampu mengetahui apakah vaksin aman atau tidak dan apakah dapat merespons imunogenisitas atau tidak. “Tapi untuk mengetahui efikasi vaksin enggak bisa,” ujarnya. Efikasi adalah kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang diimunisasi.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riyono mengatakan dengan belum adanya produsen vaksin yang menyelesaikan uji klinis tahap tiga, menurutnya situasi saat ini masih “belum ada vaksin”. Oleh karena itu menurut Pandu “yang dibeli pemerintah itu baru kandidat [vaksin],” katanya dalam kesempatan yang sama.
“Itu trik dagang, bahaya sekali,” tambahnya.
Ia bilang sejumlah negara harus mengantre untuk mendapatkan kandidat vaksin dari perusahaan-perusahaan Cina ini. Semua ini keliru, katanya. “Kita mau menangani pandemi dengan cara dagang atau dengan kemanusiaan?”
Meski belum final, seorang pejabat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina mengatakan pada pertengahan September lalu vaksin yang mereka kembangkan mungkin siap dipakai untuk masyarakat umum pada awal November.
Pada awal Juni lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia setidaknya butuh vaksin COVID-19 sebanyak 240 juta. Sementara Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro bilang pemerintah ingin “mendapatkan vaksin dalam waktu relatif cepat.”
Maka ketika produksi di dalam negeri belum bisa diandalkan seperti keinginan Presiden Joko Widodo, seperti dikatakan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio Juli lalu, vaksin dari Cina setidaknya menjadi solusi “jangka pendek”. Sementara Menkes Terawan mengatakan perusahaan-perusahaan Cina itu berjanji mentransfer pengetahuan tentang vaksin ke Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga terbang ke Cina untuk mengecek kehalalan vaksin yang bakal diimpor pada 14 Oktober.
Pemerintah Harus Komunikasikan Risiko
Ahli Biomolekuler Ahmad Rusdan Handoyo mengatakan pemerintah harus hati-hati terhadap risiko dalam penggunaan vaksin, dari mana pun itu, terlebih jika itu belum melewati seluruh tahapan uji klinis--atau masih berstatus 'kandidat vaksin'. Penting pula bagi masyarakat untuk mengetahui risiko tersebut.
“Saya pikir pemerintah juga perlu mengkomunikasikan rencana mitigasi risiko kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Ahmad kepada reporter Tirto, Selasa (13/10/2020).
Ini penting karena vaksinasi Corona juga menyangkut kepercayaan publik, apalagi sebelum pandemi saja gerakan antivaksin sudah ada. “Jangan sampai menyulut konspirasi bisnis vaksin kalau ternyata vaksin tidak seefektif yang disampaikan selama ini dan justru menimbulkan penolakan terhadap vaksin secara umum.”
Ahmad sekali lagi menegaskan vaksin harus terlebih dulu ditelaah dari berbagai aspek agar dapat dipastikan efektif. Oleh karenanya pemerintah “harus sabar,” katanya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino