tirto.id -
Hal ini dilakukan seiring terungkapnya kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan pemilik sekaligus pimpinan pesantren, HW (36), terhadap belasan santrinya.
"Kita telah mengambil langkah administratif, mencabut izin operasional pesantren tersebut," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani seperti dilansir dari Antara.
Selain Pesantren Manarul Huda, Kemenag juga menutup Pesantren Tahfidz Quran Almadani yang juga diasuh HW. Lembaga ini belum memiliki izin operasional dari Kementerian Agama.
Dhani mengatakan Kemenag mendukung langkah hukum yang telah diambil kepolisian. Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang melakukan pelanggaran berat seperti ini.
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Waryono mengatakan sejak awal setelah kasus ini terungkap pihaknya langsung berkoordinasi dengan Polda Jawa Barat dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jawa Barat.
Langkah pertama yang sudah diambil adalah menutup dan menghentikan kegiatan belajar mengajar di lembaga pesantren tersebut.
Kemenag langsung memulangkan seluruh santri ke daerah asal masing-masing dan membantu mereka mendapatkan sekolah lain untuk melanjutkan pendidikannya.
"Dalam hal ini, Kemenag bersinergi dengan madrasah-madrasah di lingkup Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama," kata dia.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut guru sekaligus pemilik pondok pesantren berinisial HW (36) terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya yang memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan.
Plt. Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan HW kini berstatus sebagai terdakwa karena sudah menjalani persidangan. HW terjerat Pasal 81 UU Perlindungan Anak.
"Ancamannya 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono.
Dia menjelaskan aksi tak terpuji itu diduga sudah HW lakukan sejak 2016. Dalam aksinya tersebut, ada sebanyak 12 orang santriwati yang menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur.
Editor: Nur Hidayah Perwitasari