Menuju konten utama

Usmar Ismail: Dari Jurnalis, Pernah Dibui Hingga Idealisme Karyanya

Bagaimana perjalanan hidup Usmar Ismail hingga berkiprah di film nasional?

Usmar Ismail: Dari Jurnalis, Pernah Dibui Hingga Idealisme Karyanya
Usmar Ismail; 1955. FOTO/Wikicommon.

tirto.id - Hari ini, Selasa (20/3/2018), Google menampilkan doodle istimewa dalam rangka ulang tahun ke-97 Usmar Ismail yang dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia.

Bagaimana perjalanan hidup Usmar Ismail hingga berkiprah di film nasional?

Awalnya, Usmar Ismail dikenal sebagai penyair dan pegiat sandiwara atau teater. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat 20 Maret 1921 ini menempuh pendidikan HIS, MULO B, AMS-A II hingga tahun 1941.

Pada 1952, ia mendapat beasiswa belajar film ke AS dari Yayasan Rockeffeller hingga lulus dari Jurusan film di UCLA (University of California in Los Angeles) pada 1953.

Saat masa penjajahan Jepang, Usmar Ismail bekerja di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosho) bersama Armijn Pane, tokoh sastra Pujangga Baru. Setelah proklamasi kemerdekaan ia menjadi redaktur pertama surat kabar Rakyat hingga situasi di ibukota mulai tak aman berpindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan militer, dikutip dari Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2, Rosihan Anwar (2009:32).

Bersama kakaknya, Dr. Abu Hanifah, dan para seniman dan intelektual, serta seniman muda masa itu, seperti Cornel Simanjuntak, mereka mendirikan perkumpulan sandiwara "Maya". Para pemainnya, antara lain, adalah Rosihan Anwar dan H.B. Jassin. Padahal, saat itu sandiwara dalam pandangan umum adalah bidang kegiatan untuk kalangan rendah.

Perkumpulan sandiwara "Maya" mementaskan karya-karya Usmar Ismail sendiri. Pada masa revolusi Usmar Ismail menjadi tentara dengan pangkat mayor, berdomisili di pusat pemerintahan RI, Yogyakarta. Saat di Yogyakarta inilah Usmar Ismail memimpin harian Patriot dan majalah Arena sebagai gelanggang bagi seniman muda.

Ia juga pernah terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat (1946-1947) menggantikan Mr. Soemanang. Melanjutkan karir wartawannya, ia pindah ke Jakarta sebagai jurnalis kantor berita Antara hingga pada tahun 1948, ia ditangkap oleh intel polisi NICA dan dijebloskan ke penjara Cipinang. Ia dibebaskan saat tercapai persetujuan Roem-Royen pada Mei 1949 dan memulai karir di bidang perfilman.

Usmar Ismail juga mendirikan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) dan pada 30 Maret 1950 memulai shooting film pertamanya, Darah dan Doa, di Purwakarta, hingga tanggal ini diabadikan sebagai Hari Perfilman Nasional.

Saat memproduksi film ini, ia hanya punya modal kerja Rp 30 ribu, padahal biaya rata-rata satu produksi film mencapai Rp100 ribu saat itu. Namun karena idealismenya, ia tetap memulai produksi dan meski ia sedikit kompromi dengan kaum pemodal akhirnya film itu selesai dengan biaya Rp 350 ribu. Ia bisa balik modal dan memproduksi film kedua, Enam Jam di Yogya (1951).

Dikutip dari ensiklopediakemdikbud.go.id, beberapa karya film Usmar Ismail yang melegenda yakni Darah dan Do'a (1950), Enam Djam di Yogya (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955).

Melalui filmnya yang berjudul Darah dan Doa Usmar Ismail mendapat tanggapan yang baik dari kritikus dan dunia kesenian sebagai tokoh pembaharu seni film Indonesia. Salah satu filmnya yang berjudul Kafedo mendapat pengaruh Amerika.

Film berikutnya yang menggambarkan perubahan sosial dan mendapat sukses komersil berjudul Lewat Djam Malam (1954). Film ini dibuat berdasarkan cerita/skenario Asrul Sani. Melalui film ini, Usmar Ismail berhasil mengubah permainan artis dan aktor A.N. Alcaf, Dahlia, dan Bambang Hermanto ke dalam gaya akting yang terbebas dari gaya sandiwara yang sangat mempengaruhi akting film Indonesia saat itu, dan menghasilkan akting yang kreatif.

Salah satu karya terbesar Usmar adalah film Tiga Dara (1956). Film yang menceritakan kisah lucu asmara tiga saudara perempuan ini telah direstorasi pada 2016 silam.

Usmar Ismail meninggal dunia pada 2 Januari 1971 karena stroke di Jakarta. Namun karya dan kiprahnya di perfilman Indonesia akan selalu diingat bahkan Google doodle pun mengabadikan sosoknya hari ini.

Baca juga artikel terkait GOOGLE DOODLE atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri